Minyak Atsiri Indonesia

JT. Yuhono dan Sintha Suhirman

STATUS PENGUSAHAAN MINYAK ATSIRI DAN FAKTOR-FAKTOR TEKNOLOGI PASCA PANEN YANG MENYEBABKAN RENDAHNYA RENDEMEN MINYAK

JT. Yuhono dan Sintha Suhirman, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

Bul. Littro. Vol. XVII No. 2, 2006, 79 – 90

ABSTRAK

Tanaman atsiri umumnya diusahakan oleh petani dengan modal dan luasan terbatas serta kebanyakan menggunakan alat penyuling yang sederhana, sehingga mutu dan rendemen yang dihasilkan masih rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status pengusahaan minyak atsiri dan faktorfaktor yang menyebabkan rendemen minyaknya rendah. Penelitian dilakukan pada bulan April – Juli 2004 di tujuh Propinsi daerah sentra produksi minyak atsiri dengan menggunakan metoda studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi alat penyulingan di 7 propinsi kajian, pada umumnya masih menggunakan teknologi pengolahan yang sederhana, dimana ketel penyulingnya terbuat dari bekas drum atau plat besi, kecuali di Propinsi Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah sudah ada yang menggunakan alat penyulingan berteknologi cukup baik/maju (minyak nilam dan kenanga). Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya rendemen dan mutu minyak antara lain adalah bahan konstruksi alat penyuling, penyiapan/ penanganan bahan baku dan proses penyulingan.

Kata kunci : Status pengusahaan, minyak atsiri, faktor-faktor penyebab, rendemen rendah

ABSTRACT

The Enterprise Status of Essential Oil and The Factors of Post Harvest Technology That Caused Its The Low of Oil Rendement.
In generally, essential crops were cultivated by farmer with limited of capital, large area and using a simple destilation, with the result that quality and rendement still lower. The research aimed to known status of essential oil enterprise and the factors that caused its rendement of oil still low. The research was conducted on April – July 2004 in 7 Provinces of production centra of essential oil with make use of case study methods. The result indicated that condition of destilation in 7 Provinces in generally still used the simple processing technology, which a kettle of its destilation made from waste drum or iron plate, except in Province of Banten, West Java, and Central Java have already make use of the good technology of destilation (patchouly and cananga). The factors that caused the low of oil rendement and quality are materials contruction of destilation tools, preparations of raw materials and destilation process.

Key words : The enterprise status, essential oils, causal factors, low rendement

PENDAHULUAN

Minyak atsiri adalah salah satu komoditas ekspor tradisional Indonesia yang sudah diusahakan sejak sebelum Perang Dunia II. Sampai saat ini hampir seluruh minyak atsiri Indonesia masih diekspor. Pada tahun 2001, ekspor minyak atsiri Indonesia 5.080 ton dengan nilai US $ 52,97 juta (BPS, 2002). Di pasar dunia, minyak atsiri Indonesia selain bersaing dengan sesama negara produsen juga bersaing dengan produk sintetik. Kualitas minyak atsiri terus ditingkatkan dan harga relatif rendah agar bisa bersaing di pasar dunia. Sebagai contoh pada tahun 2000, harga minyak seraiwangi asal Indonesia dan Srilangka masing-masing US $ 4,25 dan US $ 6,50/kg, sedangkan untuk minyak akar wangi asal Indonesia dan RRC berturut-turut US $ 36,50 dan US $ 45/kg

(George Uhe, 2001). Perlu diketahui bahwa RRC merupakan negara baru sebagai produsen minyak akar wangi, sedangkan untuk minyak seraiwangi sudah dikenal bahwa mutu Java citronella oil lebih baik dari minyak asal Srilangka. Tanaman atsiri umumnya diusahakan oleh petani dengan modal dan luasan terbatas serta kebanyakan menggunakan alat penyuling yang sederhana, sehingga mutu dan rendemen yang dihasilkan masih rendah (Hobir et al., 2003). Untuk mendapatkan minyak atsiri yang bermutu tinggi dengan harga pokok relatif rendah (rendemen tinggi misalnya untuk nilam > 2,00%) antara lain harus menggunakan alat penyuling yang efektif dan efisien.

