Minyak Atsiri Indonesia

Ekwasita Rini Pribadi dan Mono Rahardjo

EFISIENSI PEMUPUKAN NPK PADA TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb)

Oleh: EKWASITA RINI PRIBADI dan MONO RAHARDJO;  Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jl. Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111

JURNAL LITTRI VOL. 14 NO. 4, DESEMBER 2008 : 162 – 170

ABSTRAK

Pemberian pupuk N, P, dan K yang tepat jumlah, dan jenis pada tanaman temulawak, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan biaya sehingga produksi dan pendapatan yang diperoleh akan optimal. Untuk itu dilakukan pengujian beberapa dosis pupuk urea, SP-36 dan KCl pada temulawak di Kebun Percobaan Sukamulaya pada tanah Latosol dengan ketinggian tempat 350 m dpl, tipe iklim C (klasifikasi Schmidt dan Ferguson). Penanaman dilakukan pada bulan Agustus 2006 dan panen dilakukan bulan September 2007. Percobaan ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama, kedua dan ketiga adalah pupuk urea (N), SP-36 (P) dan KCl (K) masing-masing dengan dosis 100 kg/ha, 200 kg/ha dan 300kg/ha. Ukuran petak percobaan adalah 3,75 m x 4 m per perlakuan/ ulangan. Percobaan menggunakan bibit temulawak nomor harapan F dengan jarak tanam 75 cm x 50 cm. Sebagai pupuk dasar diberikan pupuk kandang dengan dosis adalah 20 ton pupuk kandang. Pupuk SP-36, dan KCl diberikan sesuai dengan perlakuan yang seluruhnya diberikan pada saat tanam. Sedangkan pupuk urea diberikan sesuai dengan perlakuan masing-masing 1/3 bagian pada umur 1, 2, dan 3 BST (Bulan Sesudah Tanam). Tanaman dipanen pada umur 10 bulan setelah tanam (BST). Peubah yang diamati meliputi; data asupan (input) berupa penggunaan sarana produksi usahatani, penggunaan tenaga kerja dan peralatan, serta data keluaran (output) berupa hasil rimpang segar, simplisia kering, dan rendemen ekstrak temulawak. Harga masukan dan keluaran yang digunakan mengacu pada harga standard/pasar yang berlaku pada saat penelitian dilakukan. Analisis efisiensi teknis dan ekonomis digunakan untuk menentukan dosis pemupukan yang paling baik untuk dikembangkan. Hasil penelitian menunjukkan, berdasarkan beberapa kriteria analisis efisiensi teknis dan ekonomis pengembangan temulawak nomor harapan F dianjurkan menggunakan dosis pemupukan an-organik yang rendah yaitu 200 kg/ha urea, dan SP-36 dan KCl masing-masing 100 kg/ha. Dengan dosis pemupukan tersebut diperoleh : (1) produksi rimpang, kurkuminoid dan xanthorizol masing-masing 2.277 kg, 33,24 dan 73,26 kg per 1.000 m2 lahan, (2) tingkat pendapatan bersih Rp. 344.500/1.000 m2 lahan, rasio biaya operasional terhadap pendapatan kotor 23,13%, rasio pendapatan dikurangi biaya operasional terhadap pendapatan kotor 76,87%, dan efisiensi ekonomi tiap perlakuan pemupukan dibanding kontrol (urea, SP36 dan KCl masing-masing 100 kg/ha) 5,08.

Kata kunci : Curcuma xanthorrhiza Roxb, kajian finansial, pupuk NPK, nomor harapan F

ABSTRACT

Efficiency of NPK Fertilizer Application on Java Turmeric (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Efficiency of inorganic fertilizers application is determined by effective type and fertilizers dosage. Current experiment was designed to compare the efficiency of application of three levels dosage of urea, SP- 36, and KCl on java turmeric farming system. The experiment was conducted at Sukamulya (Sukabumi) Experimental Garden on latosol soil type, 350 m above sea level, with climate type A of Schmidt and Ferguson’s climate classification from August 2007 to September 2008. Treatments were combination of 100 kg/ha, 200 kg/ha, and 300 kg/ha of each urea, SP36, and KCl fertilizer. The treatments were designed in factorial randomized block with three replications. Organic fertilizer (manure) was applied to all experiment plots at planting time with dosage of 20 tons/ha. SP36 and KCl fertilizer were applied at planting time, while urea fertilizer was applied in three equal parts, separately, on planting time, one and two months after planting time. Java turmeric promising line of F was used as plant materials and planted at 75 cm x 50 cm planted spacing. Physical and economic efficiency analysis of the each treatment unit was used to evaluate the efficiency of fertilizer application with treatment-related costs were assumed as variable costs. Results showed that based on physical and economic efficiency, fertilizer combination of 200 kg urea/ha, 100 kg SP36/ha, and 100 kg KCl/ha was the most efficient dosage with yield of rhizome, curcuminoid and xanthorhizol at the dosage level per 1000 m2 were 2.277 kg, 33,24 kg, and 73,26 kg respectively. Moreover, that were gained crop value Rp. 344.500/1.000 m2, operating expense ratio 23,13%, net farm income from operation ratio 76,87%, and economic efficiency each treatment compare to control 5,08 times.

