Minyak Atsiri Indonesia

Sukarman, dkk. (2)

VIABILITAS BENIH JAHE (Zingiber officinale Rosc.) PADA CARA BUDIDAYA DAN LAMA PENYIMPANAN YANG BERBEDA

Oleh: Sukarman, Devi Rusmin dan Melati;  Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

ABSTRAK

Salah satu permasalahan dalam pengembangan tanaman jahe (Zingiber officinale Rosc.) adalah kurang tersedianya benih jahe unggul bermutu. Pada umumnya produksi benih jahe dilakukan secara monokultur, jarang dilakukan dengan menyisipkan tanaman lain. Oleh karena itu, informasi mengenai mutu benih jahe yang dibudidayakan secara intercropping dengan tanaman lain masih sangat terbatas. Percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui viabilitas benih jahe dari cara budidaya yang berbeda selama periode penyimpanan. Percobaan dilakukan di Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka (600 m dpl), sejak Agustus sampai November 2003. Percobaan menggunakan 3 tipe jahe yaitu : 1). Jahe Putih Besar/JPB (Z. officinale var. Officinale), 2).Jahe Putih Kecil/JPK (Z. officinale var. amarum) dan 3). Jahe Merah/JM (Z. Officinale var. rubrum). Untuk masing-masing tipe jahe percobaan disusun dalam rancangan petak terbagi (RPT) dengan 3 ulangan. Petak utama adalah 3 cara budidaya benih jahe yaitu :1) Jahe ditanam secara monokultur, 2). Jahe ditanam secara intercropping dengan bawang daun, dan 3). Jahe ditanam secara intercroping dengan kacang merah. Anak petak adalah 4 periode penyimpanan yaitu : 0, 1, 2, dan 3 bulan. Parameter yang diamati adalah kadar air benih, penyusutan bobot benih dan daya tumbuh benih pada akhir penyimpanan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa benih JPK, yang diproduksi dengan cara budidaya inter-cropping dengan kacang merah menghasilkan mutu yang lebih baik (kadar airnya lebih tinggi dan penyusutan bobot benih/rimpang rendah). Mutu fisiologis benih JPB, JPK, dan JM dengan cara budidaya secara monokultur dan intercroping dengan kacang merah dan bawang daun, tidak berbeda. Setelah 3 bulan penyimpanan, daya tumbuh untuk JPB, JPK, dan JM berturut – turut masih diatas 90,67 %, 85,33 % dan 86,67 %. Kadar air benih jahe menurun, penyusutan bobot rimpang meningkat sejalan dengan lamanya penyimpanan. Berdasarkan hasil tersebut, di atas maka benih jahe dapat diproduksi secara monokultur atau intercropping dengan kacang merah dan bawang daun atau tanaman lain yang bukan merupakan tanaman inang bagi hama dan penyakit utama tanaman jahe.

Kata kunci : Zingiber officinale, viabilitas, cara budidaya, lama penyimpanan

ABSTRACT

Viability of Ginger (Zingiber officinale Rosc.) at Different Culture Practices and Storage Periods One of dilemma for developing of ginger (Zingiber officinale Rosc.) is limited of high quality ginger seed. Generally, production of ginger seed is conducted by monoculture, and rarely conducted by intercropping with others crops. Therefore, the quality of ginger seeds produced by intercropping with others crops is still very limited. Based on the problems an experiment viability of ginger at different culture practices and storage periods was conducted. The main objective of this experiment was to studied the viability of ginger seed produced from different culture practices and storage periods. The experiment was con-ducted in Bantarujeg, District of Majalengka (600 m above sea level) from August until November 2003. The experiment using 3 kinds of ginger namely was white big ginger (Z. officinale var. officinale), small white ginger (Z. officinale var. amarum) and red ginger (Z. officinale var. rubrum). For each kinds of ginger were arranged in Splitplot design and replicated 3 times. The main plot was 3 different of culture practices, there were 1). Ginger monoculture, 2) Ginger intercropped by welsh onion, and 3). Ginger intercropped by red bean. The sub plot was 4 periods of storage (0, 1, 2 and 3) months after Sukarman et al. : Viabilitas Benih Jahe ( Zingiber officinale Rosc. ) pada Cara Budidaya dan Lama Penyimpanan yang Berbeda 2 storage. Variables observed include moisture contents of ginger seed, lost weight of seed and germination percentage of rhizome at the end of storage periods. The results of experiment indicated that based on the moisture content and decreasing weight of rhizome, white big ginger and red ginger seed produced by monoculture or intercropping with red bean and welsh onion physically had the same quality. Howe-ver, white small ginger seed produced by intercropping with red bean physically resulted the highest quality (higher in moisture content, but low in decreasing weight of rhizome). Physiologically, for all kinds of ginger produced by monoculture or intercropping with red bean and welsh onion theirs quality were not different. After 3 months storage germination percentages were still 90.67 %, 85.33 % and 86.67 %, respectively for white big ginger, white small ginger and red ginger. The moisture content of ginger seeds was decreased while decreasing of rhizome weight was increased as periods of storage increased. Based on the results of experiment could be recommended that production of ginger seed can be conducted by monoculture or intercropping with red bean and welsh onion or others crops, but there were not as host plant of major pest and diseases of ginger.

