Minyak Atsiri Indonesia

Suryatmi Retno Dumadi

Kajian Minyak Temulawak dari Tawangmangu

Suryatmi Retno Dumadi,  Pusat Teknologi Agroindustri, BPPT, Indonesia; e-mail : sur_dumadi@yahoo.co.id

Disampaikan pada “Konferensi Nasional Minyak Atsiri” di Hotel Singgasana, Surabaya 2-4 Desember, 2008, Dit Industri Kimia dan Bahan Bangunan, Ditjen IKM, Depperin

ABSTRAK

Temulawak dikenal sebagai tanaman obat tradisional yang banyak tersebar di berbagai tempat di Indonesia. Komponen utama minyak temulawak adalah α curcumen, xanthorizol, farnezol, germacrone, camphor, zingiberene, camphene, cineole, dll. Kajian minyak temulawak menggunakan minyak temulawak hasil penyulingan sistem uap air dari Tawangmangu dilanjutkan dengan proses pemisahan menggunakan rotavapor pada pengaturan suhu 145oC, 150oC dan 155oC menghasilkan 4 fraksi dengan komponen berbeda yang ditunjukkan pada hasil Gas Chromatografi (GC)

Kata Kunci : Obat, tradisional, penyulingan uap air, rotavapor pemisahan, fraksi, komponen, GC

1. Pendahuluan

Temulawak (Curcuma Xanthorriza, Roxb) merupakan salah satu herbal asal Indonesia, dan diantara jenis temu merupakan jenis yang paling banyak digunakan sebagai obat tradisional. Temulawak dapat digunakan sebagai obat utama (remedium cardinale), bahan obat penunjang (remedium adjuvans), pemberi warna, penambah aroma, makanan , minuman penyegar, bahan baku industri seperti kosmetika. Sebagai obat tradisional mulai banyak digunakan dalam bentuk tunggal atau campuran, dan berkhasiat untuk laktagoga, kolagoga, antiinflamasi, tonikum, diuretik,antitumor, fungistatik, bakteriostatik, pengobatan penyakit jantung dan lever.

Penggunaan temulawak sebagai obat tradisional baik di dalam dan di luar negeri mendorong semakin banyaknya penelitian mengenai temulawak, mulai penanaman (bibit, budidaya), produksi (pasca panen, proses, aplikasi produk), farmakologi (efikasi, komponen aktif, formulasi dll).

Temulawak mengandung karbohidrat, protein, lemak, abu, serat kasar, kalium, natrium, kalsium, magnesium, besi, mangan, kadmium, kurkuminoid dan minyak atsiri. Minyak temulawak yang diperoleh dari hasil penyulingan rimpang temulawak yang berwarna kuning merupakan minyak atsiri yang sudah diminati di dalam dan luar negeri.

Minyak atsiri temulawak merupakan cairan berwarna kuning kehijauan, berbau aromatik tajam. Komponen utama minyak temulawak α curcumen, xanthorrizol, farnezol, germacrene, germacrone, camphor, zingiberene, camphene, α tumerone, dll.

Hingga saat ini di Indonesia masih jarang ditemukan laporan tentang penyulingan dan fraksinasi minyak temulawak. Proses penyulingan minyak temulawak yang cukup tepat untuk menghasilkan minyak dengan rendemen dan mutu yang baik, sejauh ini belum memiliki acuan yang ilmiah dan memadai. Terlebih lagi inmformasi mengenai pemisahan fraksi-fraksi yang terdapat dalam minyak temulawak.

Kajian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik pemisahan minyak temulawak dengan metode fraksinasi menggunakan rotavapor, dan mengetahui pengaruh suhu penguapan untuk pemisahan fraksi minyak terhadap rendemen dan sifat fisiko kimia minyak temulawak yang dihasilkan.

2. Tujuan

Kajian ini bertujuan untuk mengelompokkan fraksi yang memiliki banyak senyawa berfungsi obat dalam minyak temulawak

3. Metode Penelitian

3.1. Bahan Dan Alat

Bahan yang digunakan adalah minyak temulawak (Curcuma Xanthorriza, Roxb) hasil penyulingan sistem uap air dari Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO) dan natrium sulfat anhidrat. Alat-alat yang digunakan adalah rotavapor, tabung reaksi, erlenmeyer, neraca massa digital Sartorius (ketelitian (0,001), polarimeter, densitometer, gelas ukur, pipet, labu pemisah, GC.

3.2. Prosedure Penelitian

Prinsip kajian ini adalah minyak temulawak hasil penyulingan sistem uap air dari Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO) dipisahkan airnya menggunakan labu pemisah, kemudian ditambahkan natrium sulfat anhidrat untuk mengeringkan dari sisa air. Minyak temulawak bebas air selanjutnya diperlakukan menggunakan metoda pemisahan (fraksinasi) dengan cara menguapkan minyak atsiri temulawak menggunakan peralatan rotavapor pada suhu tertentu, yang akan terkondensasi menjadi fraksi minyak temulawak yang berbeda-beda tergantung pada suhu penguapannya.

Diagram alir proses kajian pemisahan minyak temulawak dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini. Setelah dilakukan pemisahan, masing-masing fraksi minyak temulawak dilakukan analisa sifat fisiko kimia.

3.3. Metodologi

Ada 3 variabel perlakuan dalam penelitian ini yaitu suhu penguapan minyak temulawak 145oC, 150oC dan 155oC.