Key words: Curcuma xanthorrhiza Roxb, financial analysis, NPK fertilizer, promising line F

PENDAHULUAN

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) adalah tanaman asli Indonesia, termasuk marga Zingiberaceae, secara tradisional maupun empiris rimpang temulawak terbukti berkhasiat untuk kesehatan. Minyak atsirinya mengandung banyak komponen yang bermanfaat antara lain sebagai senyawa antioksidan, anti hepatotoksik, meningkatkan sekresi empedu, anti hipertensi, melarutkan kolesterol, merangsang air susu (laktagoga), tonik bagi ibu pasca melahirkan, peluruh haid, anti bakteri, serta bahan kosmetik (DIREKTORAT ANEKA TANAMAN HORTIKULTURA, 2000). Sedangkan sebagai bahan baku jamu berfungsi untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Wilayah pengembangan temulawak di Indonesia meliputi 13 propinsi yang ada di Pulau Sumatera bagian Utara, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan. Rata-rata laju penambahan areal panen temulawak nasional pada tahun 2002 sampai 2006 adalah 34,86%/tahun, pada tahun 2006 luas panen mencapai 1.548 ha dengan rata-rata produksi adalah 17,3 ton/ha (BPS, 2007). Di Jawa Tengah, temulawak umumnya diusahakan oleh petani di bawah tegakan tanaman hortikultura seperti mangga, rambutan, nangka, durian dan pisang. Tanaman ini ditanam dalam petak-petak, dengan luas lahan usahatani berkisar antara 1.000 m2 – 2.500 m2. Pembudidayaan tanaman ini tidak intensif, petani hanya memberikan pupuk kandang saja yaitu sebanyak 20 ton/ ha dengan hasil rimpang basah adalah 18,60 ton/ha (KEMALA et al., 2003).

Salah satu indikator keberhasilan suatu usahatani adalah efisiensi, baik efisiensi teknik budidaya, pengalokasian input maupun output produksi (SUKIYONO, 2005). Pencapaian efisiensi teknik budidaya yang tinggi sangat penting dalam upaya meningkatkan daya saing dan keuntungan usahatani. Pengertian efisiensi dalam produksi merupakan perbandingan antara output dan input, berkaitan dengan tercapainya output maksimum dengan sejumlah input. Dengan kata lain efisiensi adalah penggunaan input terbaik dalam memproduksi output (SHONE dalam SUSANTUM, 2000), BHALLA dan ROY (1988) melaporkan bahwa kualitas lahan adalah salah satu faktor penting dalam menentukan tingkat efisiensi teknis suatu usahatani. Efisiensi penggunaan pupuk adalah peningkatan produksi untuk setiap satuan pupuk yang ditambahkan, sedangkan efisiensi ekonomi pemupukan menunjukkan tambahan nilai produksi yang disebabkan korbanan biaya yang dikeluarkan dalam menunjukkan tambahan nilai produksi yang disebabkan korbanan biaya yang dikeluarkan dalam pemupukan (HERNANTO, 1995).

Produksi dan mutu tanaman secara umum dipengaruhi oleh tiga aspek pokok, yaitu (1) mutu bahan tanaman, (2) kesediaan unsur hara, dan (3) perlindungan tanaman terhadap OPT (PARTOHARDJONO, 2002). Setiap bahan tanaman mempunyai karakter berbeda tanggapnya terhadap lingkungan tumbuh dan input yang diberikan dan akan berpengaruh terhadap produksi, pendapatan usahatani, serta menentukan efisiensi suatu usahatani.

Untuk meningkatkan efisiensi usahatani temulawak telah diperoleh beberapa bahan tanaman unggul, yaitu adalah enam nomor harapan temulawak A, B, C, D, E, dan F, hasil seleksi dari dua puluh nomor aksesi plasma nutfah temulawak Balittro (AJIJAH dan SETIYONO, 2003). Diantara nomor tersebut, nomor harapan F yang dipupuk 20 ton pupuk kandang/ha, pupuk an-organik urea, SP-36 dan KCl masing-masing 200 kg/ha mempunyai kandungan minyak xanthorizol tertinggi yaitu 0,52 sampai 0,97% di lokasi pengujian Cileungsi, Sumedang dan Boyolali, dengan ratarata produksi 23,576 ton/ha (SETIYONO et al., 2007).