Key words : Zingiber officinale, viability, culture practices, storage periods

PENDAHULUAN

Jahe merupakan salah satu komoditas ekspor yang memberikan peranan cukup berarti dalam penerimaan devisa. Ekspor jahe, setiap tahunnya terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan produk jahe dunia. Pada tahun 2003 ekspor jahe segar, mencapai 2.401.188 kg dengan nilai nominal US $ 2.175.000, dengan negara tujuan Jepang, Hongkong, Korea, Thailand, Singapura, Philipina, Malaysia, India, Pakistan, Bangladesh, Saudi Arabia, Portugis, Timur Leste, US, UK, Mesir dan Australia (BPS, 2005).

Jahe merupakan salah satu tanaman obat dengan klaim khasiat paling banyak, lebih dari 40 produk obat tradisional (OT) menggunakan jahe sebagai bahan baku (Kemala et al., 2003), sehingga jahe merupakan salah satu tanaman obat yang diperlukan dalam jumlah besar untuk industri kecil obat tradisional (IKOT) maupun industri obat tradisional (IOT). Hasil survei di tujuh propinsi utama pegembangan industri OT, volume kebuuhan jahe untuk industri mencapai lebih dari 47.000 ton setiap tahun, beum termasuk kebutuhan industri OT di luar pulau Jawa.

Untuk meningkatkan daya saing jahe, perlu dilakukan usaha-usaha perbaikan produktivitas dan kualitas hasil dari hulu sampai hilir. Untuk menunjang permintaan ekspor, dan industri OT, telah dilakukan per-luasan area pengembangan jahe, yang pada lima tahun terakhir mengalami peningkatan rata-rata 20 % per tahun, bahkan pada tahun 1998 dan 1999 beberapa daerah mengalami peningkatan lebih dari 100 % (Yusron et al., 2000).

Salah satu permasalahan dalam budidaya jahe adalah masih rendahnya produktivitas dan mutu jahe. Sampai saat ini, produktivitas rata-rata jahe nasional adalah 5 – 6 ton/ha (setara dengan 109 – 127 g bobot rimpang per rumpun). Disentra produksi jahe di Jawa Barat produktivitas jahe mencapai 6,35 ton/ ha, sedangkan di Jawa Tengah 6,78 ton/ha (Ditjenbun, 2004). Rendahnya produktivitas jahe, selain disebabkan oleh cara budidaya yang belum optimal, juga disebabkan oleh penggunaan bahan tanaman yang kurang bermutu.

Pada umumnya pengadaan benih masih menggunakan benih dari kebun sendiri, dan belum mengacu kepada standar mutu benih yang berasal dari pertanaman konsumsi sehingga mutunya kurang terjamin. Petani jahe di Jawa Tengah (Kabupaten Boyolali, dan Semarang) pada umumnya menanam jahe dilakukan secara intercroping dengan menyisipkan tanaman jagung, kacang tanah, cabe, buncis, daun bawang dan tembakau (Hasanah et al., 2002). Di daerah sentra produksi jahe di Jawa Barat (Sukabumi dan Majalengka) jahe di budidayakan secara polikultur dengan tanaman padi gogo, jagung, kacang tanah, cabe dan bawang daun (Hasanah et al., 2004).

