Minyak Atsiri Indonesia

Chandra Indrawanto

ANALISIS FINANSIAL AGROINDUSTRI PENYULINGAN AKAR WANGI DI KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT

Oleh: Chandra Indrawanto;  Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

ABSTRAK

Minyak akar wangi merupakan salah satu ekspor minyak atsiri di Indonesia dengan sentra produksi di Kabupaten Garut. Pada umumnya agroindustri penyulingan akar wangi memakai bahan baku akar wangi kering angin dengan bonggolnya yang memberikan tingkat rendemen yang rendah sehingga biaya produksi menjadi tidak efisien. Analisis finansial dalam penelitian ini menunjukkan pemakaian bahan baku akar wangi kering jemur tanpa bonggol memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pemakaian bahan baku akar wangi kering angin dengan bonggol maupun tanpa bonggol yang tercermin dari nilai NPV, IRR dan B/C ratio yang lebih besar. Analisis sensitivitas yang dilakukan juga menunjukkan pemakaian bahan baku kering jemur memiliki tingkat ketahanan yang lebih baik terhadap perubahan harga bahan baku maupun perubahan harga minyak akar wangi.

PENDAHULUAN

Agroindustri minyak atsiri merupakan salah satu industri yang patut diperhitungkan untuk dikembangkan mengingat Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam pengadaan bahan bakunya disamping teknologi pengolahannya yang cukup sederhana sehingga mudah dikembangkan. Selain itu pengembangan Industri minyak atsiri akan menimbulkan efek berganda berupa peningkatan kesejahteraan petani tanaman atsiri mengingat mayoritas perkebunan tanaman atsiri yang ada adalah perkebunan rakyat.

Minyak atsiri akar wangi (vetiver oil) diperoleh melalui proses penyulingan dari bagian akar tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides Stapf). Minyak ini mempunyai aroma yang lembut dan halus yang dihasilkan oleh ester dari asam vetivenat serta senyawa vetiverone dan vetivenol yang saat ini belum dapat dibuat secara sintetis. Minyak akar wangi digunakan secara luas untuk pembuatan parfum, kosmetika, pewangi sabun dan obatobatan, serta pembasmi dan pencegah serangga. Di Indonesia, tanaman akar wangi telah lama dikenal sebagai komoditas ekspor. Sekitar 90% produksi minyak akar wangi Indonesia diekspor, dengan rata-rata volume ekspor dalam lima tahun terakhir sebanyak 80 ton atau seperempat dari total produksi dunia yang diperkirakan mencapai 300 ton setiap tahunnya. Di pasar dumia minyak akar wangi dari Indonesia dikenal dengan nama Java Vetiver Oil. Selain mengekspor minyak akar wangi, Indonesia juga mengekspor terna akar wangi dengan volume ekspor rata-rata 15 000 ton per tahun. Hal ini mengindikasikan usaha penyulingan akar wangi masih terbuka untuk dikembangkan.

Kabupaten Garut, Jawa Barat, merupakan sentra produksi utama (89%) akar wangi dengan luas areal perkebunannya sekitar 1.475 ha pada tahun 1990 dan meningkat menjadi 2.400 ha pada tahun 2001 dengan areal tersebar di empat kecamatan yaitu Kecamatan Samarang, Leles, Ciwalu dan Bayongbong. Seluruh perkebunan akar wangi tersebut adalah perkebunan rakyat.

Penyulingan akar wangi di Kabupaten Garut umumnya menggunakan bahan baku akar wangi berupa akar dengan bonggolnya dengan kondisi kering angin, hanya sedikit yang memakai akar wangi kering angin tanpa bonggol dan hanya beberapa agroindustri yang kadang kala memakai akar wangi kering jemur tanpa bonggol. Kondisi bahan baku yang digunakan tentunya akan mempengaruhi tingkat rendemen yang didapat. Seiring semakin mahalnya biaya produksi minyak akar wangi per unit yang terutama dikarenakan semakin mahalnya harga bahan bakar minyak maka perlu didapat kondisi bahan baku akar wangi yang paling efisien dalam penyulingannya yang secara finansial memberikan keuntungan yang lebih baik dengan biaya produksi per unit yang lebih murah.

AGRO INDUSTRI MINYAK AKAR WANGI DI KABUPATEN GARUT

0t1

Agroindustri minyak akar wangi di Kabupaten Garut ada 33 usaha dengan 43 ketel (Dinas Perkebunan Garut, 2006) dengan rata-rata diameter 1,5 m dan tinggi 4,2 m, dengan ketebalan plat 6 mm dan kapasitas 3 500 liter. Teknik penyulingan yang digunakan umumnya sistem uap-air dengan lama penyulingan 12 jam.