Unsur hara N merupakan hara makro yang banyak diserap oleh tanaman temu-temuan, kemudian K dan P (RAHARJO et al., 2007). Keseimbangan unsur hara terutama N, dan K sangat menentukan terhadap produksi dan mutu rimpang temulawak. Telah diperoleh dosis pemupukan anjuran untuk temulawak lokal yaitu pupuk kandang 10 – 20 ton/ha sebagai pupuk dasar diberikan pada saat tanam. Pupuk urea, SP-36 dan KCl, dengan dosis masing masing 200 kg, 100 kg dan 100 kg/ha untuk pola monokultur. Pupuk SP-36 dan KCl diberikan pada saat tanam, Urea diberikan 3 kali pemberian pada umur 1, 2 dan 3 bulan setelah tanam masing-masing sepertiga bagian. Produksi yang dapat dipanen dengan budidaya anjuran ini adalah 22,5 ton/ha (RAHARJO dan ROSTIANA, 2005). Penelitian kombinasi beberapa dosis pupuk N, P, dan K dilakukan untuk mencapai keseimbangan hara N, dan K pada nomor harapan temulawak F. Pemberian pupuk N, P, dan K yang tepat jumlah, dan jenis, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan biaya sehingga produksi dan pendapatan yang diperoleh akan optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat produksi rimpang, kurkuminoid, xanthorizol dan efisiensi teknis, dan efisiensi ekonomi berdasarkan biaya variabel, tingkat pendapatan dan nisabah pendapatan dan biaya variabel pemupukan NPK pada temulawak nomor harapan F.

BAHAN DAN METODE

Percobaan lapang, dilaksanakan di Kebun Percobaan Sukamulya pada tanah Latosol dengan ketinggian tempat 350 m dpl, tipe iklim C (klasifikasi Schmidt dan Ferguson). Penanaman dilakukan pada bulan Agustus 2006 dan panen dilakukan bulan September 2007.

Percobaan ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang disusun secara faktorial dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama, kedua dan ketiga adalah pupuk urea (N), SP-36 (P) dan KCl (K) masing-masing dengan dosis 100 kg/ha, 200 kg/ha dan 300kg/ha. Ukuran petak percobaan adalah 3,75 m x 4 m per perlakuan/ulangan.

Percobaan menggunakan bibit temulawak nomor harapan F dengan jarak tanam 75 cm x 50 cm. Sebagai pupuk dasar diberikan pupuk kandang dengan dosis adalah 20 ton pupuk kandang. Pupuk SP-36, dan KCl diberikan sesuai dengan perlakuan yang seluruhnya diberikan pada saat tanam. Sedangkan pupuk urea diberikan sesuai dengan perlakuan masing-masing 1/3 bagian pada umur 1, 2, dan 3 BST (Bulan Sesudah Tanam).

Tanaman dipanen pada umur 10 bulan setelah tanam (BST). Peubah yang diamati meliputi; data asupan (input) berupa penggunaan sarana produksi usahatani, penggunaan tenaga kerja dan peralatan, serta data keluaran (output) berupa hasil rimpang segar, hasil simplisia kering, dan rendemen ekstrak temulawak. Harga masukan dan keluaran yang digunakan mengacu pada harga standard/pasar yang berlaku pada saat penelitian dilakukan.

Kerangka Teoritis

PINDYK dan RUBINFELD (1997) menyatakan bahwa hubungan input dan output untuk setiap sistem produksi sangat ditentukan oleh karakteristik teknologi yang diterapkan dalam suatu sistem usaha/produksi. Apabila terjadi peningkatan teknologi dan karakter teknologi yang diterapkan berubah, sebuah sistem produksi diharapkan dapat memperoleh lebih banyak output untuk serangkaian input tertentu. Menurut YOTOPOULUS dan NUGENT dalam MARHASAN (2005), efisiensi berhubungan dengan pencapaian output maksimum dari penggunaan sumber daya tertentu. Jika output yang dihasilkan lebih besar dibandingkan input yang digunakan berarti tingkat efisiensinya lebih tinggi. RAMLY dalam MARHASAN (2005) menyatakan bahwa tingkat efisiensi yang tinggi tercapai pada saat kondisi optimal terpenuhi, yaitu apabila tidak ada lagi kemungkinan menghasilkan jumlah produk yang sama dengan menggunakan input yang lebih sedikit dan tidak ada kemungkinan menghasilkan produksi yang lebih banyak dengan menggunakan input yang sama.

FARRELL (1957) membedakan efisiensi atas: efisiensi teknis/fisik, efisiensi alokatif (harga), dan efisiensi ekonomi. Menurut KAY dan EDWARD (1999) efisiensi teknis/fisik ditunjukkan oleh tingkat produksi per satuan luas, dan efisiensi ekonomi dapat ditentukan dari beberapa hal diantaranya : pendapatan per satuan luas, rasio antara biaya variabel dan pendapatan kotor, dan rasio antara pendapatan bersih dan pendapatan kotor. SOEKARTAWI (1995) menyatakan bahwa suatu penggunaan faktor produksi dikatakan efisien secara teknis kalau faktor produksi yang digunakan menghasilkan produksi maksimal.

