Minyak Atsiri Indonesia

Chandra Indrawanto dan JT. Yuhono

OPTIMASI HARGA KESEPAKATAN TERNA DAN MINYAK AKARWANGI UNTUK MENUNJANG PROGRAM CULTIVA

Chandra Indrawanto dan JT. Yuhono, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

Abstrak

Industri minyak atsiri saat ini dicirikan dengan harga yang sangat fluktuatif. Kondisi ini tentunya tidak menguntungkan bagi semua pihak. Produsen menanggung resiko pendapatan yang tidak pasti bahkan kemungkinan merugi, sedangkan konsumen yang merupakan produsen personal/home care product seperti sabun, deterjen dan minyak wangi menanggung resiko biaya produksi yang tidak pasti. Program cultiva dengan prinsip perdagangan yang adil, transparansi dan tanpa spekulasi adalah suatu cara mengatasi hal tersebut. Program ini akan berhasil jika petani dan penyuling mendapatkan harga yang memberikan keuntungan yang memadai. Pada industri minyak akarwangi, hasil analisis finansial menunjukkan usahatani akarwangi akan berada pada kondisi BEP pada harga terna Rp 425/kg, pada kondisi tersebut usaha penyulingan juga akan berada pada kondisi BEP pada harga minyak Rp 362.700/kg. Apabila ditargetkan bahwa B/C ratio usahatani akarwangi 2,5 maka terna akarwangi yang dihasilkan harus dihargai Rp 1.000/kg, dengan harga tersebut pendapatan petani dari usahatani akarwangi Rp 8,2 juta/ha/tahun. Pada kondisi tersebut, jika ditargetkan pula B/C ratio agroindustri penyulingan 2,5, maka produk minyak akarwangi yang dihasilkan harus dihargai Rp 629.000/kg, dengan harga tersebut pendapatan penyuling Rp 23 juta/tahun.
Kata Kunci: Akarwangi, Cultiva, Optimasi, Harga

Pendahuluan

Minyak atsiri akarwangi (vetiver oil) diperoleh melalui proses penyulingan dari bagian akar tanaman akarwangi (Vetiveria zizanioides Stapf). Minyak ini mempunyai aroma yang lembut dan halus yang dihasilkan oleh ester dari asam vetivenat serta senyawa vetiverone dan vetivenol yang saat ini belum dapat dibuat secara sintetis. Minyak akarwangi digunakan secara luas untuk pembuatan parfum, kosmetika, pewangi sabun dan obat-obatan, serta pembasmi dan pencegah serangga. Di Indonesia, tanaman akarwangi telah lama dikenal sebagai komoditas ekspor. Sekitar 90% produksi minyak akarwangi Indonesia diekspor, dengan rata-rata volume ekspor dalam lima tahun terakhir sebanyak 80 ton atau seperempat dari total produksi dunia yang diperkirakan mencapai 300 ton setiap tahunnya. Di pasar dumia minyak akarwangi dari Indonesia dikenal dengan nama Java Vetiver Oil. Selain mengekspor minyak akar wangi, Indonesia juga mengekspor terna akar wangi dengan volume  ekspor rata-rata 15 000 ton per tahun. Hal ini mengindikasikan usaha penyulingan akar wangi masih terbuka untuk dikembangkan.

Akan tetapi pembangunan industri akarwangi hanya akan berhasil jika memberikan keuntungan yang pasti dan layak bagi pelaku-pelaku agribisnis akarwangi terutama petani akarwangi dan pengusaha penyuling minyak akarwangi. Salah satu kendala utama untuk tercapainya kepastian keuntungan tersebut adalah fluktuasi harga minyak akarwangi yang sangat tinggi dan sering terjadi yang berakibat pula pada fluktuasi harga terna akarwangi. Untuk mengatasi kendala tersebut, telah diwacanakan program cultiva akarwangi yang mengatur harga pembelian terna dan minyak akarwangi dari petani hingga pemakai akhir. Dengan prinsip GAP, GMP, fairly trade, peniadaan perdagangan spekulatif, transparansi dan keikutsertaan secara sukarela, diharapkan akan tercapai kesepakatan harga pada tingkat yang wajar diantara pelaku industri akarwangi yang tergabung dalam program cultiva (Rusli, 2008). Untuk mengetahui berapa harga terna dan minyak akarwangi yang memberikan keuntungan yang wajar bagi pelakunya maka perlu dilakukan analisis finansial agribisnis akarwangi dari usahatani hingga usaha agroindustri penyulingan minyak akarwangi.

