Minyak Atsiri Indonesia

Mono Rahardjo dan Nur Ajijah

PENGARUH PEMUPUKAN ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN MUTU TIGA NOMOR HARAPAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorriza Roxb.) DI CIBINONG BOGOR

Oleh: Mono Rahardjo dan Nur Ajijah; Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

Bul. Littro. Vol. XVIII No. 1, 2007, 29 – 38

ABSTRAK

Produktivitas dan mutu rimpang temulawak dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya ketersediaan hara tanaman karena pengaruh pemupukan. Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh pupuk organik terhadap produktivitas dan mutu rimpang tiga nomor harapan temulawak (Balittro 1, Balittro 2 dan Balittro 3). Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan (KP) Cibinong mulai bulan Nopember 2005 sampai Oktober 2006 dengan menggunakan 3 nomor harapan temulawak yaitu, Balittro 1, Balittro 2, dan Balittro 3. Penelitian menggunakan satu paket pupuk organik terdiri dari; bokashi 10 t/ha + pupuk bio 90 kg/ha + zeolit 300 kg/ha + pupuk fosfat alam 300 kg/ha. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok diulang 9 kali. Ukuran petak percobaan 30 m2, dengan jarak tanam 75 cm x 50 cm. Setiap petak terdapat 80 tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi rimpang segar berkisar antara 14,21 – 16,59 ton/ha lebih tinggi dibandingkan produksi rata-rata nasional (10,7 ton/ha). Produksi rimpang segar, xanthorrizol dan kurkuminoid temulawak nomor harapan Balittro 1 lebih tinggi dibandingkan dengan Balittro 2 dan Balittro 3. Nomor harapan Balittro 1 merupakan calon varitetas unggul temulawak yang mempunyai respon lebih tinggi terhadap pemupukan organik dibandingkan dengan Balittro 2 dan Balittro 3.

Kata kunci : Curcuma xanthorrhiza, pemupukan organik, produksi dan mutu

ABSTRACT

The Effect of Organic Fertilizer on Productivity and Quality of Three Promising Lines Java Turmeric (Curcuma Xanthorriza Roxb.) Promising Lines, in Cibinong Bogor Productivity and quality of java turmeric were influenced by many factors, i.e. nutrition availability from fertilizer application. The objective of the research was to examine the effect of organic fertilizer on rhizome productivity and quality of three java turmeric promising lines (Balittro 1, Balittro 2 and Balittro 3). The research was conducted in Cibinong Experimental Garden, from November 2005 until October 2006. The organic fertilizer application were 10 t/ha bookashi + 90 kg/ha bio fertilizer + 300 kg/ha zeolit + 300 kg/ha rock-phosphate/ha. Experiment was arranged in Randomized Block Design with 9 replications. Plot size of experiment is 30 cm2, with plant distance are 75 cm x 50 cm. Each plot contain 80 plants. The result showed that the rhizomes yield of three genotypes of java turmeric Balittro 1, Balittro 2 and Balittro 3 (ranged for 14.21 – 16.59 ton/ha) was higher than the rate of national production (10.7 ton/ha). The production of rhizomes, xanthorrizol and curcuminoid of Balittro 1 were higher than Balittro 2 and Balittro 3. The Balittro 1 promising line was superior java turmeric due to its higher response to organic fertilizers.

Key words : Curcuma xanthorrhiza, organic fertilizer, production and quality

PENDAHULUAN

Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb) merupakan tanaman obat asli Indonesia (Prana, 1985), disebut juga Curcuma javanica (Badan POM, 2004). Secara tradisional maupun empiris, rimpang temulawak telah terbukti berkhasiat untuk kesehatan. Kebutuhan temulawak untuk Industri Obat Tradisional (IOT) dan Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) menduduki peringkat pertama di Jawa Timur yaitu 3.140,18 ton/tahun rimpang segar dan peringkat kedua di Jawa Tengah yaitu 361,80 ton/tahun rimpang segar (Kemala et al., 2003). Temulawak dimanfaatkan untuk penyembuhan berbagai jenis penyakit dengan klaim khasiat cukup banyak (24 jenis penyakit). Oleh karena itu pada tahun 2004 pemerintah mencanangkan temulawak sebagai Minuman Kesehatan Nasional.