Tingkat pencapaian rendemen produksi minyak atsiri yang dihasilkan oleh pengrajin/pengusaha Usaha Kecil dan Menengah (UKM) minyak atsiri di Indonesia pada umumnya masih sangat rendah (< 2%). Hal ini disinyalir sebagai akibat dari rangkaian proses penanganan usaha yang kurang profesional mulai dari sistem penanaman, waktu pemanenan, perlakuan pasca panen dan penanganan bahan baku sampai pada proses penyulingan (Anonymous, 2001). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan kajian faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya rendemen alat penyuling minyak atsiri yang dimiliki petani/pengrajin. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui status pengusahaan minyak atsiri dan faktor-faktor yang menyebabkan masih rendahnya rendemen minyak yang dihasilkan di tingkat petani/pengrajin minyak atsiri di sentra produksi.

METODOLOGI PENELITIAN

Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab rendahnya rendemen minyak atsiri yang dihasilkan oleh petani/penyuling minyak atsiri telah dilakukan studi kasus di 7 Propinsi yang merupakan daerah sentra produksi. Contoh/sampel kasus untuk setiap daerah sentra produksi diambil 2 – 3 sampel unit usaha penyulingan. Ketujuh Propinsi daerah sentra produksi minyak atsiri dan jenis minyak yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 1. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan para petani/pengrajin minyak atsiri dan pengamatan langsung di lapangan. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait di masing-masing lokasi/daerah.

0t1

Penelitian dilakukan pada bulan April – Juli 2004. Parameter yang diamati dalam studi kasus adalah : kapasitas alat suling, Bahan pembuat alat suling, metoda/cara penyulingan, tipe alat penyulingan, cara penyiapan bahan baku, bahan bakar yang dipakai, dan rendemen minyak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Status pengusahaan minyak atsiri Status pengusahaan minyak atsiri yang meliputi luas areal, produksi, produktivitas, kondisi alat penyulingan dan rendemen yang dihasilkan di 7 (tujuh) Propinsi sentra produksi minyak atsiri adalah sebagai berikut :

Propinsi Jawa Barat

Komoditas atsiri yang dikembangkan di Jawa Barat saat ini terdiri atas 9 komoditas, yaitu akar wangi, cengkeh, jahe, lada, nilam, pala, seraiwangi, kayumanis dan kenanga. Lima komoditas diantaranya sudah diusahakan/disuling menjadi produk minyak atsiri kasar (crude essensial oil) yang diusahakan di beberapa daerah pengembangan (Tabel 2). Luas areal, produksi, produktivitas dan bentuk produk komoditas atsiri di Jawa Barat pada tahun 2002 disajikan pada Tabel 3.

0t2

0t3

Pengusahaan tanaman atsiri di Jawa Barat pada umumnya dilakukan dalam bentuk perkebunan rakyat dengan menggunakan teknologi budidaya dan pengolahan minyak atsirinya masih sederhana/tradisional, sehingga kontinuitas pengadaan bahan baku minyak atsiri dengan mutu konsisten belum terpenuhi. Berdasarkan hasil studi kasus di beberapa daerah (Kabupaten) di Jawa Barat mengenai kondisi alat suling yang digunakan oleh pengrajin dapat disajikan pada Tabel 4.

0t4

Propinsi Jawa Tengah

Di Jawa Tengah, komoditas minyak atsiri yang sudah dikembangkan/ diusahakan adalah nilam dan daun cengkeh. Komoditas minyak ylangylang ternyata belum diusahakan secara komersial, walaupun pernah digalakkan pengembangannya di daerah aliran sungai (DAS) di Kabupaten Boyolali dan Salatiga. Oleh karena itu dalam tulisan ini hanya komoditas nilam dan cengkeh yang akan diuraikan mengenai status pengusahaannya.

Berdasarkan data statistik perkebunan Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2002, luas areal cengkeh mencapai 471,71 ha yang tersebar dihampir seluruh Daerah Tingkat II yang ada di pro pinsi Jawa Tengah. Namun yang sudah mengusahakan/mengolah minyak daun cengkeh hanya di 4 kabupaten, yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Temanggung.

Status pengusahaan minyak cengkeh di 4 kabupaten serta produksi cengkeh tersebut yang meliputi luas areal, jumlah unit usaha penyulingan, kondisi alat penyulingan dan rendemen yang dihasilkan disajikan pada Tabel 5.