Bahan dan Metode

Penentuan harga terna dan minyak akarwangi dilakukan berdasarkan hasil yang bisa didapat oleh petani dan pengusaha penyuling jika menerapkan GAP dan GMP. Data masukan dan hasil produksi usahatani dengan menerapkan GAP didapat dari hasil penelitian Balittro yang dituangkan dalam buku budidaya akarwangi (hobir, et.al. 2006). Sedangkan data masukan danproduksi penyulingan akarwangi diambil dari hasil penelitian Indrawanto (2007). Untuk mendapatkan harga terna dan minyak akarwangi yang memberikan keuntungan yang wajar bagi petani dan pengusaha penyulingan dilakukan dengan memakai analisis finansial dengan indikator NPV, B/C ratio dan IRR.

Hasil dan Pembahasan

Pengaturan harga dalam program cultiva akan dapat berjalan jika kesepakatan harga yang diterima para stakeholders memberikan tingkat keuntungan yang wajar. Kesepakatan Harga terna akarwangi yang diterima petani haruslah memenuhi biaya usahatani ditambah keuntungan yang wajar bagi petani. Demikian juga kesepakatan  harga minyak akarwangi yang diterima penyuling haruslah memenuhi biaya penyulingan termasuk biaya pembelian terna dari petani ditambah keuntungan yang wajar bagi pengusaha penyuling. Dengan demikian untuk dapat memperhitungkan harga kesepakatan terna dan minyak akarwangi yang wajar, perlu diketahui biaya masukan produksi usahatani dan penyulingan serta tingkat keuntungan yang wajar bagi petani dan penyuling.

Harga Kesepakatan Terna Akarwangi

Untuk menentukan harga kesepakatan terna akarwangi yang memberikan keuntungan yang wajar bagi petani akarwangi, perlu dicari biaya produksi terna akarwangi per kg. Dengan asumsi usahatani dengan menerapkan GAP, skala produksi satu ha dan masa tanam satu tahun (satu musim), biaya tenaga kerja Rp 25.000 per hari, harga pupuk kandang Rp 400 per kg, harga urea Rp 2.350 per kg, harga SP-36 Rp 2.650 per kg, harga KCl Rp 2.800 per kg dan produksi terna akarwangi kering angin 16 ton per hektar didapat, dari hasil analisis finansial, harga pokok produksi terna akarwangi Rp 387 per kg dan kondisi break event point (BEP) dengan tingkat discount factor 1% per bulan akan terjadi pada tingkat harga terna akarwangi Rp 425 per kg. Dengan demikian, harga kesepakatan terna akarwangi haruslah harga pada kondisi BEP ditambah keuntungan yang wajar (premium) bagi petani karena menanggung resiko kegagalan panen. Apabila ditargetkan B/C ratio usahatani sebesar 2,5, yang berarti pendapatan yang didapat 2,5 kali biaya yang dikeluarkan, maka harga terna akarwangi haruslah sebesar Rp 1000 per kg. Pada tingkat harga tersebut keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp. 8,2 juta/ha/tahun (tabel 1).

t1

Hasil analisis sensitifitas menunjukkan perubahan pada harga input maupun pada tingkat produktivitas akan mempengaruhi pendapatan petani. Dengan harga terna tetap sebesar Rp 1.000 per kg, peningkatan upah tenaga kerja sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 3,2%, peningkatan harga pupuk kandang sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 0,9%, peningkatan harga seluruh pupuk kimia sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 1,1%, sedangkan jika produksi terna per hektar turun sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 18,4%.

