Minyak Atsiri Indonesia

Titin Handayani, dkk.

KUALITAS MINYAK NILAM SEBAGAI TANAMAN SELA PADA AREAL LAHAN HUTAN RAKYAT DI DESA CIBOJONG, KECAMATAN PADARINCANG, KABUPATEN SERANG

Oleh: Titin Handayani, Adi Mulyanto dan Titiresmi; Balai Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Gedung 412 Kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang;  E-mail: htitin@yahoo.com.

(Makalah diajukan pada Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006, 18-20 September 2006 di Hotel Sahid Raya Solo. Jl Gajahmada N0. 82 Solo, Jawa Tengah)

Abstrak

Nilam (Podostemon cablin Benth) merupakan tanaman yang potensial untuk dikembangkan. Biasanya nilam ditanam masyarakat dengan berpindah-pindah tempat. Hal ini berdampak pada kerusakan hutan, karena mereka mengalih fungsikan lahan hutan untuk perkebunan nilam. Dalam upaya pelestarian lingkungan hutan, maka usaha tani nilam dilakukan bersama program perhutanan bersama masyarakat (PHBM) dimana masyarakat menanam nilam sebagai tanaman sela diantara pohon utama.

Dalam upaya mendukung usaha tersebut dilakukan penelitian penanaman nilam pada areal hutan rakyat di desa Cibojong, kecamatan Padarincang, kabupaten Serang, provinsi Banten. Kondisi geografis daerah tersebut sesuai untuk tanaman nilam, yaitu pada ketinggian 400 meter di atas permukaan laut. Upaya tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekaligus melindungi tanaman hutan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas minyak nilam yang ditanam dalam kondisi naungan sebagai tanaman sela di bawah pohon utama. Sebagai pembanding, nilam ditanam pula pada areal terbuka. Penanaman nilam dimulai awal tahun 2005 dengan menggunakan varietas nilam Aceh yang dikenal mempunyai kadar minyak tinggi.

Pemanenan dilakukan pada umur 6 dan 12 bulan setelah tanam. Daun dan ranting nilam yang telah dikeringkan, kemudian dibawa ke Laboratorium Proses Balai Teknologi Lingkungan BPPT di PUSPIPTEK Serpong Tangerang. Penyulingan dilakukan dengan seperangkat alat suling skala laboratorium, kapasitas 2 kg bahan kering. Daun nilam kering dipisahkan dari ranting-ranting kering. Penyulingan dilakukan untuk daun dan ranting secara terpisah. Setelah melalui proses destilasi selama 1-2 jam diperoleh rendemen minyak nilam sebesar 1,8-2,0% untuk daun, sedangkan ranting hanya 0,7-1,0%. Selanjutnya minyak nilam yang diperoleh dibawa ke Laboratorium Analisis Kimia untuk dianalisis kandungan patchouli alkohol (PA). Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan PA daun tertinggi adalah 30% diperoleh dari sampel daun nilam umur panen 12 bulan yang ditanam sebagai tanaman sela. Sedangkan nilam yang ditanam pada areal terbuka menghasilkan PA 35% dari sampel daun nilam yang dipanen umur 6 bulan. Standar kualitas minyak nilam untuk diekspor adalah yang mengandung PA tidak kurang dari 30%. Dengan demikian minyak nilam hasil tanaman yang ternaungi menunjukkan dapat dipasarkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan lahan dibawah tegakan dapat difungsikan untuk tanaman nilam sebagai tanaman sela.

PENDAHULUAN

Minyak asiri bukanlah sesuatu yang aneh di telinga masyarakat Indonesia, kerena ada beberapa jenis minyak asiri yang cukup diperlukan oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari, misalnya jahe yang digunakan sebagai bumbu masak oleh para ibu rumah tangga.

Indonesia memegang peranan penting dalam perdagangan minyak asiri dunia karena sekitar 57 % atau 40 dari jenis minyak asiri yang diperdagangkan di hasilkan di Indonesia, mengingat tanaman yang menghasilkannya dapat di budidayakan dengan baik di Indonesia.

Peluang pengusahaan minyak asiri cukup potensial baik untuk pasar dalam negeri maupun luar negeri, karena manfaat dari minyak asiri yang sangat diperlukan oleh manusia baik untuk dikonsumsi maupun untuk kesehatan. Disisi lain minyak asiri juga mampu memberikan peranan yang nyata dalam pelestarian sumberdaya alam kalau di lakukan pengelolaan dengan baik, sehingga tidak mengandalkan kayu sebagai komoditas utama dari hutan khususnya. Tapi disayangkan perkembangan minyak asiri belum maksimal sehingga diperlukan suatu usaha memaksimalkannya.