0t5

Berkurangnya unit usaha penyulingan minyak cengkeh di Kabupaten Banyumas dan Kebumen disebabkan oleh :

  1. Dampak dari kebijakan Badan Pengelolaan dan Pengendalian Cengkeh (BPPC) yang mengakibatkan banyak tanaman yang tidak terpelihara/ rusak/mati sehingga supplai bahan baku berkurang.
  2. Harga minyak cengkeh sangat berfluktuasi di tingkat pengrajin sehingga minat pengrajin dalam usaha minyak cengkeh berkurang atau beralih pada usaha lain.
  3. Kurang perhatian dari instansi terkait dalam pembinaan dan dorong-an berusaha.

Komoditas nilam di Jawa Tengah pada tahun 2003 telah berkembang di delapan Kabupaten yaitu Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Temanggung, Brebes, Purworejo dan Kebumen. Data statistik luas areal (tanaman dan panen) produksi dan produktivitas komoditas nilam di Jawa Tengah disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan hasil studi kasus pada pengrajin minyak nilam di Kabupaten Banyumas dan Banjarnegara, kondisi alat penyuling yang dioperasikan oleh pengrajin disajikan pada Tabel 7. Rendahnya rendemen minyak yang dihasilkan oleh pengrajin di Kabupaten Banyumas dan Banjarnegara tersebut ternyata bukan disebabkan oleh alat penyulingan, tetapi oleh karena cara penanganan bahan baku yang kurang tepat dan kemungkinan bibit yang ditanam bukan varietas unggul, sehingga rendemen minyak nilam yang dihasilkan relatif rendah.

0t6

0t7

Daerah Istimewa Yogyakarta

Minyak atsiri yang sudah diusahakan secara komersial di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah minyak cengkeh, sementara minyak nilam baru dicoba pengembangannya di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2003 dengan target areal seluas 20 ha (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kulon Progo, 2003).

Sentra produksi minyak cengkeh di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat di Kabupaten Kulon Progo. Pada tahun 2002, luas areal cengkeh 2.204 ha; terdiri atas 867 ha TBM dan 1.337 ha TM (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kulon Progo 2003). Unit usaha penyulingan minyak cengkeh di Kabupaten Kulon Progo yang masih beroperasi hanya tinggal 5 unit dari 10 unit yang ada pada tahun 2002 (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kulon Progo 2003). Berdasarkan hasil studi kasus di 2 unit usaha penyulingan/pengrajin yang ada di Kecamatan Wates, dapat diuraikan kondisi unit penyulingan di kedua pengrajin tersebut.

Pada Tabel 8 terlihat  bahwa, alat penyuling pengrajin II yang ketel penyulingannya dibuat dari bahan plat besi, hasil rendemennya relatif baik/tinggi dibanding dengan pengrajin I yang ketel penyulingannya terbuat dari bekas drum. Hal ini membuktikan bahwa, konstruksi bahan pembuatan alat suling mempengaruhi rendemen minyak yang dihasilkan.

0t8

Propinsi Jawa Timur

Menurut laporan Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur (2003), komoditas atsiri yang ada dan sudah diusahakan secara komersial adalah minyak cengkeh, nilam dan kenanga. Ketiga komoditas atsiri tersebut yang sudah eksis diusahakan dan dikembangkan adalah minyak cengkeh dan kenanga, sedangkan nilam baru dimulai pengembangannya pada tahun 2000.

Status pengusahaan ketiga komoditas atsiri yang meliputi luas areal, produksi, mutu dan metode penyulingan di Propinsi Jawa Timur dapat dilihat pada Tabel 9. Sentra produksi minyak cengkeh terdapat di Kabupaten Pacitan, Trenggalek, Blitar, Malang dan Ponorogo. Sentra produksi kenanga terdapat di Kabupaten Gresik, Mojokerto dan Banyuwangi. Sedangkan komoditas nilam baru dikembangkan di Kabupaten Jember dan Situbondo. Hasil studi kasus mengenai kondisi unit usaha/alat penyulingan minyak cengkeh yang dilakukan di Kabupaten Malang dan Trenggalek dapat dilihat pada Tabel 10.

0t9

0t10

Rendemen minyak yang dihasilkan pengrajin umumnya masih rendah, rendemen minyak dari daun cengkeh hanya mencapai 2 – 2,50%, sedangkan dari gagang cengkeh 2,5 – 3%. Rendahnya rendemen minyak tersebut disebabkan oleh penggunaan alat penyulingan yang masih konvensional/sederhana yang ketelnya terbuat dari bahan plat besi dengan alat pendingin menggunakan pipa ledeng dan air kolam.