Faktor lingkungan utama yang dapat mempengaruhi produksi benih dimulai dengan riwayat lahan, iklim( cahaya, suhu, curah hujan dan angin), tanah (kesuburan dan kelembaban), serta faktor biologis (hama, penyakit dan gulma) (Sadjad, 1997). Faktor lain yang mempengaruhi hasil adalah varietas, ukuran dan umur benih serta rotasi tanaman (Mugnisyah dan Setiawan, 1990). Sukarman et al. (2005) melaporkan bahwa benih jahe yang berasal dari lingkungan tumbuh sebelum panen yang lebih optimal (kondisi lahan, pemupukan, intensitas cahaya yang mengacu pada standar operasional prosedur), mempunyai mutu fisik dan fisiologik yang lebih baik dibandingkan dengan benih jahe yang berasal dari lingkungan tumbuh yang kurang optimal (intensitas cahaya kurang, tanah urukan bekas galian pasir, dosis pupuk tidak sesuai standar dan lain-lain). Benih jahe yang berasal dari petani binaan, cara budidaya mengacu pada standar operasional prosedur budidaya jahe (jarak tanam 70 x 40 cm, pupuk kandang 20 – 30 ton/ha, Urea 600 kg/ha, SP36 300 kg/ha, KCl 300 kg/ha) mempunyai mutu fisik dan fisiologik yang lebih baik dibandingkan benih jahe yang berasal dari petani non binaan yang mana cara budidayanya masih asalan (Melati et al., 2005).

Selain itu benih jahe juga rentan terhadap serangan penyakit dan hama gudang. Benih jahe juga akan mudah keriput apabila dipanen tidak cukup umur, dan mudah bertunas apabila kondisi simpannya kurang baik. Di samping itu diketahui bahwa, ada selang waktu sekitar 3 – 4 bulan antara waktu panen sampai dengan musim tanam. Berdasarkan pengalaman, apabila tidak dilakukan langkah-langkah penanganan benih yang memadai, maka benih jahe paling lama dapat disimpan 2 – 3 bulan. Penyimpanan lebih dari waktu itu mengakibatkan benih mengkerut dan sudah bertunas (3 – 4 cm). Padahal benih yang sehat adalah benih yang bernas dengan panjang tunas maksimum 1 cm. Untuk menghindari tumbuhnya jamur atau kapang, penyimpanan akan lebih baik kalau diberi perlakuan abu dapur yang ditaburkan. Pada kondisi demikian benih dapat disimpan selama 4 bulan (Januwati et al., 1991).

Sampai saat ini informasi mengenai mutu fisik dan fisiologik benih yang berasal dari cara budidaya secara monokultur dan polikultur selama periode penyimpanan masih sangat terbatas. Oleh karena itu, percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui viabilitas benih jahe pada cara budidaya yang berbeda selama periode penyimpanan.

BAHAN DAN METODE

Percobaan dilakukan di daerah sentra produksi jahe di Desa Werasari Kecamatan Bantarujeg, Kabupaten Majalengka Jawa Barat (ketinggian 600 m dpl, tipe iklim B, jenis tanah latosol dengan tekstur lempung berpasir). Penelitian dilaksanakan sejak Agustus sampai November 2003. Percobaan ini menggunakan tiga tipe jahe yaitu : 1) Jahe Putih Besar (JPB), Jahe Putih Kecil (JPK) dan Jahe Merah (JM). Untuk masing-masing tipe jahe percobaan disusun dalam rancangan petak terbagi (RPT) dengan 3 ulangan. Petak utama adalah 3 cara budidaya produksi benih jahe yaitu : 1) Produksi benih jahe di budidayakan secara monokultur, 2). Produksi benih jahe dibudidayakan secara intercropping dengan bawang daun dan 3). Produksi benih jahe diproduksikan secara intercropping dengan kacang merah varietas lokal Cipanas. Anak petak adalah 4 periode penyimpanan yaitu : 0, 1, 2, dan 3 bulan. Benih hasil panen dari berbagai cara budidaya (monocultur dan intercroping) kemudian disimpan sesuai perlakuan (0, 1,2 dan 3 bulan).