Ada beberapa propinsi yang mempunyai produksi minyak asiri cukup besar adalah Aceh yang menghasilkan minyak pala dan minyak nilam, Sumatera Utara (minyak nilam), Jawa Tengah (minyak cengkeh, minyak jahe, dan kenanga), Jawa Barat (minyak akar wangi, minyak sereh wangi, minyak cengkeh, dan minyak jahe) serta masih ada beberapa propinsi yang cukup besar dalam produksi minyak asiri seperti Nusa Tenggara Barat, Bengkulu, Sumatera Barat, Maluku serta Jawa Timur (Sastromidjojo, 2005) .

Walaupun sudah dikenal masyarakat secara umum, bukan berarti dalam pengembangan minyak asiri tidak mempunyai permaslahan. Ada beberapa kendala dalam pengembangan minyak asiri diantaranya menyangkut aspek produksi yaitu kurangnya pengetahuan dalam hal pembudidayaan minyak asiri, pengelolaan serta teknik penyulingan yang bisa mengakibatkan kualitas minyak asiri yang kurang optimal dan rendemen yang besar.

Permasalahan lain adalah minyak asiri yang di hasilkan Indonesia pada umumnya masih setengah jadi, hal ini dikarenakan belum banyak terdapat teknologi yang mampu memproduksi minyak asiri yang siap pakai. Sementara itu untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja Indonesia terpaksa mengimpor dari negara lain (Non-Timber Forest Product, 2006).

Nilam merupakan salah satu dari 150 – 200 spesies tanaman penghasil minyak atsiri. Tanaman nilam punya julukan keren Pogostemon patchouli atau Pogostemon cablin Benth, alias Pogostemon mentha. Aslinya dari Filipina, tapi sudah dikembangkan juga di Malaysia, Madagaskar, Paraguay, Brasil, dan Indonesia. Karena banyak ditanam di Aceh, maka mendapat julukan juga nilam Aceh. Varietas ini banyak dibudidayakan secara komersial (Amin, 2006) .

Biasanya nilam ditanam masyarakat dengan berpindah-pindah tempat. Hal ini berdampak pada kerusakan hutan, karena mereka mengalih fungsikan lahan hutan untuk perkebunan nilam. Dalam upaya pelestarian lingkungan hutan, maka usaha tani nilam dilakukan bersama program perhutanan bersama masyarakat (PHBM) dimana masyarakat menanam nilam sebagai tanaman sela diantara pohon utama (Departemen Kehutanan, 2006).

Dalam upaya mendukung usaha tersebut dilakukan penelitian penanaman nilam pada areal hutan rakyat di desa Cibojong, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Kondisi geografis daerah tersebut sesuai untuk tanaman nilam, yaitu pada ketinggian 400 meter di atas permukaan laut. Upaya tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekaligus melindungi tanaman hutan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas minyak nilam yang ditanam dalam kondisi naungan sebagai tanaman sela di bawah pohon utama. Sebagai pembanding, nilam ditanam pula pada areal terbuka. Penanaman nilam dimulai awal tahun 2005 dengan menggunakan varietas nilam Aceh yang dikenal mempunyai kadar minyak tinggi.

BAHAN DAN METODE

0g1

Gambar 1. Rangkaian alat penyulingan skala laboratorium kapasitas 2 kg bahan kering

Nilam ditanam pada areal hutan rakyat di desa Cibojong, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten sebagai tanaman sela. Sebagai pembanding dilakukan pula penanaman pada areal terbuka. Varietas nilam yang digunakan adalah nilam Aceh. Penanaman dengan jarak tanam 50 x 100 cm. Pemanenan dilakukan pada umur 6 dan 12 bulan setelah tanam. Daun dan ranting nilam yang telah dikeringkan, kemudian dibawa ke Laboratorium Proses Balai Teknologi Lingkungan BPPT di PUSPIPTEK Serpong Tangerang. Penyulingan dilakukan dengan seperangkat alat suling skala laboratorium, kapasitas 2 kg bahan kering (Gambar 1).

