Minyak Atsiri Indonesia

Syahrul Donie dan Agung Budi Supangat

ADOPSI TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR PADA LAHAN AKAR WANGI: KASUS DI KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT

Adoption of Soil and Water Conservation Technique on Land of Vetiver Grass; A Case Study in Garut District, West Java

Oleh/By : Syahrul Donie 1) dan Agung Budi Supangat 2)

1) Peneliti Sosial Ekonomi pada BTP DAS Surakarta; 2) Peneliti Hidrologi pada BTP DAS Surakarta.

Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta Surakarta, 8 Oktober 2001

Abstrak

Pengusahaan akar wangi di Kabupaten Garut masih menjadi bahan pembicaraan, karena telah menimbulkan erosi yang cukup mengkawatirkan sehubungan dengan masih banyaknya budi daya tanpa disertai praktek konservasi tanah dan air yang benar. Ada empat kecamatan yang memiliki potensi akar wangi, yaitu kecamatan Leles, Samarang, Bayongbong dan Cilawu. Dari empat kecamatan, dua kecamatan terdahulu merupakan daerah pengembangan akar wangi yang cukup luas. Untuk mengetahui sampai sejauhmana tingkat adopsi teknik konservasi tanah pada kedua daerah tersebut telah diadakan penelitian. Penelitian yang menggunakan metoda survei yang melibatkan 70 responden memperlihatkan bahwa daerah pengembangan akar wangi yang didukung oleh kelembagaan yang baik (Kecamatan Leles) menunjukkan tingkat adopsi teknik konservasi tanah dan air yang lebih baik. Dengan adanya kelembagaan yang dapat memfasilitasi kebutuhan petani memungkinkan lembaga tersebut dapat menjalankan fungsinya dalam membina dan mengontrol penerapan teknik konservasi tanah dan air. Tingkat adopsi teknik konservasi tanah tersebut tampaknya tidak terkait dengan tingkat aksesibilitas. Hal ini ditunjukan oleh Kecamatan Samarang yang memiliki aksesibilitas baik, tidak memiliki tingkat adopsi yang tinggi. Sebaliknya, Kecamatan Leles yang memiliki aksesibilitas buruk, memiliki tingkat adopsi yang tinggi. Key words: Akar wangi, Konservasi Tanah dan Air, Kabupaten Garut.

I. PENDAHULUAN

Rumput Vetiver (Vetiveria zizanoides) atau yang dikenal sebagai akar wangi, di Kabupaten Garut telah diusahakan masyarakat sejak zaman penjajahan Belanda untuk diproduksi akarnya sebagai bahan baku pembuatan minyak akar wangi. Waktu itu yang di ekspor adalah akarnya, namun saat ini sudah berupa minyak hasil penyulingan. Secara agronomis pengusahaan akar wangi mudah, tidak memerlukan modal yang besar, tahan terhadap hama dan penyakit serta mudah pemasarannya. Dengan alasan demikian masyarakat Kabupaten Garut senang membudidayakannya. Permasalahan yang dihadapi pada budidaya akar wangi yaitu sistem pemanenan dengan cara membongkar akarnya sampai kedalaman sekitar satu meter. Pembongkaran akar dilakukan pada akhir musim kemarau atau awal musim hujan, karena pada saat itu kualitas minyak berada pada tingkat terbaik. Akibat sistem pemanenan tersebut pengusahaan akar wangi telah menimbulkan erosi yang cukup tinggi, mencapai 300 ton/ha/tahun (Departemen Pertanian, 1989).