Benih jahe dari setiap perlakuan (50 rimpang utuh) dan ulangan disusun di rak bambu, dalam ruang/gudang penyimpanan yang cukup cahaya dan aerasi udaranya (suhu rata-rata harian 24 – 260 C dengan RH 70 – 75%). Sebelum disimpan dan setiap 1 bulan dari penyimpanan benih/rimpang jahe diamati mengenai kadar air rimpang, penyusutan bobot rimpang dan daya tumbuh benih jahe setelah 3 bulan penyimpanan. Kadar air rimpang dihitung berdasarkan berat basah setelah rimpang diiris-iris dan dikeringkan dengan oven pada suhu 700 C, sampai kering konstan (±72 jam), dengan rumus sebagai berikut :

01

Penyusutan bobot rimpang dihitung berdasarkan selisih berat benih sebelum disimpan dengan berat benih setelah disimpan dibagi dengan berat benih sebelum disimpan, dengan rumus sebagi berikut :

02

Untuk pengamatan daya tumbuh benih jahe, sebanyak 25 potongan rimpang jahe dikecambahkan dalam bak plastik berukuran 40 cm x 30 cm x 15 cm yang berisi pasir. Setelah 1 bulan dari tanam dihitung jumlah rimpang yang bertunas. Daya tumbuh benih dihitung berdasarkan jumlah rimpang yang bertunas dibagi dengan jumlah rimpang yang dikecambahkan/ ditanam dikalikan 100 %, dengan rumus sebagai berikut:

03

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar air benih

Jahe Putih Besar (JPB)

Kadar air benih jahe putih besar (JPB) tidak nyata dipengaruhi oleh faktor tunggal cara budidaya dan interaksi cara budidaya dengan lama penyimpanan, tetapi nyata dipengaruhi oleh faktor tunggal lama penyimpanan. Kadar air benih jahe putih besar menurun sejalan dengan lama penyimpanan, pada awal penyimpanan kadar air benih 85,80 %, dan turun menjadi 78,66 % setelah 3 bulan disimpan (Tabel 1). Menurunnya kadar air benih setelah penyimpanan erat kaitannya dengan proses penguapan benih/rimpang jahe selama penyimpanan. Benih/rimpang bersifat higroskopis maka benih/rimpang tersebut akan menyerap atau melepaskan air sampai kadar airnya mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara disekitarnya. Pada awal penyimpanan (bulan Agustus 2003) rata-rata kelembaban ruang penyimpanan pada siang hari 85 %, dengan rata-rata suhu kamar pada siang hari 26,50 C, tetapi pada bulan September rata-rata kelembaban ruang penyimpanan pada siang hari 79,88 %, dengan rata-rata suhu siang hari 27 0 C. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sukarman et al., 2004, Sukarman et al., 2005. Hasil penelitian, sampai penyimpanan 3 bulan kadar air jahe putih besar masih di atas 60%, hal ini memberikan indikasi bahwa sampai umur simpan 3 bulan mutu fisik dari benih jahe putih besar masih dalam keadaan baik.

Jahe Putih Kecil (JPK)

Kadar air benih jahe putih kecil (JPK) nyata dipengaruhi oleh faktor tunggal cara budidaya, dan lama penyimpanan dan interaksi cara budidaya dengan lama penyimpanan. Benih jahe dari cara budidaya secara monokultur menghasilkan kadar air benih tertinggi (84,16 %), diikuti benih jahe dari cara budidaya intercropping dengan kacang merah (84,66 %), dan benih jahe dari cara budidaya intercroping dengan bawang daun. Kadar air benih jahe putih kecil juga menurun sejalan dengan lama penyimpanan, pada awal penyimpanan kadar air benih 86,58 %, dan turun menjadi 80,67 % setelah 3 bulan disimpan. Interaksi cara budidaya secara monocultur maupun intercropping dengan kacang merah dengan lama penyimpanan selama 2 bulan, menghasilkan kadar air benih jahe yang tidak berbeda nyata, tetapi interaksi cara budidaya intercropping dengan bawang daun, kadar air benihnya menurun nyata setelah 2 bulan penyimpanan (Tabel 1).

0t1

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada jahe putih kecil, cara budidaya jahe secara monoculture atau intercropping dengan kacang merah menghasilkan jahe dengan kadar air yang relatif lebih tinggi dan lebih lama dapat dipertahankan. Menurunnya kadar air benih setelah penyimpanan erat kaitannya dengan proses penguapan benih/rimpang jahe selama penyimpanan. Benih/rimpang bersifat higroskopis maka benih/rimpang tersebut akan menyerap air atau melepaskan air sampai kadar airnya mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara di sekitarnya seperti telah didiskusikan pada kadar air benih jahe putih besar. Hasil penelitian sampai penyimpanan 3 bulan kadar air jahe putih kecil masih di atas 60%, hal ini memberikan indikasi bahwa sampai umur simpan 3 bulan mutu fisik dari benih jahe putih kecil masih dalam keadaan baik.

