Minyak Atsiri Indonesia

Yang Nuryani

KARAKTERISTIK MINYAK NILAM HASIL FUSI PROTOPLAS ANTARA NILAM ACEH DENGAN NILAM JAWA

Oleh: Yang Nuryani; Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

Buletin TRO XV No. 2, 2004

ABSTRAK

Untuk mengetahui mutu minyak hibrida somatik hasil fusi protoplas antara nilam Aceh (Pogostemon cablin Benth.), Sidikalang dan TT 75 dengan nilam Jawa (P. heyneanus Benth.) Girilaya, telah dilakukan karakterisasi minyak. Analisis minyak dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat pada bulan Maret 2003. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 13 nomor hibrida somatik yang dikarakterisasi, dua nomor yaitu 9 II 8 dan 9 II 21 (hibrida somatik dari Girilaya x TT75) berkadar minyak (berturut-turut 2,91% dan 2,74%), lebih tinggi dari pada kadar minyak tetua TT 75 (2,09%). Kadar patchouli alkohol semua hibrida somatik diatas 30% yang merupakan batas minimum sebagai salah satu syarat mutu ekspor. Nomor 9 II 21 memiliki kadar patchouli alkohol tertinggi yaitu 39,11%.

Kata kunci : Pogostemon sp., karakteristik mutu minyak, hibrida somatic. Characteristics of Patchouli Oil From Protoplast Fusion Between Aceh Patchouli and Java Patchouli

ABSTRACT

Oil characterization of somatic hybrids resulted from protoplast fusion between Aceh patchouli (Pogostemon cablin Benth.) Sidikalang and TT 75 and Java patchouli (Pogostemon heyneanus Benth.) Girilaya, was  conducted at the laboratory of Indonesian Spices and Medicinal Crops Research Institute (ISMECRI) in March, 2003. The results showed that out of 13 somatic hybrids, two hybrids namely 9 II 8 and 9 II 21 (somatic hybrids between Girilaya and TT 75) have oil content (2,91% and 2,74% respectively), higher than that of parent TT 75 (2,09%). All somatic hybrids have higher than 30% patchouli alcohol content (minimum level of export quality). The number 9 II 21 showed the highest patchouli content (39,11%).

Key words : Pogostemon sp., characteristics of oil quality, somatic hybrids.

PENDAHULUAN

Nilam Aceh (Pogestemon cablin Benth.) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang penting sebagai penyumbang devisa. Areal pertanaman nilam dalam sepuluh tahun terakhir terus meningkat, dari 9.065 ha pada tahun 1992 menjadi 21.602 ha, pada tahun 2002 (Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2004). Indonesia merupakan pemasok minyak nilam terbesar di pasaran dunia dengan kontribusi 90%. Ekspor minyak nilam tahun 2002 sebesar 12,95 ton dengan nilai US $ 22,526 juta (Ditjen Bina Produksi Perkebunan 2004).

Sebagai komoditas ekspor minyak nilam mempunyai peluang yang baik karena permintaan selalu meningkat dan sampai sekarang belum ada produk substitusinya (Ibnusantosa, 2000). Minyak nilam dibutuhkan antara lain dalam industri parfum, kosmetik (Dummond, 1968) terutama karena bersifat fixsatif yaitu dapat mengikat minyak atsiri lainnya sehingga harumnya dapat bertahan lama. Selain bersifat antiseptik dan memberikan efek insektisida, minyak nilam juga banyak digunakan dalam aromaterapi.

Pada umumnya kadar minyak nilam masih rendah berkisar antara 1 – 2% dari terna kering (Rusli et al., 1993), produktivitas minyak sekitar 143 kg/ha (Ditjenbun, 2002). Rendahnya produktivitas dan mutu antara lain disebabkan karena rendahnya mutu genetik tanaman, teknologi budidaya yang masih sederhana, berkembangnya berbagai penyakit dan teknik panen dan pasca panen yang belum tepat. Nilam yang umum dibudidayakan petani adalah nilam Aceh (P. cablin Benth) karena kadar minyaknya lebih tinggi dari nilam Jawa (P.

heyneanus Benth), namun nilam Aceh tidak berbunga. Untuk meningkatkan keragaman genetik dan mendapatkan sifat yang diinginkan (antara lain kadar dan mutu minyak tinggi, toleran terhadap penyakit) telah dilakukan fusi protoplas antara nilam Aceh (Sidikalang dan TT 75) dan nilam Jawa (Girilaya). Dari hasil fusi protoplas diperoleh beberapa nomor hibrida yang sangat beragam keragaannya (Nuryani et al., 2002a). Nomor-nomor tersebut perlu dievaluasi kadar dan mutu minyaknya. Tersedianya tanaman nilam yang bermutu tinggi, disamping dapat meningkatkan produksi minyak dan menambah devisa negara, juga meningkatkan nilai tambah petani karena mutunya tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik mutu minyak dari hibrida somatik hasil fusi protoplas.