Pada tahun 70-an, pemerintah daerah pernah mengeluarkan larangan untuk mengembangkan akar wangi di daerah Kabupaten Garut dan sekitarnya dengan alasan banyak lahan yang rusak. Bahkan pada tahun 1990, Gubernur Jawa Barat telah mengeluarkan Surat Edaran pelarangan, yang kemudian diikuti surat serupa oleh Bupati Kabupaten Garut. Walaupun demikian masyarakat tetap mengusahakannya. Disamping adanya pelarangan, juga dilakukan penyuluhan secara intensif dari berbagai pihak terkait. Pada tahun 1990/1991, Dinas Perkebunan Kabupaten Garut telah memperkenalkan beberapa teknik konservasi tanah dan air, antara lain berupa teras gulud, teras laci dan penanaman tanaman pelindung. Proyek ini dilakukan kurang lebih selama empat tahun, yaitu sampai tahun 1994/1995 (Dinas Perkebunan, 1990). Sampai saat ini kegiatan proyek sudah berumur sepuluh tahun. Namun demikian, timbul pertanyaan seberapa besar kegiatan proyek dapat di adopsi oleh petani, faktor-faktor apa saja yang ikut mempengaruhi inovasi teknologi ?.

Menurut teori inovasi adopsi yang dikembangkan oleh Cramb dan Nelson (1998) ada dua pertanyaan yang harus diperhatikan dalam proses adopsi suatu inovasi, pertama, apakah teknologi tersebut menguntungkan ?; kedua, apakah teknologi tersebut mudah untuk dilaksanakan ?. Sedangkan menurut Sugihen (1996) ada lima hal yang mempengaruhi adopsi, yaitu sosial budaya dan ekonomi masyarakat, teknologi, metode yang dipilih, gangguan alam dan faktor para agen (agent of changes) baik berupa perorangan (individual) maupun kelompok (lembaga).

Kajian tingkat adopsi teknik konservasi tanah dan air bertujuan untuk mengetahui tingkat atau tahapan adopsi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta Surakarta, 8 Oktober 2001 126

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2000. Penelitian dilakukan di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Samarang dan Leles, Kabupaten Garut. Pemilihan ke dua kecamatan ini dilandasi oleh luasan wilayah pengembangan akar wangi masing-masing 1250 ha dan 750 ha.

Berdasarkan pewilayahan daerah aliran sungai, kedua kecamatan tersebut termasuk Sub DAS Cimanuk Hulu. Ketinggian tempat kedua lokasi berkisar antara 800 – 1300 meter dari permukaan laut (dpl), dengan kemiringan wilayah rata-rata berkisar antara 15 – 40 %. Jenis tanah yang dominan di lokasi penelitian adalah Regosol, dengan solum tanah antara 30 – 60 cm dengan tingkat kesuburan tanah sedang.

B. Bahan dan Peralatan

Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peta administrasi wilayah Garut, peta sebaran lokasi lahan usaha tani akar wangi, kuisioner, alat tulis kantor dan perlengkapan lapangan (sepatu, tas, jas hujan dan lain-lain).

C. Pemilihan Responden

Pemilihan responden dilakukan secara purposive random sampling, yang berasal dari masyarakat pengembangan akar wangi di kedua wilayah. Responden yang dipilih adalah masyarakat yang sudah pernah melakukan atau mengikuti percontohan konservasi tanah pada lahan akar wangi. Rincian responden seperti Tabel 1.

0t1

D. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengetahui tingkat (tahapan) adopsi digunakan teori yang dikembangkan oleh Rogers (1971) dalam Pusat Penyuluhan Kehutanan (1997); Muhadjir (1983) dan Sombatpanit (2000), yaitu awareness (kesadaran), interest (ketertarikan), evaluation (kemauan), trial (mencoba) dan adoption (melakukan).

Dari permasalahan, pertanyaan yang dikembangkan dan teorisasi, dihipotesakan : “Semakin inovasi yang disampaikan kepada masyarakat dapat menyentuh kebutuhan masyarakat, secara teknis dapat mereka lakukan, tidak bertentangan dengan sosial budaya masyarakat yang ada, dilakukan oleh agent of changes yang dapat memfasilitasi kebutuhan masyarakat maka semakin tinggi tingkat adopsi yang dilakukan oleh masyarakat”.