Jahe merah (JM)

Kadar air benih/rimpang jahe merah nyata dipengaruhi oleh faktor tunggal lama penyimpanan, tetapi tidak nyata dipengaruhi oleh faktor tunggal cara budidaya dan interaksi antara cara budidaya dengan lama penyimpanan. Kadar air benih jahe merah mengalami penurunan yang nyata sejak 1 bulan penyimpanan dan penurunan tersebut terus berlanjut sampai 3 bulan penyimpanan. Sebagai contoh, pada awal penyimpanan kadar air benih/rimpang jahe merah 86,08 %, dan menurun drastis setelah 3 bulan disimpan (63,49 %). Menurunnya kadar air benih setelah penyimpanan erat kaitannya dengan proses penguapan benih/rimpang jahe selama penyimpanan. Benih/rimpang bersifat higroskopis maka benih/rimpang tersebut akan menyerap air atau melepaskan air sampai kadar airnya mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara disekitarnya seperti telah didiskusikan pada kadar air benih jahe putih besar dan jahe putih kecil.

Benih jahe merah dari cara budidaya secara monokultur dan intercropping dengan kacang merah dan bawang daun kadar airnya berturutturut 69,48 %, 69,27 % dan 67,57 %. Ditinjau dari kadar air benih, maka untuk produksi benih jahe dapat dilakukan baik secara monokultur maupun intercroping dengan tanaman kacang merah dan bawang daun. Hasil penelitian, sampai penyimpanan 3 bulan kadar air jahe merah masih di atas 60%, hal ini memberikan indikasi bahwa sampai umur simpan 3 bulan mutu fisik dari benih jahe merah masih dalam keadaan baik.

Penyusutan bobot benih/rimpang

Jahe putih besar (JPB)

Penyusutan bobot rimpang jahe putih besar tidak nyata dipengaruhi oleh faktor tunggal cara budidaya dan oleh interaksi cara budidaya dengan lama penyimpanan, tetapi nyata dipengaruhi faktor tunggal lama penyimpanan. Bobot rimpang menurun sejalan dengan lamanya penyimpanan, setelah disimpan selama 3 bulan bobot rimpang mengalami penurunan sampai 23,14 % (Tabel 2).

0t2

Penurunan bobot rimpang ini sejalan dengan menurunnya kadar air benih/rimpang jahe selama penyimpanan. Setelah disimpan kadar air benih menurun, akibatnya kandungan air dalam benih berkurang, karena terjadinya proses penguapan air dari dalam benih ke permukaan benih dan dari permukaan benih ke lingkungan mikro disekitarnya selama penyimpanan. Berkurangnya kadar air dalam benih berdampak terhadap berkurangnya bobot benih/ rimpang jahe. Tingkat penurunan bobot rimpang jahe sejalan dengan menurunnya kadar air benih jahe yang nilainya akan dipengaruhi oleh kandungan pati, serat dan lilin pada permukaan kulit benih/rimpang (Sukarman et al., 2005). Hasil penelitian, sampai penyimpanan 3 bulan penyusutan bobot benih jahe putih besar masih di bawah 30%, hal ini memberikan indikasi bahwa sampai umur  simpan 3 bulan mutu fisik dari benih jahe putih besar masih dalam keadaan baik.

Jahe putih kecil (JPK)

Penyusutan bobot rimpang jahe putih kecil tidak nyata dipengaruhi oleh faktor tunggal cara budidaya dan lama penyimpanan, tetapi nyata dipengaruhi oleh interaksi cara budidaya dengan lama penyimpanan. Benih dari cara budidaya secara monocultur mengalami penurunan bobot rimpang tertinggi (17,84 %), diikuti benih yang berasal dari cara budidaya intercroping dengan bawang daun (16,79 %). Benih jahe yang diproduksi secara intercroping dengan kacang merah mengalami penurunan bobot rimpang terendah (14,12 %) (Tabel 2). Hasil ini memberikan indikasi bahwa benih jahe putih kecil yang diproduksi dengan cara intercropping dengan tanaman kacang merah menghasilkan benih jahe yang lebih bernas.