BAHAN DAN METODE

Bahan baku (terna) yang digunakan berasal dari hasil uji multilokasi nomor-nomor harapan nilam di kebun percobaan Cimanggu (350 m dpl). Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, diulang 5 kali, dengan jarak tanam 100 x 50 cm dan 100 tanaman per petak. Pemupukan dasar dengan pupuk kandang 2 kg per lubang tanam (30 x 30 x 30 cm). Pemupukan dengan 149 kg Urea + 70 TSP + 140 kg KCl tiap hektar diberikan pada umur 3 bulan dan setelah panen (umur 6 bulan). Tanaman dipanen pada umur 4 bulan, dengan cara memangkas cabang 20 – 30 cm dari pucuk.

Evaluasi dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat pada bulan Maret 2003. Hibrida somatik yang dievaluasi adalah 13 nomor yaitu 2IV4, 2IV8, 2IV9 (G x S), 9II6, 9II7, 9II8, 9II10, 9II20, 9II21, 9II22, 9II24 (G x TT75), 9IV3, 9IV 13 (G x TT75) dan 3 tetua yaitu Sidikalang, TT75 dan Girilaya.

Terna (daun dan ranting) dikering anginkan selama ± 3 hari, kemudian 1 kg terna kering disuling dengan metode penyulingan uap selama 6 jam. Perbandingan berat daun dan ranting yang disuling adalah 1 : 0,5 (Hernani et al., 1989). Pengamatan yang dilakukan meliputi kadar minyak, berat jenis, putaran optik, kelarutan dalam alkohol 90%, bilangan asam, bilangan ester dan kadar patchouli alkohol.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar minyak

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari 13 hibrida somatik yang diuji diperoleh 2 nomor yaitu nomor 9II8 dan 9II21 hasil fusi protoplas antara G x TT75 yang kadar minyaknya berturut-turut 2,91% dan 2,74% diatas kadar minyak tetua TT 75 (2,09%) (Tabel 1). Hasil analisis keragaman genetik dengan RAPD, 9 II21 mempunyai jarak genetik yang dekat terhadap tetua TT75 (Nuryani et al., 2002b) sifat kadar minyak tinggi dari tetua TT75 diturunkan kepada hibrida somatik 9II2. Hibrida somatik antara G x TT75 berkadar minyak diatas tetua Girilaya (1,60%), kecuali nomor 2IV4 (1,54%) dan nomor 9II20 (1,41%).

Untuk mendapatkan karakterkarakter yang diinginkan antara lain ketahanan terhadap nematoda atau penyakit, metode fusi protoplas sudah umum dilakukan, terutama pada tanaman yang tidak berbunga dan untuk menanggulangi masalah inkompatibilitas yang biasanya muncul dalam hibridisasi antar species secara konvensional. Selain berkadar minyak tinggi, akar hibrida somatik 9 II 21 berkadar fenol dan lignin (57,21 ppm dan 11,125 ppm) lebih tinggi dari pada tetua TT 75 (38,20 ppm dan 7,200 ppm). Kandungan fenol dan lignin pada tanaman merupakan salah satu faktor yang menjadikan tanaman tahan terhadap nematoda (Giebel, 1982 ; Fogain & Gowen, 1996; Volette et al., 1998).

Mutu minyak

Analisis mutu minyak dilakukan dengan mengukur sifat fisika-kimia minyak tersebut. Salah satu faktor yang penting dalam menentukan mutu minyak nilam adalah kandungan patchouli alkohol (PA). Patchouli alkohol merupakan komponen terbesar (50 – 60%) dari minyak (Walker, 1969) dan memberikan bau (odour) yang khas pada minyak nilam karena mengandung nor-patchoulene (Trifilief, 1980).

Kadar PA hibrida somatik kelompok pertama (G x TT 75), 9 II 21 (39,11%) lebih tinggi dari tetua TT 75 (33,41%). Nomor tersebut mempunyai keberadaan genetik sangat dekat dengan TT 75 berdasarkan analisis RAPD. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh nomor 9 II 10 (37,36%) yang kekerabatan genetiknya agak dekat dengan TT 75 meskipun tidak sedekat 9 II 21 (Nuryani et al., 2002b). Selain kedua nomor tersebut (9 II 10 dan 9 II 21), nomor 9 II 7 dan 9 II 20 juga mempunyai kadar PA di atas tetua TT 75.

Hibrida somatik kelompok kedua (G x TT 75), 9 IV 3 dan 9 IV 13 juga berkadar PA lebih tinggi dari tetua TT 75. Sedangkan 9 II 6, 9 II 8, 9 II 22 dan 9 II 24 walaupun berkadar PA lebih rendah dari tetua TT 75, namun lebih tinggi dari tetua Girilaya dan telah memenuhi batas minimum untuk ekspor yaitu 30% (Tabel 1).

0t1

Kadar PA hibrida samotik antara G x S tidak ada yang melampui tetua S (34,41) namun semuanya lebih tinggi dari pada tetua G (30,28%) dan telah memenuhi syarat minimum untuk diekspor yaitu 30%.