Dari hipotesa tersebut data (variabel) yang dikumpulkan meliputi tingkat adopsi teknik konservasi tanah dan air sesuai pentahapan Rogers, data fisik (luas lahan akar wangi, jenis dan kedalaman tanah, kelerengan dan struktur tanah, ketinggian tempat, pola usahatani akar wangi), jenis teknologi dan metodologi penyampaian inovasi, agent of changes (lembaga), aksesibilitas atau sarana jalan masuk ke lokasi kajian dan data sosial ekonomi (motivasi, persepsi, pendidikan, pengalaman, pekerjaan, status pemilikan lahan). Pengambilan data dilakukan melalui wawancara menggunakan kuisioner. Sedangkan unit analisis kajian kepala keluarga (KK). Untuk melengkapi informasi, dilakukan juga pendataan terhadap pihak penyuling (pengguna), serta instansi terkait setempat.

E. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan melalui kegiatan kompilasi (tabulasi) data hasil kuisioner dan dikelompokan sesuai jenis data dan kriteria. Langkah berikutnya yaitu rekapitulasi data agar lebih mudah dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tingkat Adopsi Teknik Konservasi Tanah dan Air

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat adopsi di kedua wilayah kajian menunjukkan adanya perbedaan. Tingkat adopsi teknik konservasi tanah di Kecamatan Leles jauh lebih baik dibanding yang ada di wilayah Kecamatan Samarang. Hal ini dapat dibuktikan dari persentase pencapaian keberhasilan proyek saat kegiatan penelitian dilaksanakan dibanding awal proyek, yaitu mencapai 95%, sedangkan di Kecamatan Samarang aktivitas teknik konservasi tanah hanya tinggal 5%.

Dengan mengacu pada tahapan Rogers, tingkat adopsi masyarakat terhadap teknik konservasi tanah dan air di Kecamatan Leles masuk pada tahap adoption (melakukan). Hal ini berarti masyarakat telah mengembangkan teknik konservasi tanah dengan penuh keyakinan bermanfaat bagi mereka. Bahkan petani sudah merasakan bahwa semakin membaiknya teknik konservasi tanah dan air akan menurunkan erosi dan meningkatkan produksi akar serta semakin berkurangnya pemberian pupuk akibat kesuburan tanah yang semakin membaik. Teknik konservasi tanah di Kecamatan Leles yang semula berupa gulud saat ini sudah berubah menjadi teras.

Manfaat yang dirasakan oleh petani di wilayah Leles tidak dirasakan oleh petani yang ada di Kecamatan Samarang, bahkan beberapa petani mulai menyewakan lahannya kepada orang lain. Hal ini dilakukan dengan alasan usaha tani saat ini sudah tidak layak, bahkan beberapa pabrik penyulingan pun mulai menghentikan proses penyulingannya karena kekurangan bahan baku.

0t2

Pada Tabel 2 juga terlihat bahwa tahapan adopsi teknologi konservasi tanah tidak berbanding lurus dengan tingkat aksesibilitas yang ada. Penerapan teknik konservasi tanah di daerah Samarang mestinya jauh lebih baik dari daerah lainnya, karena mudah dikunjungi dan diawasi oleh petugas. Sedangkan lokasi di wilayah Kecamatan Leles, seharusnya tingkat adopsinya lebih buruk karena untuk menuju lokasi penelitian harus berjalan kaki selama 30 menit. Namun kenyataan dijumpai dilapangan menunjukkan keadaan sebaliknya.

B. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh

Secara teori banyak faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi suatu inovasi. Beberapa faktor yang diuji disajikan pada Tabel 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari beberapa faktor yang diuji hanya faktor lembaga dan faktor aksesibilitas yang tampak berbeda.

0t3

Lembaga yang mempengaruhi budidaya akar wangi di Kecamatan Leles berperan lebih aktif dibanding lembaga yang ada di Kecamatan Samarang. Koordinasi dan komunikasi antara anggota dengan lembaga berjalan dengan baik. Pembinaan dan pengawasan kegiatan oleh Lembaga dapat berjalan dengan baik. Hal ini tidak ditemui di Kecamatan Samarang. Selain itu struktur organisasi lembaga yang ada di Kecamatan Leles lebih jelas dengan bidang tugas yang lebih terarah.