Rimpang temulawak mengandung minyak atsiri, resin, kurkumin, lemak, kamfer, serat kasar dan kalsium klorida (Quissumbing dalam Agusta dan Chaerul, 1994). Minyak atsirinya mengandung banyak sekali komponen yang bermanfaat antara lain berpotensi sebagai senyawa antioksidan, anti hepatotoksik, meningkatkan sekresi empedu, anti hipertensi, melarutkan kolesterol, merangsang air susu (laktagoga), tonik bagi ibu pasca melahirkan, peluruh haid, anti bakteri, pewarna makanan dan kain, serta bahan kosmetik (Hadi, 1985; Agusta dan Chairul, 1994; Suksamrarn et al., 1994; Direktorat Aneka Tanaman, 2000). Cucurmin dan xanthorrhizol merupakan komponen bahan aktif utama dari minyak atsiri temulawak yang berkhasiat obat. Xanthorrhizol adalah komponen minyak atsiri khas temulawak (Oie Ban Liang dalam Sidik et al., 1997).

Produksi dan mutu temulawak sangat dipengaruhi oleh teknologi budidaya, meliputi pemilihan nomor/varietas unggul dan amelioran yang sesuai. Setiap varietas mempunyai karakter yang berbeda, sehingga responnya terhadap lingkungan tumbuh dan input yang diberikanpun pengaruhnya tidak sama. Produksi dari cara budidaya organik pada umumnya lebih rendah dibandingkan dengan cara budidaya an-organik. Namun budidaya organik mempunyai nilai lebih karena diharapkan terhindar dari cemaran bahan kimia yang berbahaya. Hasil penelitian ini akan menjadi petunjuk untuk menerapkan teknologi budidaya organik yang standar berdaya hasil dan mutu tinggi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat produksi dan mutu rimpang tiga nomor harapan temulawak terhadap pemupukan organik.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cibinong, tipe iklim C2 menurut Oldeman (1975) atau tipe iklim A menurut Schimdt and Ferguson (1951), dengan sifat fisik dan kimia tanah seperti pada Tabel 1, serta kandungan hara pupuk bokashi yang dipergunakan (Tabel 2). Percobaan menggunakan 3 nomor harapan temulawak yaitu, Balittro 1 (B1), Balittro 2 (B2), dan Balittro 3 (B3) dengan karakterisasi seperti pada Tabel 3; perlakuan pemupukan organik terdiri dari; bokashi 10 ton/ha, pupuk bio 90 kg/ha, zeolit 300 kg/ha, dan pupuk fosfat alam 300 kg/ha. Bokashi diberikan dua minggu sebelum tanam, sedangkan pupuk bio, zeolit dan fosfat alam diberikan bersamaan pada waktu tanam. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 9 ulangan. Ukuran petak percobaan adalah 30 m2 (6 m x 5 m), dengan jarak tanam 75 cm x 50 cm, setiap petak terdapat 80 tanaman.

0t1

0t2

Tanaman dipanen pada umur 9 bulan setelah tanam (BST). Peubah yang diamati adalah : tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah rimpang induk, diameter rimpang induk, hasil rimpang segar, hasil simplisia kering, dan mutu  simplisia terdiri dari; kadar air, kadar sari larut air dan larut alkohol, kadar kadar abu, kadar serat, kadar pati, kadar atsiri, ekstrak, kurkuminoid dan kadar xanthorrizol. Analisis xanthorrizol dan kurkuminoid pada simplisia menggunakan Gas Kromatografi.

0t3

HASIL DAN PEMBAHASAN

0g1

Gambar 1. Tinggi tanaman temulawak Balittro 1, Balittro 2 dan Balittro 3 di KP. Cibinong, Bogor. Figure 1. Plant height of Balittro 1, Balittro 2 and Balittro 3 Java turmeric, in Cibinong Experimental Station, Bogor

Pola pertumbuhan tanaman dilihat dari tinggi tanaman, nomor harapan temulawak Balittro 2 pada awal pertumbuhan, lebih rendah dibandingkan Balittro 1 dan Balittro 3. Namun pada pertengahan dan akhir pertumbuhan, tinggi ketiganya tidak menunjukkan perbedaan. Secara genetik, ketiga nomor harapan tersebut mempunyai tinggi tanaman relatif tidak berbeda (Gambar 1).

Pola pertumbuhan tinggi tanaman membentuk kurva sigmoid, seperti juga pada tanaman semusim jenis lain. Rata-rata jumlah anakan per rumpun berkisar antara 3,81 – 4,01 anakan (Tabel 4).