Dilihat dari karakter lainnya, pada umumnya sudah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) kecuali pada beberapa nomor yang bilangan esternya lebih dari 10%, namun masih memenuhi Standar EOA (Essential Oil Association) yaitu 20%. Menurut Guenther (1952), mutu minyak nilam yang tinggi antara lain juga ditandai dengan nilai berat jenis tinggi, putaran optik yang mengarah ke negatif dan kelarutan dalam alkohol (90%) yang lebih tinggi.

Hibrida somatik (G x S), 2 IV 8 dan 2 IV 9 mempunyai berat jenis berturut-turut 0,9688 dan 0,9696 lebih tinggi dari tetua S (0,9649). Sedangkan 9 II 10 dan 9 II 21 (G x TT 75) mempunyai berat jenis (0,9812 dan 0,9822) lebih tinggi dari tetua TT 75 (0,9733). Berat jenis semua hibrida somatik lebih tinggi dari tetua G (0,9306).

Teknik hibridisasi somatik melalui fusi protoplas dapat meningkatkan mutu genetik tanaman, seperti yang telah dilakukan pada genus Dianthus (Nakano dan Mii, 1993), dan pada Solanum sp., dengan tujuan untuk mendapatkan sifat ketahanan terhadap penyakit (Sihachakr et al., 1994). Fusi protoplas antara nilam Jawa dan nilam Aceh menghasilkan beberapa hibrida somatik yang kadar minyaknya dan mutu minyak (PA) lebih tinggi dari tetuanya.

0t2

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari 13 nomor hibrida yang dianalisis, kadar minyak no. 9II8 (2,91%) dan 9II21 (2,74%) hibrida somatik G x TT 75 lebih tinggi dari tetua TT 75 (2,09%).

Kadar patchouli alkohol semua hibrida somatik memenuhi persyaratan untuk diekspor (> 30%). Nomor 9II21 mempunyai kadar patchouli alkohol tertinggi (39,11%).

Kedua nomor tersebut disarankan untuk di uji di berbagai lokasi dengan varietas nilam yang telah dilepas sebagai pembanding.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Dirjenbun, 2002. Statistik perkebunan nilam. Ditjen Bina Produksi Perkebunan Indonesia. 22 hal. Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2004. Nilam statistik perkebunan Indonesia 2001 – 2003. 22 hal.

Dummond, H.M., 1968. Patchouli oil. Journal of Perfumery and Essential oil. Record 5 (9) : 484-492.

Fogain.R., and S. R. Gowen, 1996. Investigation on possible mechanisms of resistance to nematodes in Musa euphytica 92 : 375-382. Kluwer Academic Publishers, The Netherlands.

Giebel, J., 1982. Mechanism of resistance to plant nematodes. Ann. Rev. Phytopathol. 20 : 257-279.

Guenther, E., 1952. The Essential Oils. D. Van Nostrand Co. Inc. New York. 2nd Ed II 552-574 p. Nakano, M., and M. Mii, 1993. Somatic hybridization between Dianthus chinensis and D. Barbatus through protoplas fusion. Theor. Appl. Genet. 86 : 1-5.

Nuryani, Y., Ika Mariska, Cheppy Syukur, Ali Husni dan Sri Utami, 2002a. Peningkatan keragaman genetik nilam (Pogostemon sp.) melalui fusi protoplas. Jurnal Perhimpunan Biokimia-Biologi Molekuler Indonesia. Acta

Nuryani, Y., Otih Rostiana dan Cheppy Syukur, 2002b. Penetapan keragaman genetik nilam (Pogostemon sp.) hasil fusi protoplas dengan teknik RAPD. Jurnal LITTRI. 8 (2) : 39-45.

Ibnusantosa, G., 2000. Kemandegan pengembangan minyak atsiri Indonesia. Makalah disampaikan pada seminar “Pengusahaan Minyak Atsiri Hutan Indonesia”. Fak. Kehutanan IPB Darmaga, Bogor, 23 Mei 2000.

Hernani, Suhadi Hardjo, N. Nurjannah dan Irfan, 1989. Pengaruh lama pengering anginan dan perbandingan daun dengan tangkai terhadap rendemen dan mutu minyak nilam (Pogostemon cablin Benth) Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat IV (2) : 80 – 86.

Rusli, S., Hobir, A. Hamid, A. Asman, S. Sufiani dan M. Mansyur, 1993. Evaluasi Hasil Penelitian Minyak Atsiri. Balittro. 15 hal.

Sihachakr, D., M.C. Daunay, I. Serraf, M.H. Chaput, I. Mussio, R. Haicour, L. Rossignol, and G. Deucreut, 1994. Somatic hybridization of eggplant with its close and wild relatives. Biotechnology in Agriculture and Forestry. Vol. 27 : 255-275.

Trifilief, E., 1980. Isolation of the portulated precursor of nor patchoulenol in patchouli leaves. Phytochemystry 19 : 24-64.

Volette, C. C. Andary J.P., Geiger J.L Sarah and M. Nicole, 1998. Histochemical and cytochemical investigations of phenols in roots of banana infected by the burrowing nematode. Rhadopholus similes. Phythopathology 88 (11) : 1141- 1147.

Walker, T.G., 1969. The Structure and synthesis of patchouli alcohol. Manufacturing chemist and aerosol news p2.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.