Harga Kesepakatan Minyak akarwangi

Dengan asumsi penyuling menerapkan GMP, kapasitas ketel 3500 liter, jangka waktu usaha 15 tahun, 15 kali suling per bulan, tingkat rendemen 0,3%, harga minyak tanah untuk bahan bakar Rp 3.000 per liter, discount factor 12% per tahun, dan harga terna akarwangi Rp 1.000 per kg, didapat dari hasil analisis finansial, harga pokok produksi minyak akarwangi Rp 537.220 per kg, dan kondisi BEP akan terjadi pada harga minyak akarwangi Rp 558.200 per kg. Dengan demikian, harga minyak akarwangi haruslah harga pada kondisi BEP ditambah keuntungan yang wajar (premium) bagi penyuling karena menanggung resiko produksi. Apabila ditargetkan B/C ratio penyulingan sebesar 2,5, yang berarti pendapatan yang didapat 2,5 kali biaya yang dikeluarkan, maka harga minyak akarwangi haruslah sebesar Rp 629.000 per kg. Pada tingkat harga tersebut keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp. 23 juta/tahun (tabel 2).

t2

Hasil analisis sensitifitas menunjukkan perubahan pada harga input maupun tingkat rendemen akan mempengaruhi pendapatan penyuling. Dengan tingkat harga terna Rp 1.000 per kg dan harga minyak akarwangi Rp 629.000 per kg, peningkatan harga bahan bakar minyak tanah sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 23,5%, peningkatan upah tenaga kerja penyulingan sebesar 10% akan menurunkan pendapatan sebesar 2,6%, dan setiap penurunan rendemen sebesar 0,01% akan menurunkan pendapatan sebesar 29,6%.

Kesimpulan

Pada penentuan harga terna akarwangi perlu diperhatikan dua faktor utama yang sangat mempengaruhi tingkat keuntungan yang akan didapat yaitu pertama, penetapan asumsi tingkat produktivitas terna akarwangi yang wajar yang dapat dihasilkan petani sesuai dengan kondisi lapang walaupun sudah menerapkan GAP, hal ini karena penurunan realisasi produksi sebesar 10% dari asumsi produksi akan menurunkan 18,4% keuntungan yang didapat. Kedua, penetapan tingkat keuntungan yang seharusnya diterima petani per tahun dari setiap hektar pertanaman akarwanginya.

Sedangkan pada penentuan harga minyak akarwangi, dua faktor yang perlu diperhatikan adalah: pertama, penetapan tingkat keuntungan per tahun yang seharusnya diterima penyuling, dan kedua, penetapan asumsi tingkat rendemen minyak yang dihasilkan. Tingkat rendemen ini dapat berfluktuatif walaupun penyuling telah menerapkan GMP karena sangat dipengaruhi oleh kualitas terna dan tingkat teknologi penyulingannya. Hal ini karena penurunan tingkat rendemen yang didapat sebesar 0,01% dari asumsi tingkat rendemen akan menurunkan 29,6% keuntungan yang didapat

Selain faktor-faktor tersebut diatas, harga kesepakatan yang telah ditetapkan harus selalu ditinjau ulang secara berkala untuk disesuaikan dengan perubahan harga masukan dalam proses produksi. Pada penentuan harga terna akarwangi, harga masukan yang perlu ditinjau, diurut dari yang sangat mempengaruhi, adalah upah tenaga kerja, harga pupuk kimia (urea, TSP dan KCl) dan harga pupuk kandang. Sedangkan pada penentuan harga minyak akarwangi ditingkat penyuling, harga masukan yang perlu ditinjau, diurut dari yang sangat mempengaruhi, adalah harga bahan bakar minyak tanah dan tingkat upah penyulingan.

Daftar Pustaka

Hobir, Ma’mun, C. Indrawanto, S. Purwiyanti, S. Suhirman. Budidaya Akarwangi (Vetiveria zizanoides L.). Balittro, Bogor.

Indrawanto, C. 2007. Rekayasa Model Evaluasi Kelayakan Pembiayaan Agroindustri Minyak Atsiri Dengan Pola Syariah. Disertasi, IPB. Bogor.

Rusli, M.S. 2008. Fasilitasi Pembentukan Kelembagaan Minyak Atsiri. Makalah pada Pelaksanaan Fasilitasi Pembentukan Kelembagaan Daerah Potensial Minyak Atsiri di Jawa Timur, diselenggarakan Dirjen IKM dan DaI di Malang 17-18 Nopember 2008.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.