Metode Analisis

Usahatani Untuk menetukan tingkat efisiensi teknologi pemupukan temulawak dalam penelitian ini digunakan 2 pendekatan yaitu dengan mengukur tingkat efiisiensi teknis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis diukur berdasarkan produksi rimpang, kurkuminoid dan xanthorizol per satuan luas dan efisiensi ekonomi diukur berdasarkan (KAY dan EDWARD, 1999): (1) pendapatan per satuan luas (Crop Value per Acre) yang diukur dari nilai total produksi temulawak dibagi per satuan luas areal penanaman, (2) Operating Expense Ratio (OER) yaitu rasio antara biaya operasional (Cv) dan pendapatan kotor (GR), makin kecil persentase OER makin efisien teknologi pemupukan yang dilakukan.

01

(3) Net Farm Income from Operation Ratio (NFIO) yaitu rasio antara pendapatan kotor (GR) dikurangi biaya operasional pemupukan (CV) dan pendapatan kotor (GR), nilai ini menunjukkan persentase sisa pendapatan setelah dikurangi dengan biaya operasional. Makin besar persentase NFIO maka perlakuan mempunyai efsisiensi ekonomi semakin tinggi.

02

(4) Efisiensi ekonomi masing-masing perlakuan pemupukan (Ek) dibandingkan dengan perlakuan pemupukan menggunakan dosis terendah yaitu 100 kg/ha urea, 100 kg/ha SP-36 dan 100 kg/ha KCl, diformulasikan sebagai selisih antara Qt (nilai produksi dengan pemupukan urea, SP-35 dan KCl pada dosis ke-t) dan Q0 (nilai produksi dengan perlakuan pemupukan urea, SP-36 dan KCl dosis terendah terendah masing-masing adalah 100 kg/ha), dibagi dengan selisih antara Ct total biaya yang digunakan untuk pemu-pukan urea, SP-36 dan KCl pada perlakuan pemupukan ke-t), dan C0 (total biaya yang digunakan untuk pemupukan urea, SP-36 dan KCl pada perlakuan dengan dosis urea, SP-36 dan KCl dosis terendah masing-masing adalah 100 kg/ha)

03

HASIL DAN PEMBAHASAN

Efisiensi Teknis

Produksi rimpang

Peningkatan dosis pemupukan Urea, SP-36 dan KCl secara statistik tidak berpengaruh terhadap produksi rimpang temulawak per ha, seperti yang tertera pada Gambar 1 yang menunjukkan tingkat kemiringan garis yang tidak terjal. Produksi yang diperoleh antar perlakuan berkisara antara 20,3 ton sampai 25,46 ton/ha. Produksi terendah yaitu 20,23 ton/ha dicapai dengan pupuk dasar 20 ton/ha pupuk kandang dengan penambahan urea, SP-36 dan KCl masing-masing 100 kg/ha, sedangkan tertinggi adalah 25,46 ton/ha pada perlakuan menggunakan 300 kg urea, SP-36 dan KCl masing-masing 200 kg/ha. Produksi yang dihasil kan ini lebih tinggi dari hasil penelitian DJAKAMIHARDJA (1985) pada temulawak lokal dengan pemberian pupuk kandang 6,25 ton/ha, dimana diperoleh hasil 8,82 ton sampai 14,73 ton per/ha.

0g1

Gambar 1. Produksi rimpang nomor harapan temulawak F dengan pemupukan NPK seluas 1.000 m2 di KP. Sukamulya – Sukabumi Figure 1. Production of promising line F java turmeric per 1.000 m2 fertilized with different dosages of urea, SP-36 and KCl in Sukamulya Experimental Garden-Sukabumi

Nomor harapan lainnya yaitu Balittro, 1,2, 3 yang diberi pupuk kandang kotoran sapi 20 ton/ha, urea 200 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 200 kg/ha dapat menghasilkan 19,64 sampai 22,31 ton/ha (PRIBADI dan RAHARJO, 2007). Dibandingkan dengan nomor harapan Balittro 1, 2, dan 3 terlihat bahwa nomor harapan F cukup responsif terhadap pemupukan NPK. Hasil penelitian HAQUE et al. (2007) pada daerah miring di Ramgarh, Khagrachari-India menunjukkan tanaman kunyit (Curcuma longa L.) yang semarga dengan temulawak sangat tanggap terhadap pemupukan N dan K, pada dosis N 180 kg/ha dan K 100 kg/ha diperoleh hasil rimpang 28.2 t/ha.