Daun nilam kering dipisahkan dari ranting-ranting kering. Penyulingan dilakukan untuk daun dan ranting secara terpisah. . Cara penyulingan adalah dengan air yaitu bahan daun nilam direbus dengan airdi dalam ketel penyulingan. Uap air yang terbentuk akan mengandung minyak nilam. Uap-tersebut kemudian dialirkan melalui sebuah pipa yang berhubungan dengan kondensor (pendingin), sehingga uap akan berubah menjadi air kembali. Pemisahan air dan minyak dilakukan di bak pemisah. Setelah melalui proses destilasi selama 1-2 jam, rendemen minyak nilam selanjutnya dibawa ke Laboratorium Analisis Kimia untuk dianalisis kualitas minyaknya termasuk juga kandungan patchouli alkohol (PA).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sample nilam diperoleh dari hasil pemanenan dilakukan pada umur 6 dan 12 bulan setelah tanam. Daun dan ranting nilam yang telah dikeringkan, kemudian dibawa ke Laboratorium Proses Balai Teknologi Lingkungan BPPT di PUSPIPTEK Serpong Tangerang. Penyulingan dengan seperangkat alat suling skala laboratorium, kapasitas 2 kg bahan kering. Setelah melalui proses destilasi selama 1-2 jam diperoleh rendemen minyak nilam sebesar 18-20% untuk daun, sedangkan ranting hanya 7-10%.

Selanjutnya minyak nilam yang diperoleh dibawa ke Laboratorium Analisis Kimia untuk dianalisis kandungan patchouli alkohol (PA). Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan PA daun tertinggi adalah 30% diperoleh dari sampel daun nilam umur panen 12 bulan yang ditanam sebagai tanaman sela. Sedangkan nilam yang ditanam pada areal terbuka menghasilkan PA 35% dari sampel daun nilam yang dipanen umur 6 bulan. Kandungan PA lebih tinggi pada nilam yang ditanam pada areal terbuka.

Kondisi penanaman antara areal terbuka (Gambar 2) dan naungan/tanaman sela (Gambar 3) berbeda nyata. Demikian pula umur panen (Tabel 1). Hal ini disebabkan dalam kondisi areal terbuka tanaman tercekam kekeringan, dibandingkan dengan kondisi naungan. Dalam kondisi tercekam tanaman akan menghasilkan produk metabolisme sekunder lebih banyak daripada metabolisme primer. Produk metabolisme sekunder untuk tanaman nilam adalah berupa minyak nilam. Produk metabolisme sekunder untuk minyak nilam banyak dihasilkan pada bagian daun (Achmad, 2004)

0g2

Gambar: (2) Penanaman nilam dalam areal terbuka (tanda panah); (3) Penanaman nilam dalam naungan/tanaman sela.

0t1

Komponen utama yang menjadi bahan senyawa penyusun minyak nilam meliputi patchouli alkohol, patchouli camphor, eugenol, benzaldehyde, clinamic aldehyde dan cadinene. Namun, komponen penyusun yang paling menentukan kualitas minyak nilam adalah patchouli alkohol (Walker, 1968). Standar kualitas minyak nilam untuk diekspor adalah yang mengandung PA tidak kurang dari 30%. Sedangkan untuk kebutuhan dalam negeri kualitas minyak nilam dengan PA dibawah 30% masih laku dipasarkan. Dengan demikian minyak nilam hasil tanaman yang ternaungi menunjukkan dapat dipasarkan sesuai dengan kebutuhan standar kualitas ekspor maupun kebutuhan dalam negeri.

Nilam dapat tumbuh di mana saja, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi (0 – 1.200 m dpi), tetapi tumbuh baik pada ketinggian 10m- 400 m dpi. Nilam tidak memerlukan banyak air, tapi juga tidak tahan kering. Menghendaki suhu 24 – 28°C, tapi lembab (lebih dari 75%), curah hujan merata sepanjang tahun (2.000 – 3.500 mm per tahun), dan tanah yang mengandung banyak humus (Rahayu, 2006).

Untuk pertumbuhan optimal, nilam perlu cukup sinar matahari. Namun bias tumbuh baik di tempat yang agak terlindung. Karena itu nilam bisa ditanam secara tumpang sari dengan tanaman lain. Di lereng kaki Gunung Ceremai (200 – 1.000 m dpl), di daerah Kuningan (Jawa Barat), tanaman nilam ditumpangsarikan dengan tanaman jagung (Gusmalina, 2006). Nilam juga bisa ditanam di sela-sela lamtoro gung, kelapa, atau karet (NTFP, 2006). Kondisi tanah datar atau miring (lereng) tidak masalah bagi tanaman nilam, yang penting subur dan berdrainase baik. Tanah liat, tanah berpasir, dan berkapur kurang disukai tanaman nilam. Sistem budidaya tumpangsari selain untuk peningkatan produktifitas lahan dan peningkatan perekomomian rakyat, juga suatu upaya preventif penanggulangan hama dan penyakit (Rahayu, 2006). Selain itu sistem budidaya polikultur lebih menguntungkan dibandingkan monokultur, karena dapat menghindari kepunahan biodiversitas oleh serangan hama dan penyakit (Achmad, 2002).