Umumnya agroindustri ini memakai bahan baku akar wangi berupa akar dengan bonggolnya dengan kondisi kering angin. Hanya sedikit yang memakai akar wangi kering angin tanpa bonggol dan hanya beberapa agroindustri yang kadang kala memakai bahan baku akar wangi kering jemur hingga kadar air sekitar 15%. Tingkat rendemen dan kapasitas ketel per kali suling dari setiap kondisi bahan baku akar wangi dapat dilihat pada tabel 2. Sedangkan jumlah penyulingan per bulan rata-rata sebanyak 16 kali.

0t2

Rendemen terendah pada akar wangi dengan kondisi kering angin adalah dengan bonggolnya. Hal ini karena bonggol akar wangi memiliki rendemen yang rendah. Pada kondisi akar wangi kering angin tanpa bonggol memiliki rendemen 0,42%. Tingkat rendemen ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rusli (1985) sebesar 0,4% – 0,5%. Sedangkan tingkat rendemen akar wangi kering jemur tanpa bonggol lebih rendah dari yang dikemukakan oleh Rusli (1985) sebesar 1,6% – 2,1% akan tetapi lebih tinggi dari yang dikemukakan oleh Suryatmi (2006) sebesar 1,0% – 1,12%. Hal ini karena pada penelitian Rusli (1986) penyulingan dilakukan lebih lama yaitu 18 jam, sedangkan pada penelitian Suryatmi (2006) tekanan yang dipakai dalam penyulingan hanya 1 atmg – 3 atmg sedangkan pengusaha agroindustri akar wangi di Kabupaten Garut ratarata memakai tekanan 4 atmg.

ANALISIS FINANSIAL AGROINDUSTRI AKAR WANGI DI KABUPATEN GARUT

Dalam upaya menganalisis finansial agroindustri akar wangi, maka berbagai data diperlukan data primer maupun sekunder. Data primer dikoleksi dari 12 usaha agroindustri penyulingan akar wangi di Kecamatan Leles dan Kecamatan Samarang Kabupaten Garut pada bulan September 2006, sedangkan data sekunder dikoleksi dari Dinas perkebunan, kehutanan dan hortikultura serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Garut. Pengkoleksian data primer dilakukan melalui wawancara dengan para pengusaha meliputi data tentang kondisi bahan baku yang dipakai, biaya penyulingan, tingkat rendemen, biaya investasi tetap, biaya modal kerja, harga bahan baku dan harga produk minyak akar wangi.

Dengan metode analisa finansial agroindustri yang sama diterapkan pada perusahaan komersial, demikian pula criteria yang menentukan keputusan manajemen dan investasi (Brown, 1994). Faktor penting yang perlu dikaji dalam analisis finansial menurut Husnan dan Suwarsono (1994) adalah kebutuhan dana, biaya modal, cash flow, criteria penilaian investasi dan analisis sensitivitas.

Untuk analisis finansial agroindustri akar wangi ini digunakan instrumen analisis seperti net present value (NPV), internal rate of return (IRR), benefit cost ratio (B/C ratio), dan analisis sensitivitas. Kriteria NPV mencerminkan nilai sekarang dari selisih antar arus kas masuk dan arus kas keluar dari suatu usaha (Kadariyah, et al.). Apabila nilai NPV < 0 berarti usaha tersebut mengalami kerugian secara finansial sehingga menjadi tidak layak, bila NPV = 0 berarti usaha tersebut dalam posisi break event point dan bila NPV > 0 berarti usaha tersebut mendapat keuntungan secara finansial yang berarti pula layak untuk diusahakan. Semakin besar nilai NPV maka semakin besar keuntungan yang didapat.

Kriteria IRR menunjukkan persentase keuntungan pertahun yang 81 berhasil didapat. Bila nilai NPV lebih kecil daripada tingkat diskonto atau nilai bunga maka usaha mengalami kerugian, bila nilai IRR sama dengan tingkat diskonto maka usaha dalam posisi break event point, dan bila nilai IRR lebih tinggi dari tingkat diskonto maka usaha mengalami kerugian. Semakin besar nilai IRR semakin besar keuntungan yang dicapai usaha.

Kriteria B/C ratio adalah perbandingan antara seluruh nilai kini keuntungan yang didapat dengan seluruh nilai kini biaya yang dikeluarkan. Bila nilai B/C ratio lebih kecil dari satu maka usaha mengalami kerugian, jika nilai B/C ratio sama dengan satu maka usaha dalam kondisi break event point dan bila B/C ratio lebih besar dari satu maka usaha mengalami keuntungan. Semakin besar nilai B/C ratio semakin besar keuntungan usaha yang didapat (Gittinger, 1986). Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat pengaruh perubahanperubahan parameter dalam aspek finansial terhadap keputusan yang diambil (Soeharto, 1990).