Jumlah anakan dan rimpang induk ketiga nomor harapan tidak menunjukkan perbedaan. Jumlah anakan merupakan gambaran jumlah rimpang induk, karena setiap terbentuk tunas baru akan membentuk individu baru berupa anakan.

Pada tahap berikutnya setiap anakan akan menjadi tanaman dewasa dan membentuk rimpang induk. Rimpang induk inilah yang nantinya dimanfaatkan sebagai bahan baku obat, karena kandungan minyak atsirinya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rimpang cabang.

0t4

Semakin banyak jumlah dan besar ukuran rimpang induk, semakin tinggi produksinya. Namun pada umumnya rimpang induk ini juga dimanfaatkan sebagai benih, karena vigornya lebih tinggi dibandingkan dengan rimpang cabang.

Jumlah, diameter rimpang induk dan bobot simplisia per tanaman tidak menunjukkan perbedaan nyata antara ketiga nomor harapan temulawak. Diameter rimpang induk menunjukkan ukuran besarnya umbi temulawak. Semakin besar diameter rimpang induk semakin besar ukuran rimpang tersebut. Ukuran diameter rimpang induk ketiga nomor harapan berkisar antara 65,32 – 66,88 mm.

Ukuran rimpang induk pada nomor harapan Balittro 1 dan Balittro 3 cenderung lebih besar dibandingkan dengan Bolittro 2, namun jumlah rimpang induk Balittro 2 cenderung lebih tinggi. Namun ketiga parameter tersebut tidak berbeda nyata. Oleh karena itu hasil simplisia kering per tanaman ketiga nomor harapan tersebut juga tidak berbeda nyata. Hasil simplisia kering per tanaman antara ke tiga nomor temulawak kisarannya adalah 196,26 – 197,16 g/tanaman (Tabel 4). Hasil panen rimpang segar temulawak (Tabel 4) nomor harapan Balittro 1 mencapai 16,59 ton/ha, lebih tinggi dibandingkan dengan hasil rimpang Balittro 2 (14,21 ton/ha), namun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan Balittro 3 (15,96 ton/ha).

Perbedaan ini diduga disebabkan oleh perbedaan ukuran rimpang induk nomor harapan Balittro 1 dan Balittro 3 yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan ukuran rimpang induk Balittro 2 serta sifat genetik yang berbeda dari ketiga nomor harapan tersebut. Tingkat produksi rimpang segar nomor harapan temulawak Balittro 1 lebih unggul dibandingkan dengan nomor harapan Balittro 2.

Respon ke tiga nomor harapan temulawak terhadap perlakuan pupuk organik yang ditunjukkan oleh produksi rimpang segar per 9 m2 bervariasi.

Nomor harapan temulawak Balittro 2 mempunyai respon yang lebih rendah dibandingkan dengan Balittro 1 dan Balittro 3 terhadap perlakuan pupuk organik. Balittro 2 produktivitasnya cenderung rendah, diduga kemampuan tanaman dalam memanfaatkan hara pupuk organik lebih rendah dibandingkan dengan Balittro 2 dan Balittro 3.

Namun berdasarkan hasil penelitian (belum dipublikasi) dengan perlakuan pupuk an-organik hasil rimpang Balittro 2 justru lebih tinggi dibandingkan dengan Balittro 1 dan Balittro 3. Hal ini sesuai dengan hasil karakterisasi dan evaluasi awal dari nomor harapan Balittro 1, Balittro 2 dan Balittro 3 yang dipupuk anorganik, menunjukkan bahwa potensi hasil rimpang segar Balittro 2 lebih tinggi dibandingkan Balittro 1 dan Balittro 3 (Setiyono dan Ajijah, 2002) (Tabel 4). Nomor harapan Balittro 1 dan Balittro 3 cenderung lebih sesuai pada budidaya organik dibandingkan dengan Balittro 2, sedangkan Balittro 2 diduga lebih cocok pada budidaya anorganik.

Pada umumnya produktivitas tanaman pada budidaya organik lebih rendah dibandingkan dengan budidaya anorganik. Namun hasil dari penelitian ini masih lebih tinggi (14,21 – 16,59 ton/ha) dibandingkan dengan produksi rata-rata nasional (10,7 ton/ ha) (Direktorat Aneka tanaman, 2000).