Lebih bernasnya benih jahe tersebut kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya kesuburan tanah dan bahan organik. Penggunaan bahan tanaman legum dapat meningkatkan bahan organik dan kesuburan tanah. Bahan organik legum dapat meningkatkan ketersediaan hara P (Purwanto dan Sutanto, 1997). Bobot rimpang mengalami penurunan sejalan dengan lamanya penyimpanan, setelah disimpan selama 3 bulan rimpang mengalami penyusutan sebesar 27,45 %. Penurunan bobot rimpang ini sejalan dengan menurunnya kadar air benih/rimpang jahe selama penyimpanan.

Setelah disimpan, kadar air benih menurun, akibatnya kandungan air dalam benih berkurang, karena terjadinya proses penguapan air dari dalam benih ke permukaan benih dan dari permukaan benih ke lingkungan mikro disekitarnya selama penyimpanan. Berkurangnya kadar air dalam benih berdampak terhadap berkurangnya bobot benih/rimpang jahe. Tingkat penurunan bobot rimpang jahe sejalan dengan menurunnya kadar air benih jahe yang nilainya akan dipengaruhi oleh kandungan pati, serat dan lilin pada permukaan kulit benih/rimpang (Sukarman et al., 2005). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sampai penyimpanan 3 bulan penyusutan bobot benih jahe putih kecil masih di bawah 30%, hal ini memberikan indikasi bahwa sampai umur simpan 3 bulan mutu fisik dari benih jahe putih kecil masih dalam keadaan baik.

Jahe merah(JM)

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penyusutan bobot rimpang jahe merah nyata dipengaruhi oleh faktor tunggal lama penyimpanan dan interaksi antara cara budidaya dengan lama penyimpanan, tetapi tidak nyata dipengaruhi oleh cara budidaya. Sejak 1 bulan setelah penyimpanan bobot rimpang jahe menurun sampai 32,28 % dan terus meningkat menjadi 53,24 % setelah 3 bulan penyimpanan (Tabel 2). Menurunnya bobot benih/ rimpang jahe erat sekali kaitannya dengan menurunnya kandungan air dalam benih/rimpang. Benih/rimpang jahe merah lebih cepat mengalami penurunan kadar air benih, sehingga bobot rimpangnya juga cepat mengalami penyusutan. Lebih besarnya penyusutan bobot benih/rimpang jahe merah juga dipacu oleh kondisi benih/rimpang jahe merah pada umumnya.

Benih/rimpang jahe merah pada waktu dipanen, umumnya banyak mengandung bagian benih/ rimpang yang muda akibat sifat dari tanaman jahe merah yang indeterminate (selalu membentuk anakan baru). Bagian rimpang/benih yang muda kandungan serat dan patinya relatif lebih rendah dibandingkan dengan bagian benih/rimpang yang lebih tua, akibatnya akan lebih cepat kehilangan kadar air dan penyusutan bobot benih/ rimpang. Hasil penelitian, sampai penyimpanan 3 bulan penyusutan bobot benih jahe merah sudah mencapai 50%, lebih tinggi dibandingkan jahe putih kecil dan jahe putih besar, walaupun demikian daya tumbuh dari jahe merah setelah disimpan 3 bulan masih tinggi yakni diatas 80 % (Tabel 3).

Daya tumbuh

Daya tumbuh benih jahe putih besar, jahe putih kecil dan jahe merah tidak nyata dipengaruhi oleh cara budidaya. Setelah 3 bulan penyimpanan daya tumbuh benih jahe putih besar dari cara budidaya yang berbeda masih diatas 90,00 %. Untuk jahe putih kecil daya tumbuhnya masih diatas 85,33 % dan jahe merah daya tumbuhnya masih diatas 86,67 %, setelah 3 bulan penyimpanan (Tabel 3).

0t3

Masih tingginya daya tumbuh benih semua jenis jahe baik dari cara budidaya secara monokultur dan intercropping dengan kacang merah dan bawang daun setelah disimpan selama 3 bulan memberikan indikasi bahwa dari mutu fisiologis benih/rimpang jahe maka ketiga cara budidaya tersebut tidak berbeda nyata. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka ketiga cara budidaya tersebut dapat dikembangkan untuk produksi benih jahe, dalam rangka untuk mensuplai kebutuhan benih jahe khususnya di kabupaten Majalengka dan Jawa Barat pada umumnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