Kegiatan konservasi tanah dan air adalah kegiatan yang memerlukan waktu untuk dapat dilihat hasilnya, baik berupa manfaat perlindungan sumberdaya lahan maupun dalam meningkatkan pendapatan petani. Oleh karena memerlukan proses maka sangat diperlukan peran social agent (lembaga) yang dapat memfasilitasi ketersediaan modal, saprodi sampai kelancaran penjualan, begitu juga pembinaan dan pengawasan. Perbedaan aktivitas lembaga di kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

0t4

Hasil penelitian (Tabel 4) menunjukkan bahwa lembaga akar wangi yang ada di Kecamatan Leles berperan dalam penyediaan modal, bibit, penjualan, informasi harga dan Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta Surakarta, 8 Oktober 2001 131 pengambilan keputusan. Komunikasi dan koordinasi antar anggota maupun kegiatan yang berhubungan dengan budidaya tanaman masih berjalan dengan baik. Bagi anggota yang berbuat tidak benar, kelompok selalu mengingatkan serta memberikan penyuluhan setiap waktu. Sebaliknya, untuk Kecamatan Samarang, komunikasi dan keterkaitan anggota dengan kelompok atau anggota dengan anggota lainnya sudah tidak berjalan. Modal, bibit, keputusan ditentukan oleh dan dari petaninya sendiri. Harga jual akar wangi lebih ditentukan oleh tengkulak, yang dikenal dengan sebutan”bandar”.

Hal lain yang menyebabkan tidak melembaganya kegiatan konservasi tanah dan air di Kecamatan Samarang adalah kurang berjalannya pembinaan dan pengawasan dari pelaksana proyek. Setelah kegiatan proyek konservasi akar wangi selesai, menurut petani hampir tidak ada lagi pembinaan dari proyek. Bahkan dari jawaban petani, ada yang mengeluhkan bahwa “untuk apa kegiatan ini dilakukan”. Artinya upaya pembinaan dan percontohan proyek tidak sampai tuntas. Sombatpanit (2000) mengatakan bahwa adopsi atau penerimaan sesuatu inovasi atau teknologi baru oleh seseorang merupakan suatu proses. Dalam proses tersebut petani dihadapkan pada sikap untuk mengambil keputusan, menerima, menolak atau menunda inovasi. Atribut yang dipakai oleh petani dalam mengambil keputusan diantaranya adalah manfaat, biaya, efisiensi, resiko dan kemudahan pelaksanaan (Muhadjir, 1983). Persoalan yang sering muncul adalah bagaimana petani akan mengadopsi suatu teknologi, kalau teknologi tersebut belum dapat dinilai atau kemungkinan manfaatnya belum diyakini. Dengan demikian petani tidak dapat atau tidak punya bahan untuk mempertimbangkan atau menolak apakah pengembangan akar wangi konservasi menguntungkan atau tidak. Hal inilah yang diduga menyebabkan pelembagaan konservasi tanah pada pengembangan akar wangi di Kecamatan Samarang tidak berjalan.

IV. KESIMPULAN

  • Akar wangi sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Garut karena merupakan komoditas yang mudah dibudidayakan, tidak memerlukan banyak biaya dan perawatan, resiko kegagalan kecil dan bernilai ekonomis.
  • Adopsi teknik konservasi tanah di Kecamatan Leles berjalan dengan baik karena Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta Surakarta, 8 Oktober 2001 132 didukung oleh kelembagaan yang baik, sedangkan di Kecamatan Samarang tidak berjalan sehingga mengakibatkan banyak lahan akar wangi yang mengalami degradasi karena erosi.
  • Untuk memfasilitasi tercapainya adopsi teknik konservasi tanah, peran dari agent of changes (lembaga) sangat dibutuhkan, terutama dalam melayani kebutuhan modal, saprodi, penjualan dan informasi harga serta pembinaan dan pengawasan.