Propinsi Banten

Di propinsi Banten, komoditas atsiri yang sudah berkembang/diusahakan adalah cengkeh, pala, seraiwangi dan ylang-ylang. Berdasarkan data statistik perkebunan, pada tahun 2002 luas areal dan produksi keempat jenis minyak atsiri di Propinsi Banten tertera pada Tabel 11. Sentra produksi minyak cengkeh terdapat di Kabupaten Lebak, Pandeglang dan Serang. Penghasil utama minyak seraiwangi terdapat di Kabupaten Tangerang. Sentra penghasil minyak pala terdapat di Kabupaten Serang. Pengusahaan minyak ylang-ylang hanya di kembangkan di kawasan hutan produksi Perum Perhutani Unit Jawa Barat, KPH Malingping, Kabupaten Lebak.

0t11

Kondisi alat penyulingan minyak ylang-ylang yang dimiliki KPPH Malingping sudah baik/modern, karena dalam pengadaannya bekerjasama dengan pihak Balittro. Rendemen minyak yang dihasilkan sudah memenuhi standar optimal yaitu 1,80 – 2,20% tergantung dari hasil penanganan bahan bakunya. Kadar/ kandungan minyak atsiri dari bunga ylang-ylang lebih rendah dibanding kandungan minyak atsiri bunga kenanga, namun harga minyaknya di pasaran dunia lebih tinggi 3 – 4 kali harga minyak kenanga. Harga minyak kenanga saat ini Rp. 350.000,-/kg, sedangkan harga minyak ylang-ylang Rp. 1.250.000,-/kg.

Propinsi Sumatera Barat

Komoditas penghasil minyak atsiri yang sudah dikembangkan di Propinsi Sumatera Barat meliputi pala, cengkeh dan nilam. Komoditas astiri lainnya yang potensial dikembangkan/diusahakan di Propinsi Sumatera Barat adalah kayumanis dan seraiwangi. Kayumanis sudah lama diusahakan untuk keperluan rempah-rempah, namun untuk minyak astiri belum diusahakan secara komersial. Begitupula untuk tanaman seraiwangi baru dimulai pada tahun 2002 oleh PT. Gebu Niaga Nusantara (GNN) bekerja sama dengan Balittro di Kabupaten Solok.

Pengembangan tanaman cengkeh di Propinsi Sumatera Barat sudah menyebar di seluruh kabupaten yang ada di Sumatera Barat, namun daerah terluas berada di kabupaten Kepulaun Mentawai, Pesisir Selatan, Solok dan Sawah Lunto.

Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan daerah penghasil utama pala dan merupakan sentra produksi minyak pala di Propinsi Sumatera Barat. Penghasil minyak nilam Sumatera Barat adalah kabupaten Pasaman dan Kepulauan Mentawai. Luas areal, produksi dan bentuk produk komoditas astiri di Sumatera Barat pada tahun 2002 tertera pada Tabel 12.

0t12

Kondisi alat penyulingan minyak pala di Kabupaten Lima Puluh Kota pada umumnya sudah cukup baik, karena diusahakan oleh pengrajin/ pengusaha skala menengah. Sementara pengusahaan minyak nilam di kabupaten Pasaman dan Kepulauan Mentawai pada umumnya masih diusahakan secara tradisional dengan menggunakan alat penyulingan yang sederhana (drum atau plat besi), sehingga rendeman minyak yang dihasilkan rata-rata masih rendah (1,80 – 2,00%) diikuti oleh mutu yang rendah.

Maluku Utara

Potensi Maluku Utara sebagai penghasil minyak pala sangat tinggi, sebab merupakan daerah penghasil pala terbesar kedua di Indonesia. Demikian pula halnya untuk minyak cengkeh. Luas areal dan produksi komoditas pala dan cengkeh di propinsi Maluku Utara disajikan pada Tabel 13. Sentra produksi kedua komoditas tersebut terdapat di kabupaten Maluku Utara dan Halmahera. Menurut informasi dari Dinas Perkebunan Propinsi Maluku Utara, selama ini belum ada pengusaha/pengrajin minyak astiri yang mengusahakan minyak pala maupun minyak cengkeh di kedua kabupaten tersebut.