Produksi kurkuminoid dan xanthorizol

Bahan aktif temulawak yang utama adalah kurkuminoid dan xanthorizol, kedua bahan aktif bekerja secara sinergis menghasilkan efek pharmakologis (SINAMBELA, 1985). Penambahan urea, SP-36 dan KCl tidak memberikan respon yang positif terhadap peningkatan kadar kurkuminoid dan xanthorizol (Gambar 2), ditunjukkan oleh trend produksi yang menurun dengan penambahan pupuk anorganik. Hasil analisis ekstrak rimpang temulawak menggunakan pengekstrak alkohol 70% terhadap kadar xanthorrizol, dan kurkuminoid dengan Gas Chromatography menunjukkan, nomor haraan F dengan pemupukan 100 kg urea, 200 kg SP-36 dan 200 kg KCl, maupun 200 kg urea, atau 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl, atau 200 kg urea, 200 kg SP-36 dan 100 kg KCl menghasilkan kadar kurkuminod tertinggi yaitu 1,46%. Dibandingkan kadar kurkuminoid nomor harapan Balittro 1,2, dan 3 dengan pemberian pupuk organik 10 t/ha + pupuk bio 90 kg/ha + zeolit 300 kg/ha + pupuk fosfat alam 300 kg/ha yaitu 1,45 sampai 1,72% (RAHARJO dan AJIJAH, 2007), kurkuminoid yang dihasilkan nomor harapan F yang dipupuk dengan pupuk an-organik ini menunjukkan kadar yang lebih rendah. Keunggulan nomor harapan F adalah kemampuannya untuk menghasilkan xanthorixol, kadar yang dihasilkan cukup tinggi yaitu berkisar antara 2,00 sampai 3,50% sedangkan pada nomor harapan Balittro 1,2, dan 3 hanya mencapai 0,96 sampai 1,28%. Kadar xanthorizol tertinggi diperoleh pada pemupukan 100 kg urea, 300 kg SP-36 dan 300 kg KCl (Gambar 2).

0g2

Gambar 2. Kadar kurkuminoid dan xanthorizol nomor harapan temulawak F dengan pemupukan urea, SP-36 dan KCl di KP. Sukamulya – Sukabumi Figure 2. Curcuminoid and xanthorizol contents of promising line F java fertilized with different dosages of urea, SP-36 and KCl in Sukamulya Experimental Garden-Sukabumi

Perkalian antara kadar kurkuminoid, xanthorizol dan produksi rimpang, diperoleh hasil kurkuminod dan xanthorizol per ha seperti tertera pada Gambar 3, juga menunjukkan trend yang menurun dengan bertambahnya dosis Urea, SP-36 dan KCL. Produksi kurkuminoid nomor harapan F berkisar antara 26,79 kg sampai 34.95 kg, dan produksi xanthorizol 40,50 kg sampai 79,21 kg per ha. Kurkuminoid yang dihasilkan nomor harapan Balittro 1, 2 dan 3 adalah 52,92 kg sampai 70,52 kg per ha, dan xanthorizol berkisar 39,36 kg sampai 52,48 kg per ha (RAHARJO dan AJIJAH, 2007).

0g3

Gambar 3. Produksi kurkuminoid dan xanthorizol nomor harapan temulawak F dengan pemupukan urea, SP-36 dan KCl per ha di KP. Sukamulya – Sukabumi Figure 3. Production of curcuminod and xanthorizol of promosing line F java turmeric fertlized with different dosages of urea, SP-36 and KCl per hectare in Sukamulya Experimental Garden-Sukabumi

Nomor harapan F yang diberi pupuk urea, SP-36 dan KCl mempunyai keunggulan dalam menghasilkan rimpang dan memproduksi xanthorizol dibandingkan dengan nomor harapan Balittro 1,2, dan 3 yang diberi pupuk organik. Disarankan dalam pengembangan budidaya temulawak anorganik yang diarahkan untuk menghasilkan rimpang dan xanthorizol, nomor harapan F ini layak untuk digunakan.

Efisiensi Ekonomis

Tingkat pendapatan

Biaya tetap yang digunakan dalam penelitian temulawak dengan pemupukan dengan urea, SP-36 dan KCl (Tabel 1.) sebesar Rp. 2.230.000/1.000 m2, terdiri 47,08% untuk biaya tenaga kerja dan 52,92% untuk biaya saprotan. Pengeluaran biaya tenaga kerja hampir 50% digunakan untuk penyiangan. Biaya saprotan terbesar digunakan untuk pembelian pupuk kandang yaitu sebasar 59,32%, bila petani menggunakan tenaga keja di dalam keluarga, mereka dapat menghemat biaya usahatani sebesar Rp. 1.050.000, selain itu penghematan biaya juga dapat diperoleh dari biaya pupuk kandang sebesar Rp. 700.000 dengan asumsi petani menggunakan pupuk kandang dari ternak yang mereka miliki. Dari dua pengeluaran tersebut petani dapat menghemat pengeluaran sebesar Rp. 1.800.000/1.000 m2 di mana merupakan kompensasi bagi petani sebagai manager dari usahataninya.