Peran hasil hutan bukan kayu (HHBK) dalam menunjang kegiatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan perlu dikembangkan. Pengelolaan hutan perlu diarahkan tidak hanya sebagai penghasil kayu tetapi juga sebagai penghasil HHBK yang dapat membuka lapangan perkerjaan dan penghasilan bagi masyarakat lokal dengan tetap memperhatikan faktor ekologis. Salah satu program untuk memcapai partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan yang lestari adalah meningkatkan peran HHBK yang mampu meningkatkan kegiatan dan kesejahteraan masyarakat lokal sekitar hutan. Salah satu komoditi HHBK yang perlu dikembangkan adalah pengusahaan nilam secara tumpang sari terutama pada lahan kawasan hutan, sehingga dapat mendukung optimalisasi penggunaan lahan (Dephut, 2006). Data, informasi serta contoh uji (daun dan minyak nilam) dikumpulkan dari kampung Pager Ageung, Desa Pager Sari, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat yang ditanam secara tumpang sari dengan tanaman pertanian dan perkebunan pada kebun campuran.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa produktivitas nilam yang ditanam secara tumpang sari di Tasikmalaya sebesar 4 kg/rumpun/panen dengan hasil DNB (daun nilam basah) sekitar 75-100 ton/ha atau sama dengan 15-20 ton DNK (daun nilam kering) per hektar sekali panen lalu dijual ke pedagang dengan harga Rp 500/kg basah, dan Rp 2.500/kg kering, dengan nilai jual sekitar Rp 37,5-50 juta/ha. Usaha ini dikelola oleh Kelompok Tani Mitra Usaha Jaya, proses penyulingan dengan cara uap panas.

Kualitas dan rendemen minyak yang ditanam secara tumpang sari tidak kalah bagus dengan kualitas minyak yang ditanam secara monokultur. Kadar Patchouli berkisar antara 26-39,5%, bahkan yang disuling di laboratorium berkisar antara 41- 49,7%, dengan rendemen berkisar antara 2,4-5%. Masyarakat sekitar kota Tasikmalaya semakin berminat untuk memperluas areal penanaman nilam terutama sejak adanya pabrik penyulingan di Pager Ageung, demikian juga pihak kehutanan dan PT Perhutani. Oleh sebab itu pengusahaan nilam secara tumpang sari di lahan kawasan hutan perlu dikembangkan.

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kualitas minyak nilam yang ditanam pada kondisi naungan masih memenuhi standar untuk dipasarkan. Dengan demikian nilam mempunyai potensi sebagai tanaman sela, sehingga lahan dibawah tegakan tanaman hutan dapat difungsikan untuk tanaman nilam. Namun pemanenan membutuhkan waktu lebih lama pada nilam yang ditanam di bawah naungan.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, S.A. 2002. Pelestarian dan Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati untuk Meningkatkan Kesejahteraan dan Peradaban Umat Manusia. Kumpulan Artikel pada Buku Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta.

Achmad, S.A. 2004. Bahan alam untuk Mendukung Pengembangan Bioindustri. Makalah pada Seminar Nasional Kimia Bahan Alam . UNAIR dan Ikahimki, 4 September 2004. Surabaya.

Amin, M. 2006. Potensi Terpendam Tanaman Nilam. http://www.riaupos.com. Diakses 3 September 2006.
Departemen Kehutanan. 2006. Hasil Hutan. http://www.dep.hut.go.id. Diakses 10 Agustus 2006.

Gusmalina. 2005. Pengolahan Nilam Tumpangsari di Tasikmalaya. Jurnal Penelitian Hasil Hutan: Vol. 23.No.1:1-14,2005

Non-Timber Forest Product. 2006. Potensi Nilam sebagai Hasil Hutan non-Kayu. http://wwwntfp.or.id. Diakses 27 Mei 2006.

Rahayu, A. 2006. Budidaya Nilam. http://www.amanah.or.id. Diakses 4 September 2006.

Sastromidjojo, H. 2005. Potensi Minyak Atsiri Indonesia. Makalah Workshop Kewirausahaan UGM dan Ikahimki, 27 September 2005. Yogyakarta.

Walker, G T. 1968. The Structure and Synthesis of Patchouli Alcohol. Manufacturing Chemist and Aerosol News.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.