Penentuan kualitas dan keberhasilan proses pemisahan dapat diketahui berdasarkan hasil analisa rendemen dan hasil analisa sifat fisiko kimia yang terdiri dari putaran optik menggunakan polarimeter, bobot jenis menggunakan densitometer, dan komponen kimia minyak atsiri menggunakan GC dan GC-Mass. Analisis hasil disajikan secara deskriptif.

4. Hasil dan Pembahasan

Karakteristik minyak temulawak yang dilakukan di Balitro menurut Ma’mun (2006) disajikan pada Tabel 1. Belum adanya karakteristik minyak temulawak standar yang dapat dijadikan perbandingan, maka penelitian yang dilakukan masih bersifat eksploratif dan hasil penelitian disajikan secara deskriptif. Sifat fisiko kimia minyak temulawak dipengaruhi oleh daerah (lokasi) tempat tanaman tumbuh, bibit, dll. Namun hasil analisis kajian ini bobot jenis dan putaran optik menunjukkann hasil yang mendekati karakteristik minyak temulawak yang ditulis oleh Ma’mun (2006)

0t1

0g1

Perlakuan menggunakan varisasi suhu penguapan 145oC, 150oC dan 155oC memperlihatkan data rendemen, bobot jenis, putaran optik, dan masing-masing komponen kimia dominan yang terdeteksi pada hasil analisa GC-MS dirangkum dalam tabel 2.

0t2

Seperti yang ditunjukkan pada tabel 2 dan gambar 2 komponen kimia yang dominan terdeteksi pada analisis GC-MS dalam sampel bahan baku minyak temulawak (Fo) yaitu Camphene, camphor, α-Curcumen, Zingiberene, Germacrene, Germacrone, dan Xanthorrizol.

Pemisahan minyak temulawak pada suhu 145oC (F1) memperlihatkan minyak temulawak F1 diisi komponen fraksi ringan (awal) Camphene dan camphor seperti ditunjukkan pada puncak ke 3 dan 10 hasil GC F1 (145oC).

0g2

Gambar 2. Temulawak bahan baku Fo

0g3

Gambar 3. Temulawak F1 145oC

Pemisahan minyak temulawak pada suhu 150ºC (F2) memperlihatkan minyak temulawak F2 diisi komponen fraksi tengah antara lain α-Curcumen seperti ditunjukkan pada puncak ke 21 dalam hasil GC F2 (150ºC).

0g4

Gambar 4. Temulawak F2 150ºC

Pemisahan minyak temulawak pada suhu 155ºC (F3) memperlihatkan minyak temulawak F3 diisi komponen fraksi tengah antara lain Zingiberene seperti ditunjukkan pada puncak ke 26 dalam hasil GC F3 (155ºC).

0g5

Gambar 5. Temulawak F3 155oC

Residu (F4) memperlihatkan minyak temulawak F4 terdapat komponen fraksi akhir antara lain Germacrene, Germacrone dan xanthorizol seperti ditunjukkan pada puncak ke 12 hingga 18 dalam hasil GC F4 (residu).

0g6

Gambar 6. Temulawak F4 residu

Hasil kajian untuk ketiga perlakuan suhu penguapan 145oC, 150oC dan 155oC pada tabel 3 memperlihatkan F2 merupakan fraksi terbanyak (49%) yang kandungan utamanya adalah fraksi tengah α-Curcumen, diikuti oleh F1 pada urutan kedua terbanyak (33%) dengan kandungan utama fraksi ringan camphene dan camphor.

Urutan ketiga adalah F3 pada urutan keempat sejumlah 15% dengan kandungan utama fraksi tengah Zingiberene.

Sedangkan F4 (residu) dengan jumlah terkecil (5%) terdapat komponen fraksi berat Germacren Germacrone dan Xanthorrizol Hal ini juga menunjukkan bahwa Xanthorrizol yang terdapat dalam minyak temulawak dari Tawangmangu kadarnya rendah (3,22%) dan merupakan fraksi berat

0t3

5. Kesimpulan dan Saran

Variasi suhu penguapan 145oC, 150oC dan 155oC untuk pemisahan/fraksinasi minyak temulawak dari Tawangmangu menunjukkan komponen utama terbesar adalah fraksi tengah (49%) yang mengandung α-Curcumen, diikuti oleh fraksi ringan (33%) yang terdapat camphene, camphor, selanjutnya fraksi tengah (15%) yang terdapat Zingiberene, dan terakhir fraksi berat (5%) berisi Germacren Germacrone, Xanthorrizol Disarankan untuk tujuan pembuatan bahan obat herbal dapat dikembangkan fraksi minyak temulawak yang memiliki komponen kimia yang lebih spesifik untuk meningkatkan efektifitas pengobatan

6. Daftar Pustaka

Ma’mun , Buletin Balitro Vol. XVII, No. 2, 2006

De Gusman, C.C, dan J. S. Siemonsmo (editors). 1999. Plant resourse of South-East Asia 3 Spices. Backhuys Publishers. Netherlands

Guenther, E. 1952. Essensial Oil Vol. 2 The Constituents of Essensial Oils. Van Nostrand Reinhold Company, New York.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Litbang Departemen Kehutanan Indonesia, Jakarta.

Ketaren, S. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1985

Staniforth, V. Spices or oleoresins : a choice. Paper in Conference Proceedings on Spices. Tropical product Institute, London, 1973.

Yashiro Masada, Analysis of Essential Oils by Gas Chromatografi and Mass Spectrometri

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.