0t1

Penghitungan biaya variabel (biaya operasional) berdasarkan biaya berubah yang diakibatkan oleh perlakuan pemupukan anorganik, yaitu biaya tenaga kerja dan biaya pupuk anorganik. Biaya variabel yang digunakan berkisar antara Rp. 715.000 sampai R 1.070.000 yaitu pada percobaan dengan menggunakan pupuk urea 100, SP-36 dan KCl masing-masing 100 kg/ha, dan urea 100, SP-36 dan KCl masing-masing 300 kg/ha per 1.000 m2 lahan. Biaya tenaga kerja menyerap 74,77 – 87,41% total biaya variabel, sedangka biaya pembelian pupuk urea, SP-36 dan KCl menyerap 12,59 – 25,23% (Tabel 2). Persentase biaya tenaga yang dikeluarkan untuk usahatani ini lebih besar dari persentase pada usahatani padi yaitu 50% dan kentang 40% (RUSASTRA et al., 2005). Agar usahatani temulawak ini kompetitif dibandingkan dengan usahatani tanaman tersebut, disarankan petani memanfaatkan tenaga kerja dalam keluarga untuk mengelola usahatani temulawaknya. Dengan cara demikian, pendapatan tambahan yang diperoleh keluarga tani setiap 1.000m2 berkisar antara Rp.715.000 sampai Rp. 1.070.000.

0t2

Perlakuan pemupukan temulawak menggunakan 300 kg urea, SP-36 dan KCl masing-masing 200 kg/ha, secara ekonomis paling tinggi perolehan pendapatannya, akan tetapi dengan tingkat input yang diberikan secara teknis dibandingkan dengan pemupukan Urea 200 kg/ha dan SP-36 dan KCL masing-masing 100 kg/ha perlakuan pemupukan dengan dosis ini lebih rendah nilai efisiensi teknisnya. Pendapatan bersih yang dihasilkan sebesar Rp. 559.000 per 1.000 m2 lahan pada harga jual rimpang Rp. 1.500/kg, (Tabel 3). Pendapatan tersebut lebih tinggi dari pada pendapatan yang diperoleh paket budidaya menggunakan nomor harapan Balittro 2 dengan pupuk kandang sapi 20 ton, 200 kg urea, 200 kg SP-36, dan 200 kg KCl per ha, di mana diperoleh bersih sebesar Rp. 228.750 dan B/C rasio 1,073 per 1.000 m2 lahan (PRIBADI dan RAHARDJO, 2007). Pendapatan yang diperoleh juga lebih tinggi dibandingkan dengan temulawak yang ditanam di bawah tegakan sengon menggunakan pupuk dasar 10 ton pupuk kandang, 200 kg urea, 200 kg SP-36, dan 200 kg KCl yang ditambahkan pupuk Bio dengan mikroorganisme aktif Azospirillum lipoferum, Azotobacter beijerinckii, Aeromonas punctata dan Aspergilus niger dosis 90 kg/ha dimana diperoleh pendapatan bersih sebesar Rp. 459.470 per 1.000 m2 lahan (PRIBADI et al., 2005).

0t3

Rasio biaya operasional

Rasio antara biaya operasional pemupukan dan pendapatan kotor menunjukkan tingkat efisiensi biaya pemupukan. Biaya operasional pemupukan terdiri dari biaya pembelian pupuk an-organik dan tenaga kerja pada masing-masing perlakuan. Makin kecil persentasenya, secara ekonomi makin efisien teknologi pemupukan yang dilakukan. Gambar 4 menunjukkan makin tinggi dosis pupuk urea, SP-36 dan KCL persentase rasio biaya operasional dan pendapatan kotor makin meningkat. Trend tersebut menunjukkan semakin tinggi dosis pupuk anorganik yang digunakan secara ekonomi makin tidak efisien, karena biaya yang digunakan untuk biaya pemupukan semakin besar akan tetapi besarnya biaya tidak berbanding lurus dengan pendapatan kotor yang diperoleh. Rasio biaya operasional terendah yaitu 23,13% diperoleh pada dosis pemupukan 200 kg/ha, 100 kg/ha SP-36 dan 100 kg/ha KCl, persentase tersebut menunjukkan 23,13% dari pendapatan kotor digunakan untuk biaya operasional perlakuan pemupukan anorganik.

0g4

Gambar 4. Rasio biaya operasional dan pendapatan kotor nomor harapan temulawak F dengan pemupukan urea, SP-36 dan KCl per ha di KP. Sukamulya – Sukabumi Figure 4. Operational Expense Ratio of promosing line F java turmeric fertilized with different dosages of urea, SP-36 and KCl per hectare in Sukamulya Experimental Garden-Sukabumi

Rasio pendapatan dikurangi biaya operasional terhadap pendapatan kotor

Nilai rasio pendapatan kotor dikurangi biaya operasional pemupukan dan dan pendapatan kotor menunjukkan persentase sisa pendapatan setelah dikurangi dengan biaya operasional. Makin besar persentasenya maka perlakuan mempunyai efsisiensi ekonomi semakin tinggi.Makin besar persentasenya makin efisien teknologi pemupukan yang dilakukan. Gambar 5 menunjukkan makin tinggi dosis pupuk urea, SP-36 dan KCL, trend persentase rasio biaya operasional dan pendapatan kotor makin menurun, hal ini menunjukkan semakin tinggi dosis pupuk anorganik yang digunakan sisa pendapatan yang diperoleh semakin menurun. Rasio pendapatan kotor dikurangi biaya operasional pemupukan dan pendapatan kotor tertinggi yaitu 76,87% diperoleh pada dosis pemupukan 200 kg/ha, 100 kg/ha SP-36 dan 100 kg/ha KCl, persentase tersebut menunjukkan 76,87% dari pendapatan petani sebelum dikurangi biaya tetap adalah 76,87% dari pendapatan kotor.