  1. Berdasarkan pengamatan kadar air benih dan penyusutan bobot benih/ rimpang, benih jahe (JPB, dan JM), yang berasal dari cara budidaya secara monokultur dan intercroping dengan kacang merah dan bawang daun, mempunyai mutu fisik yang tidak berbeda. Akan tetapi, untuk benih jahe putih kecil, benih yang diproduksi dengan cara budidaya intercropping dengan kacang merah menghasilkan mutu fisik yang lebih baik (kadar airnya lebih tinggi dan penyusutan bobot benih/rimpang rendah).
  2. Untuk ketiga jenis jahe (JPB, JPK, dan JM) mutu fisiologis benih jahe dari cara budidaya secara monokultur dan intercroping dengan kacang merah dan bawang daun, tidak berbeda. Setelah 3 bulan penyimpanan, daya tumbuh untuk masing-masing jenis jahe (JPB, JPK, dan JM), berturut-turut masih diatas 90,67 %, 85,33 % dan 86,67 %.
  3. Kadar air benih/rimpang jahe menurun, sedangkan penyusutan bobot rimpang masing-masing jenis jahe meningkat sejalan dengan lama penyimpanan, masing masing berturut-turut pada penyimpanan 1, 2 dan 3 bulan (Jahe putih besar 8,73; 13,27 dan 23,14%. Jahe putih kecil 8,03; 3,27 dan 27,45%, Jahe merah 32,28; 51,03 dan 53,24%).
  4. Berdasarkan hasil tersebut, maka benih jahe dapat diproduksi secara monokultur atau intercropping dengan tanaman lain yang bukan merupakan tanaman inang bagi hama dan penyakit utama tanaman jahe.

DAFTAR PUSTAKA

Biro Pusat Statistik, 2005. Statistik Perdangan Luar Negeri Indonesia. hal. 65.

Ditjebun., 2004. Satatistik Perkebunan: Jahe. Direktorat Jendral Perkebunan. Jakarta. 50 hal.

Hasanah, M., Sukarman, E. Rini Pribadi, M. Januwati, Supriadi, M. Yusron, Sudiarto dan Rosita, 2002. Identifikasi dan Karakterisasi Pengelolaan Perbenihan Jahe. Laporan akhir tahun. Tidak dipublikasikan. 20 hal.

Hasanah, M, Sukarman, Supriadi, M. Januwati dan R. Balfas, 2004. Keragaan Perbenihan Jahe di Jawa Barat. Jurnal Littri 10 (3) : 118 – 125.

Januwati, M., O. Rostiana, R.S. Mulyati dan D. Sitepu, 1991. Pedoman Pengadaan Rimpang Jahe Bebas Penyekit untuk Bibit. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Departemen Pertanian. 18 hal.

Kemala S., Sudiarto, E. Rini Pribadi, J.T. Yuhono, M. Yusron, L. Mauludi dan M., Rahardjo, B. Waskito dan H. Nurhayati, 2003. Serapan, pasokan dan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia. Laporan Teknis Penelitian, Balittro. Tidak dipublikasikan. 242 hal.

Melati, Sukarman, D. Rusmin dan M. Hasanah, 2005. Pengaruh asal benih dan cara penyimpanan terhadap mutu rimpang jahe. Jurnal Ilmiah Pertanian. Gakuryoku. XI (2) : 186 – 190.

Mugnisyah, W.Q. dan A. Setiawan, 1990. Pengantar Produksi Benih. Fakultas Pertanian. IPB. 610 hal. Purwanto, B.H. an Sutanto, 1997. Perincian gugus fungsional hasil dekomposisi bahan organik dan peranannya terhadap ketresediaa fosfat pada tanah Ultisol. Prosiding Konggres Nasional VI HITI di Jakarta, 12 – 15 Desember 1995. Buku I : 505 – 517.

Sadjad, S., 1997. Membangun Industri benih dalam era agribisnis Indonesia. PT. Gramedia, Jakarta. 105 hal.

Sukarman, D. Rusmin dan Melati, 2004. Pengaruh asal sumber benih dan cara penyimpanan terhadap viabilitas benih jahe (Zingiber officinale L.). Prosiding Simposium IV Hasil Penelitian Tanaman Perkebunan, Bogor, 28 – 30 September, 2004. hal. 321 – 327.

Sukarman, M. Hasanah, D. Rusmin dan Melati, 2005. Viabilitas dua klon jahe besar (Zingiber officinale L.) pada cara penyimpanan yang berbeda. Jurnal Ilmiah Pertanian. Gakuryoku. XI (2) : 181 – 185.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.