Hasil penelitian Yusron dan Januwati (2005) menunjukkan bahwa produksi rimpang mencapai 11,04 ton/ ha. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa pemberian pupuk bokashi yang dikombinasikan dengan pupuk bio, zeoilit dan fosfat alam mampu meningkatkan ketersediaan hara pada tanah Latosol Cibinong yang relatif rendah tingkat kesuburannya. Mutu simplisia dilihat dari kadar sari larut air nomor harapan Balittro 1 cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan Balittro 2 dan Balittro 3, demikian juga kadar sari larut alkohol (Tabel 4). Sehingga mutu simplisia berdasarkan kadar sari, Balittro 1 lebih unggul dibandingkan Balittro 2. Namun kadar minyak atsiri Balittro 2 lebih tinggi dibandingkan dengan Balittro 1 dan Balittro 3 (Tabel 5).

0t5

Mutu simplisia berdasarkan kadar sari, berbanding terbalik dengan kadar minyak atsirinya, apabila simplisia berkadar sari tinggi maka kadar minyak atsirinya rendah dan sebaliknya apabila kadar minyak atsirinya tinggi maka kadar sarinya menjadi lebih rendah. Namun kondisi demikian tidak selalu terjadi pada tanaman, seperti halnya pada bangle (Rahardjo et al., 2004). Mutu simplisia lebih banyak ditentukan oleh faktor genetik tanaman.

Bahan baku obat modern atau fitofarmaka menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar minyak atsirinya semakin baik simplisia tersebut, karena semua komponen yang berkhasiat obat terkandung di dalam minyak atsiri. Namun untuk bahan baku jamu kadar minyak atsiri yang relatif rendah dan kelarutan patinya yang cenderung tinggi lebih sesuai, karena kadar minyak atsiri yang cenderung rendah dapat mengurangi bau khas menyengat pada temulawak sedangkan kelarutan pati yang tinggi menunjukkan bahan tersebut lebih mudah larut.

0t6

Kadar bahan aktif utama pada rimpang temulawak adalah xanthorrhizol dan kurkuminoid. Kadar xanthorrizol di dalam simplisia kering temulawak Balittro 1 (1,28%) lebih tinggi dibandingkan dengan Balittro 2 (1,26%) dan Balittro 3 (0,96%) (Tabel5). Kadar kurkuminoid Balittro 1 (1,72%) lebih tinggi dibandingkan dengan Balittro 3 (1,56%) dan Balittro 2 (1,45%) (Tabel 6).

Berdasarkann kadar xanthorrizol dan kurkuminoid di dalam simplisia rimpamg kering temulawak, maka dapat dihitung hasil xanthorrizol dan kurkuminoid temulawak dalam satu hektar. Xanthorrizol yang dihasilkan nomor harapan Balittro 1, Balittro 2 dan Balittro 3 berturut-turut adalah 52,48 kg, 45,99 kg dan 39,36 kg/ha (Tabel 6). Produksi xanthorrizol tertinggi diperoleh dari Balittro 1 dan terendah adalah Balittro 3. Hasil xanthorrizol dipengaruhi oleh kadar xanthorrizol dan produksi simplisia kering temulawak.

Kurkuminoid yang dihasilkan nomor harapan Balittro 1, Balittro 2 dan Balittro 3 berturut-turut adalah 70,52 kg, 52,92 kg dan 63,96 kg/ha (Tabel 6). Kurkuminoid tertinggi dihasilkan Balittro 1 dan terendah Balittro 2, hal ini disebabkan oleh produksi rimpang dan kadar kurkuminoid Balittro 2 relatif lebih rendah dibandingkan dengan Balittro1 dan Balittro 3.

Rendemen ekstrak tertinggi (24,33%) adalah Balittro 2 dan terendah Balittro 3 (15,13%) (Tabel 7). Berdasarkan rendemen ekstrak dapat dihitung hasil ekstrak setiap hektar pada masing-masing nomor harapan. Hasil ekstrak Balittro 2 lebih tinggi dibandingkan dengan Balittro 1 dan Balittro 3.

0t7

Hasil analisis ekstrak rimpang temulawak dengan menggunakan pengekstrak alkohol 70% terhadap kadar xanthorrizol, kurkuminoid dan komponen fitokimia menggunakan Gas Chromatography menunjukkan bahwa nomor harapan Balittro 1 dan Balittro 3 kadar xanthorrizolnya cenderung lebih tinggi dibandingkan Balittro 2.

Tetapi kadar kurkuminoid Balittro 2 dan Balittro 3 cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan Balittro 1. Mutu ekstrak temulawak Balittro 1 dan Balittro 3 cenderung lebih tinggi dibandingkan Balittro 2 apabila dilihat dari kandungan xanthorrizol. Berdasarkan kandungan kurkuminoid ekstrak, Balittro 2 dan Baklittro 3 cenderung lebih tinggi mutunya.