Analisis ini diperlukan untuk mencegah resiko jika terjadi kesalahan dalam menaksir biaya atau manfaat dan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahanperubahan parameter tersebut diluar kendali usaha. Semakin besar perubahan nilai parameter yang dapat ditanggung suatu usaha maka semakin baik usaha tersebut.

Hasil analsis finansial menunjukkan pemakaian bahan baku akar wangi dengan kondisi kering jemur tanpa bonggol memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pemakaian bahan baku akar wangi dengan kondisi kering angin baik dengan bonggol maupun tanpa bonggol (table 2). Hal ini terlihat dari lebih besarnya nilai NPV, B/C ratio maupun IRR nya. Analisis ini memakai tingkat harga bahan baku dan harga minyak yang terjadi pada saat survey. Keuntungan yang lebih besar dari pemakaian bahan baku akar wangi kering jemur tanpa bonggol ini disebabkan oleh menurunnya biaya produksi minyak akar wangi yang dihasilkan sebagai akibat menurunnya biaya tetap per unit produk minyak akar wangi.

Hasil analisis sensitivitas menunjukkan pemakaian bahan baku akar wangi kering jemur lebih tahan terhadap gejolak harga akar wangi maupun harga minyak akar wangi yang terjadi. Jika kondisi parameter lain tetap maka usaha penyulingan dengan memakai bahan baku akar wangi kering jemur akan berada pada posisi break event point jika harga bahan bakunya naik sebesar 17,6% menjadi Rp 2 645/kg yang berarti jika harga bahan baku lebih tinggi dari harga tersebut maka usaha akan mengalami kerugian. Sedangkan pada pemakaian bahan baku akar wangi kering angin dengan bonggol dan tanpa bonggol posisi tersebut sudah tercapai jika harga bahan bakunya naik masing-masing sebesar 7% dan 12,9% atau masingmasing menjadi Rp 535/kg dan Rp 790/kg.

0t3

Pada analisis sensitivitas terhadap perubahan harga minyak akar wangi, Jika kondisi parameter lain tetap maka usaha penyulingan dengan memakai bahan baku akar wangi kering jemur akan berada pada posisi break event point jika harga minyak akar wangi turun sebesar 7,5% menjadi Rp 370 000/kg yang berarti jika harga minyak akarwani lebih rendah dari harga tersebut maka usaha akan mengalami kerugian. Sedangkan pada pemakaian bahan baku akar wangi kering angin dengan bonggol dan tanpa bonggol posisi tersebut sudah tercapai jika harga minyak akar wangi turun masing-masing sebesar 3% dan 5,5% atau masing-masing menjadi Rp 388 000/kg dan Rp 378 000/kg.

KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini memberikan suatu gambaran yang menuju pada suatu kesimpulan bahwa pemakaian bahan baku akar wangi kering jemur akan meningkatkan efisiensi produksi sehingga keuntungan usaha menjadi meningkat. Efisiensi produksi penting dilakukan mengingat semakin tidak menentunya harga bahan bakar minyak yang berkontribusi sekitar 41% dari total biaya produksi agroindustri penyulingan akar wangi.

Perubahan kebiasaan para pengusaha agroindustri penyulingan akar wangi untuk memakai bahan baku kering jemur tidak dapat dilakukan jika pengusaha tersebut belum dapat melihat bukti bahwa pemakaiana bahan baku tersebut memang menguntungkan, untuk itu penelitian dan penyuluhan lebih lanjut harus dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, J.G, Deloitte, Toache, 1994. Agroindustrial Investment and Operations. EDI Development Studies. Washington DC.

Dinas Pertanian, Perkebunan dan Hortikultura, 2006. Rekapitulasi Data Agroindustri Minyak Atsiri. Kabupaten Garut.

Gittinger, JP. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. UI Press-John Hopkins, Jakarta.

Husnan S dan Suwarsono, 1994. Studi Kelayak Proyek. UPP AMP YKPN. Yogyakarta

Kadariyah, Karlina L dan Gray, C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta

Rusli S. 1985. Penelitian dan Pengembangan Minyak Atsiri Indonesia. Edsus No2. Balittro, Bogor

Soeharto, 1990. Manajemen Proyek Industri. Erlangga, Jakarta.

Suryatmi, R.D. 2006. Kajian Variasi Tekanan Pada Penyulingan Minyak Akar wangi Skala Laboratorium. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006. IPB, Bogor

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.