DAFTAR PUSTAKA

Cramb, R.A. dan Nelson, R.A. 1998. Investigating Constraint to the Adoption of Recommended Soil Conservation Technology in Philippines, In: Penning de Vries, F. Agus, J.Kerr + Soil Erosin at Multiple Scales. Principles and Methods for Assesing Cause and Impact. CABI Publishing in Assosiation with the IBSRAM Bangkok.

Departemen Pertanian. 1989. Pembinaan dan Pengembangan Budidaya Akar Wangi Melalui Konservasi Terpadu di Kabupaten Garut Jawa Barat. Departemen Pertanian RI, Jakarta.

Dinas Perkebunan Propinsi Dati I Jawa Barat. 1990. Penanaman Akar Wangi Konservasi Terpadu. Proyek Pembinaan Akar Wangi di kabupaten Garut.

Muhadjir, N. 1983. Kepemimpinan Adopsi Inovasi untuk Pembangunan Masyarakat. Penerbit : Rake Press Yagyakarta.

Pusat Penyuluhan Kehutanan, Departemen Kehutanan Jakarta. 1997. Buku Pintar Penyuluhan Kehutanan.

Sombatpanit, S. 2000. Soil Cnservation Extension : From Concept to Adoption. Soil Conservation and Watershed Management in Asia and The Pacific. Asian Productivity Organization. Tokyo, 2000.

Sugihen, B. 1996. Sosiologi Suatu Pengantar. Yayasan Penerbit, Universitas Indonesia, Jakarta. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta Surakarta, 8 Oktober 2001 133

DAFTAR PERTANYAAN

I. Ir. Triwilaida MSc.

Pertanyaan : 1. Peran kelembagaan kurang jelas dalam paper, mohon lebih diperinci. 2. Apakah ada hipotesa sebelum melakukan survei ?

Jawaban : 1. Terima kasih, peran lembaga dalam adopsi teknik konservasi tanah pada areal akar wangi ini cukup dominan. Hal ini terlihat pada lokasi akar wangi di Kecamatan Leles. Peran kelembagaan antara lain berupa pembinaan, pengawasan teknik budidaya termasuk teknik konservasi, selain itu lembaga cukup berperan dalam pemasaran hasil akar wangi dan dalam hal pendanaan. 2. Ada, namun mohon maaf karena belum tercantum dalam paper ini, nanti akan kami lengkapi.

II. Ir. C. Nugroho S P, MSc.

Pertanyaan 1. Saran, supaya abstract dibuat secara lebih runtut, maksimum 2 alenia 2. Saran, pengertian kelembagaan agar diperjelas, hubungannnya dengan proses adopsi teknologi KTA.

Jawaban 1. Terima kasih atas sarannya, akan kami perhatikan 2. Kelembagaan disini adalah perkumpulan yang didirikan oleh petani akar wangi yang mempunyai aturan yang disepakati. Oleh kerena kesepakatan-kesepakatan yang di ikrarkan menyangkut juga teknik konservasi tanah maka peran perkumpulan ini sangat menentukan keberhasilan adaposi teknik konservasi.

III. Ir. Wardoyo

Pertanyaan 1. Yang dimaksud lembaga disini apa ? Apakah sebagai motivator ? 2. Apakah sampel responden cukup representatif ?

Jawaban 1. Sudah kami jawab seperti diatas (pertanyaan II-2) 2. Menurut kami sudah, karena sampel diambilkan dari komunitas masyarakat yang melakukan penanaman akar wangi, sampel diambil secara acak purposif

IV. Ir. Sukresno MSc.

Pertanyaan 1. Apakah keberadaan kelompok tani merupakan satu-satunya penyebab perbedaan di kedua lokasi ? Atau ada sebab lain ? Jawaban 1. Berdasarkan data variabel yang kami uji, tampaknya iya !

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.