0g5

Gambar 5.Rasio pendapatan dikurangi biaya operasional terhadap pendapatan kotor nomor harapan temulawak F dengan pemupukan urea, SP-36 dan KCl per ha di KP. Sukamulya – Sukabumi Figure 5. Operational Expense Ratio of promosing line F java turmeric fertilized with different dosages of urea, SP-36 and KCl per hectare in Sukamulya Experimental Garden-Sukabumi

Efisiensi ekonomi tiap perlakuan pemupukan dibanding kontrol (urea, SP36 dan KCl masing-masing 100 kg/ha)

Hasil penelitian menunjukkan, penambahan dosis pupuk anorganik pada temulawak nomor harapan F yang ditujukan untuk menghasilkan rimpang tidak selalau menunjukkan tingkat efisiensi ekonomi yang tinggi, dibandingkan dengan perlakuan pemupukan dosis urea, SP-36 dan KCl yang terendah dalam penelitian ini yaitu masing-masing 100 kg/ha (kontrol) (Gambar 6). Dibandingkan dengan kontrol, pemupukan urea 200 kg/ha, SP-36 dan KCL masing-masing 100 kg/ha mumpunyai nilai koefisien ekonomi tertinggi yaitu 5,08. Nilai tersebut menunjukkan penambahan biaya pemupukan 1 satuan akan meningkatkan nilai produksi 5,08 satuan. Peningkatan pupuk anorganik melebihi dosis pemupukan urea 200 kg/ha, SP-36 dan KCL masing-masing 100 kg/ha, secara teknis tidak efisiensi untuk dilakakukan.

0g6

Gambar 6. Efisiensi ekonomi nomor harapan temulawak F dengan pemupukan urea, SP-36 dan KCl dibandingkan dengan kontrol (urea, SP-36 dan KCl masing-masing 100 kg/ha) di KP. Sukamulya – Sukabumi Figure 6. Economic efficiency of promosing line F java turmeric fertilized with different dosages of urea, SP-36 and KCl compared to control (urea, SP-36 dan KCl dosage 100 kg/ha in Sukamulya Experimental Garden-Sukabumi

Pengembangan temulawak nomor harapan F yang ditujukan menghasilkan rimpang, kurkuminoid dan xanthorizol dianjurkan menggunakan dosis pemupukan anorganik yang rendah (Low External Input Sustainable Agriculture = LEISA). Teknik produksi tersebut telah dilakukan oleh petani, dimana selain menggunakan pupuk organik juga dikombinasikan dengan menggunakan pupuk anorganik dengan takaran yang tidak berlebihan. Petani mengembangkan tanaman temu-temuan dengan cara LEISA karena biaya produksi yang dikeluarkan relatif rendah (PRIBADI & RAHARJO, 2007) dan KEMALA et al. (2003).

Hasil ranking dari rekapitulasi 27 perlakuan pemupukan urea, SP-36 dan KCl berdasarkan kriteria kelayakan teknis/fisik dan kelayakan ekonomi, perlakuan 200 kg/ha urea, 100/ha kg SP-36 dan 100 kg/ha KCl mendapat ranking tertinggi, yaitu 11 point (Tabel 4.) Perlakuan tersebut disarankan untuk mendukung pengembangan temulawak nomor harapan F.

0t4

KESIMPULAN

Pengembangan temulawak nomor harapan F dianjurkan menggunakan dosis pemupukan an-organik yang rendah (Low External Input Sustainable Agriculture = LEISA), yaitu 200 kg/ha urea, dan SP-36 dan KCl masingmasing 100 kg/ha, karena berdasarkan beberapa kriteria analisis efisiensi teknis dan ekonomis mempunyai total skor tertinggi. Dengan dosis pemupukan tersebut diperoleh : (1) produksi rimpang, kurkuminoid dan xanthorizol masingmasing 2.277 kg, 33,24 dan 73,26 kg per 1.000 m2 lahan, (2) tingkat pendapatan bersih Rp. 344.500/1.000 m2 lahan, rasio biaya operasional terhadap pendapat kotor 23,13%,  rasio pendapatan dikurangi biaya operasional terhadap pendapatan kotor 76,87%, dan efisiensi ekonomi tiap perlakuan pemupukan dibanding kontrol (urea, SP36 dan KCl masing-masing 100 kg/ha) 5,08.

DAFTAR PUSTAKA

AJIJAH, N. dan R.T. SETIYONO. 2003. Analisis mutu rimpang 20 nomor temulawak. Laporan Akhir Penelitian.