0t13

Faktor-faktor penyebab rendahnya rendemen minyak yang dihasilkan ditingkat pengrajin/petani minyak atsiri

Bahan konstruksi alat penyuling

Bahan tangki/ketel penyuling di tingkat pengrajin/petani, pada umunya terbuat dari plat besi, bahkan masih ada yang dibuat dari besi bekas drum. Selain mempengaruhi rendemen yang dihasilkan, juga mempengaruhi mutu minyak yang dihasilkan.

Penyiapan bahan baku

Penyiapan bahan baku yang kurang baik/tepat juga akan mempengaruhi rendemen minyak yang dihasilkan. Para pengrajin pada umumnya belum mengetahui cara penanganan bahan baku yang tepat. Seperti contoh pada penyiapan bahan baku nilam yang baik adalah pengeringan ternanya melalui penjemuran dan pelayuan (kering angin), sedangkan petani/pengrajin hanya  melakukan penjemuran selama 1 – 2 hari (tergantung cuaca) kemudian langsung disuling.

Proses penyulingan

Didalam proses penyulingan, faktor yang mempengaruhi rendemen adalah lama penyulingan dan volume/kepadatan bahan baku dengan kapasitas ketel. Pada umumnya para pengrajin tidak memperhatikan kedua faktor tersebut, sehingga rendemen minyak yang diperolehnya masih rendah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kondisi alat penyulingan di 7 (tujuh) propinsi kajian, pada umumnya masih menggunakan teknologi pengolahan yang sederhana, ketel penyulingnya terbuat dari bekas drum atau plat besi, kecuali di Propinsi Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah sudah ada yang menggunakan alat penyulingan berteknologi cukup baik/maju (minyak nilam rendemennya mencapai 2,50 – 3,00% ylang-ylang dan kenanga rendemennya mencapai 2,50%).

Faktor-faktor yang mempengaruhi rendemen dan mutu minyak masih rendah antara lain adalah bahan konstruksi alat penyuling, penyiapan/penanganan bahan baku dan proses penyulingan. Untuk meningkatkan rendemen dan mutu minyak atsiri yang dihasilkan, disarankan steakholders yang terkait per-lu berperan aktif mensosialisasikan tek-nologi pasca panen anjuran kepada  para petani/pengrajin minyak atsiri.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini merupakan bagian dari “Kajian Alat Penyuling Minyak Atsiri dengan Rendemen Tinggi (≥ 2%) yang dibiayai oleh Proyek Pengembangan Kemandirian Usaha Kecil dan Menengah, Direktorat Jenderal Industri Dagang Kecil Menengah, Departemen Peridustrian dan Perdagangan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerja samanya.

DAFTAR PUSTAKA

BPS (Badan Pusat Statistik), 2002. Ekspor Indonesia. Jakarta. 748 hal.

Departemen Peridustrian dan Perdagangan. Jakarta. 2001. Pengembangan Industri Minyak Atsiri dengan Pendekatan Klaster Industri. 36 hal.

Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Barat, 2003. Laporan Tahunan, Tahun 2002. Bandung. 79 hal.

Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Barat, 2003. Statistik Perkebunan Tahun 2002. Bandung. 92 hal.

Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Tengah, 2003. Laporan Semester I Tahun 2003. Semarang 65 hal.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banyumas, 2003. Laporan Tahunan, Tahun 2002. 75 hal.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kebumen, 2003. Laporan Tahunan, Tahun 2002. 67 hal.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Boyolali, 2003. Laporan Tahunan, Tahun 2002. 76 hal.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Temanggung, 2003. Laporan Tahunan, Tahun 2002. 78 hal.

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kulon Progo, 2003. Laporan Tahunan Tahun 2002. 80 hal.

Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur, 2003. Statistik Perkebunan Tahun 2002. Surabaya. 90 hal.

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Banten, 2003. Laporan Tahunan Tahun 2002. Serang. 81 hal.

Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Barat, 2003. Statistik Perkebunan Tahun 2002. Padang. 82 hal.

George Uhe Co. Inc., 2001. Market Report. New York. 1 pp.

Hobir Y. Nuryani, Emmyzar dan Anggraeni, 2003. Peningkatan produktivitas dan mutu minyak nilam melalui perbaikan varietas dan teknik pengolahan. Laporan Hasil Penelitian. Balittro, Bogor (tidak dipublikasikan). 8 hal.

1 Comment »

  1. mohon info produksi minyak pala. Cengkeh. Nilam & akar wangi silahkan hub hp kita 081374830084 tks

    Comment by Mhd Fauzi — October 7, 2014 @ 2:38 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.