Ekstrak temulawak mengandung komponen fitokimia antara lain; alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterfenoid, steroid dan glikosida (Tabel 8), dengan kadar mulai dari positif lemah hingga positif kuat sekali.

0t8

KESIMPULAN

Produksi rimpang segar dengan perlakuan pupuk organik belum dapat mencapai produksi optimal (20 t/ha), namun produksi rimpang masih lebih tinggi dibandingkan dengan produksi rata-rata nasional. Produksi rimpang segar, kadar dan produksi xanthorizol, serta kadar dan produksi kurkuminoid temulawak nomor harapan Balittro 1 lebih tinggi dibandingkan dengan Balittro 2 dan Balittro 3.

Nomor harapan Balittro 1 lebih unggul produksi dan mutunya dibandingkan dengan Balitro 2 dan Balittro 3 dengan perlakuan pupuk organik, oleh karena itu nomor harapan Balittro 1 dapat menjadi calon varietas yang dapat digunakan dalam budidaya organik.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kepada Tim Peneliti Tanaman Obat Balittro dan Pusat Riset Obat dan Makanan, Badan POM atas kerjasama dan bantuannya sehingga sub kegiatan penelitian dari judul RPTP “Tekonologi Penyiapan Bahan Baku Tanaman Obat Terstandar Untuk Produk Obat Bahan Alam” dapat diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Agusta, A. dan Chaerul, 1994. Analisis komponen kimia minyak atsiri dari rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami VIII, hal. 643 – 647.

Mono Rahardjo dan Nur Ajijah : Pengaruh Pemupukan Organik terhadap Produksi dan Mutu Tiga Nomor Harapan Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) di Cibinong Bogor

Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), 2004. Informasi temulawak Indonesia, 36 hal. Departemen Kesehatan RI., 1979. Materia Medika Indonesia Jilid III, 196 hal.

Direktorat Aneka Tanaman, 2000. Budidaya Tanaman Temulawak. Jakarta. 44 hal.

Hadi, S., 1985. Manfaat temulawak ditinjau dari segi kedokteran. Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Bandung 17 – 18 September 1985, hal. 139 – 145.

Kemala, S; Sudiarto, E. R.Pribadi, JT. Yuhono, M. Yusron, L. Mauludi, M. Raharjo, B. Waskito dan H. Nurhayati, 2003. Studi serapan, pasokan dan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia. Laporan Teknis Penelitian Bagian Proyek Penelitian Tanaman Rempah dan Obat APBN 2003. 61 hal.

Oldeman, L.R., 1975. An Agro-cimatic map of Java., No.17 Pubilshed : Contr. Centr. Inst. Agric. Bogor, 22 pp.

Prana, M. S., 1985. Beberapa aspek biologi temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Bandung 17 – 18September 1985, hal. 42 – 48.

Rahardjo, M., Rosita S.M.D., Sudiarto dan Kosasih, 2004. Peranan populasi tanaman terhadap produktivitas bangle (Zingiber purpureum Roxb). Jurnal Bahan Alam Indonesia, 3 (1) : 165 -170.

Schmidt, F.R. and Ferguson, 1951. Rainfall types based on wet and dry period rations for Indonesia with Western New Guines, Verh. No. 42. Jaw Meteorologi and Geofisika Jakarta.

Setiyono, R.T. dan N. Ajijah, 2002. Evaluasi beberapa sifat agronomi plasma nutfah temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Bull. Littro, XIII (2) : 7 – 12.

Sidik, M.W. Mulyono, dan A Muhtadi, 1997. Temulawak, Cucurma xanthorrhiza (Roxb). Yayasan Pengembangan Obat Alam. 105 hal.

Suksamrarn, A., S. Eiamong, P. Piyachaturawat and J. Charoenpiboonsin, 1994. Phenolic Diarylheptanoids from Curcuma xanthorrhiza. Phytochemistry, 36 (6) : 1505 – 1508.

Yusron, M. dan M. Januwati, 2005. Pengaruh pupuk bio terhadap pertumbuhan dan produksi temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) di bawah tegakan sengon. Makalah disampaikan pada Konggres Nasional Ke-2 Obat Tradisional Indonesia di Bandung, 12-14 Januari 2005, 9 hal.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.