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Unpublish. BHALLA, S. and P. ROY. 1988. Mis-specification in  farm productivity analysis: The role of land quality. Oxford Economic Papers. 40(1): 55-73.

BPS. 2007. Statistik Tanaman Obat-obatan dan Hias. Jakarta .

DIREKTORAT ANEKA TANAMAN HORTIKULTURA. 2000. Budidaya Tanaman Temulawak. Jakarta. 44p.

DJAKAMIHARDJA, S., P. SETYADIREDJA, dan I. Sudjono. 1985. Budidaya temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dan prospek pengembangannnya di Indonesia. Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Lembaga Penelitian Universitas Pajajaran. Bandung. (6):49-60.

FARRELL. 1957. The measurement of productivity efficiency. Journal of the Royal Statistical Society. Series A. Part 3. 120 : 253 – 581.

HAQUE M. M., A.K.M.M. RAHMAN, M. AHMED, M.M. MASUD and M.M.R. SARKER. 2007. Effect of Nitrogen and Potassium on the Yield and Quality of Turmeric in Hill Slope. Int. J. Sustain. Crop Prod. 2 (6):10-14.

HERNANTO, F. 1995. Ilmu Usahatani. PT Penebar Swadaya. Jakarat. 308p.

KAY, R.D. dan W. M. EDWARDS. 1999. Farm Management. Mc Graw-Hill Companies. 489p.

KEMALA, S; SUDIARTO, E. R.PRIBADI, JT. YUHONO, M. YUSRON, L. MAULUDI, M. RAHARJO, B. WASKITO, dan H. NURHAYATI 2003. Studi Serapan, Pasokan dan Pemanfaatan Tanaman Obat di Indonesia. Laporan Teknis Penelitian Bagian Proyek Penelitian Tanaman Rempah dan Obat APBN 2003. 61p.

MARHASAN, A. 2005. Analisis Efisiensi Ekonomi Usahatani Murbei dan Kokon di Kabupaten Enrekang. Analisis. 2 (2) : 109-119.

PARTOHARDJONO, S. 2002. Penelitian dan pengembangan tanaman pangan dalam kaitannya sistem pertanian organik. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pertanian Organik, Jkt 2 – 3 Juli 2002, p.99-108.

PRIBADI, E.R., M. JANUWATI, dan M.YUSRON. 2005. Peningkatan pendapatan usahatani temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) di bawah tegakan hutan rakyat melalui penggunaan pupuk Bio. Jurnal Ilmiah Gakuryoku. XI(1): 7 – 10.

PRIBADI, E.R. dan M. RAHARDJO. 2007. Kajian ekonomi budidaya organik dan konvensional pada 3 nomor harapan temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Buletin Tanaman Rempah dan Obat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. XVIII(1): 73-85.

PYNDICK, S. ROBERT, and D. RUBINFIELD. 1997. Microeonomics. Prentice Hall. New Jersey.

RAHARDJO, M. dan O. ROSTIANA. 2005. Budidaya tanaman temulawak. Sirkuler No. 11. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. p.1-7.

RAHARJO, M. dan N. AJIJAH. 2007. Pengaruh pemupukan organik terhadap produksi dan mutu tiga nomor harapan temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) di Cibinong Bogor. Buletin Tanaman Rempah dan Obat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. XVIII(1):29 – 38.

RAHARDJO, M., ROSITA, SMD., E. DJAUHARIYA, N. BERMAWIE, E.R. PRIBADI, H. NURHAYATI, KOSASIH, dan ENJANG. 2007. Respon nomor haraan temulawak terhadap kombinasi pemupukan Nitrogen, Fosfat dan Kalium. Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. p.1-30. Un-publish.

RUSASTRA, I.W., K.M. NOEKMAN, SUPRIYATI, E. SURYANI, R. ELIZABETH, M. SURYADI. 2005. Analisis ekonomi ketenagakerjaan sektor pertanian dan pedesaan di Indonesia. Laporan akhir penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. p.6. Un-publish.

SETIYONO, R.T, N. AJIJAH, I.M. TASMA, HERA, N., R. BALFAS, E.R. PRIBADI. 2006. Uji Multilokasi nomor-nomor harapan temulawak pada berbagai kondisi agroekologi. Laporan Teknis Penelitian T.A. 2006. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. p.224-241.

SINAMBELA, J.M. 1985. Fitoterapi, fitostandar dan temulawak. Posiding Simposium Nasional Temulawak. Universitas Pajajaran. Bandung. p.150-55.

SOEKARTAWI. 1995. Agribisnis : Teori dan Aplikasi. Cetakan ke-3. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta

SUKIYONO, K. 2005. Faktor penentu tingkat efisiensi teknik usahatani cabai merah di Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Jurnal Agro Ekonomi. 23(2): 176-190.

SUSANTUM. I. 2000. Fungsi keuntungan Cobb-Douglas dalam pendugaan efisiensi ekonomi relatif. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 5(2): 149 – 161.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.