Minyak Atsiri Indonesia

Tuti Tutuarima dkk

Perbaikan Disain Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi

Tuti Tutuarima, Hari Soesanto*, Meika S Rusli, Erliza Noor

Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB; * E-mail : Hari_earth@yahoo.com

Abstract

Minyak akar wangi adalah salah satu komoditas ekspor non migas Indonesia. Selama sekitar 50 tahun sejak awal abad yang lalu Indonesia merupakan produsen/eksportir akar wangi terbesar dunia dan saat ini berada pada posisi ketiga setelah Haiti dan Bourbon. Minyak akar wangi (vetiver oil) dihasilkan melalui proses penyulingan (distilasi) terhadap hasil budi daya tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides) yang dilakukan oleh petani dan industri kecil-menengah di daerah Garut, Jawa Barat.

Hingga saat ini proses produksi minyak akar wangi Indonesia menghadapi masalah yang sangat serius mengingat mutunya yang rendah (aroma dan keseragaman), rendemen yang belum optimal (1 – 2%), dan waktu penyulingan yang lama (12 – 14 jam). Rendahnya mutu dan rendemen minyak akar wangi disebabkan oleh kondisi proses distilasi yang diterapkan tidak tepat, akan tetapi terpaksa ditempuh mengingat mahalnya harga bahan bakar minyak sejak kenaikan harga pada tahun 1998.

Penyelesaian masalah yang dihadapi industri penyulingan minyak akar wangi di Garut dapat dicapai jika dapat ditemukan inovasi teknologi berupa disain proses distilasi yang menjamin tercapainya mutu produk yang diinginkan sekaligus tingkat efisiensi energi, waktu penyulingan yang layak, serta rendemen yang lebih tinggi. Pendekatan yang digunakan pada riset ini untuk menjawab tantangan inovasi teknologi tersebut adalah merancang proses distilasi yang didasarkan pada perbedaan titik didih komponenkomponen minyak akar wangi dan pada kesetimbangan fasa air dan fasa minyak akar wangi. Implikasi dari pendekatan ini adalah proses distilasi dengan peningkatan tekanan operasi (ketel suling) 2 – 3 bar dan laju alir uap air (steam flow rate) 1 – 2 liter/(jam.kg bahan) secara bertahap sesuai dengan tahapan penguapan komponen-komponen minyak akar wangi tersebut.

Penyulingan minyak akar wangi dengan menggunakan sistem direct steam distillation (penyulingan dengan bantuan boiler) pada riset ini menghasilkan rendemen rata-rata lebih besar dari yang dilakukan oleh para penyuling minyak akar wangi di garut yaitu mencapai 3.2%. Waktu penyulingan pun lebih singkat yaitu hanya 9 jam. Aroma minyak akar wangi yang dihasilkan pun tidak berbau gosong berbeda dengan minyak akar wangi yang dihasilkan penyuling rakyat di Garut.

Peningkatan produksi dan harga jual minyak akar wangi Indonesia diyakini akan langsung berdampak pada peningkatan lapangan kerja sekaligus kesejahteraan bagi masyarakat petani dan pengrajin industri penyulingan akar wangi di Garut, Jawa Barat.

Keywords : Steam distillation; minyak akar wangi (vetiver oil) ; Vetiveria zizanioides

Pendahuluan

Minyak akar wangi merupakan minyak atsiri yang dihasilkan dari tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides) melalui proses penyulingan (distilasi). Minyak akar wangi adalah minyak atsiri yang kental, dan memiliki aroma sweet, earthy, dan woody (Martinez, et al., 2004). Minyak akar wangi banyak digunakan dalam industri parfum sebagai fixative, komponen campuran dalam industri sabun dan kosmetik (; Lavania, 1988; Akhila dan Rani, 2002; Martinez, et al., 2004), digunakan dalam obat herbal sebagai carminative, stimulant, dan diaphoretioc (Akhila dan Rani, 2002).

Sentra budidaya tanaman akar wangi di Indonesia berada di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Tanaman akar wangi telah diusahakan dan dibudidayakan di kabupaten Garut sejak awal abad ke 20. Lokasi penghasil tanaman akar wangi di Kabupaten Garut adalah Kecamatan Samarang, Kecamatan Pasir Wangi, Kecamatan Leles, Kecamatan Bayongbong, dan Kecamatan Cilawu.

Minyak akar wangi Garut dalam dunia perdagangan lebih dikenal dengan sebutan “Java vetiver oil”. Selama paruh pertama abad ke 20 Indonesia merupakan eksportir akar wangi terbesar dunia. Sejak tahun 50-an Haiti dan Bourbon menggantikan posisi Indonesia.

Pangsa Indonesia di pasaran dunia diperkirakan mencapai 20% (Soleh, et al.,1990). Volume ekspor minyak akar wangi Indonesia selama rentang tahun 2002-2004 masing-masing adalah 75.72, 45.82 dan 56.44 ton (BPS, 2005). Pasar luar negeri yang menyerap produk ini antara lain negara-negara Jepang, Cina, Singapura, India, Hongkong, Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Belgia, Swiss dan Italia (BPS, 2005).

Masalah utama yang dihadapi industri minyak akar wangi di Garut dalam periode 8 tahun terakhir ini adalah rendahnya mutu minyak yang dihasilkan. Hampir menyeluruh produk minyak akar wangi garut saat ini diasosiasikan dengan bau gosong dan berwarna gelap. Hal ini kemudian berdampak langsung terhadap penerimaan produk minyak akar wangi Indonesia di pasar ekspor. Dalam cukup banyak kasus minyak akar wangi mutu rendah tersebut ditolak oleh buyer di luar negeri karena memang dalam pemeriksaan awal sampel secara organoleptik atau sensoris sudah jauh dibawah kriteria mutu yang diinginkan industri pengguna. Seandainyapun ada yang diterima, maka harga yang diberikan kepada minyak akar wangi asal Indonesia (dalam hal ini Garut) umumnya sangat rendah. Pada dua tahun terakhir ekspor minyak akar wangi Indonesia menurun drastis menjadi hanya sekitar 20 ton (Suwandi, 2006).

Faktor yang menjadi penyebab langsung dari rendahnya mutu minyak akar wangi di Garut saat ini adalah kondisi proses penyulingan yang digunakan tidak tepat. Dapat dikatakan seluruh pengusaha penyulingan minyak akar wangi menggunakan tekanan uap di dalam ketel proses lebih besar atau sama dengan 5 bar. Dengan tekanan uap sebesar itu suhu di dalam ketel proses dapat mencapai lebih dari 150oC sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan pada minyak baik yang masih berada pada bahan maupun yang telah teruapkan. Kerusakan ini berwujud bau gosong dan warna gelap pada minyak akar wangi yang diperoleh setelah proses kondensasi.

Praktek penyulingan dengan kondisi proses seperti yang disebutkan diatas sesungguhnya baru diterapkan sejak akhir tahun 90-an dengan tujuan untuk memperpendek waktu proses agar konsumsi bahan bakar per batch bisa ditekan. Hal ini dilakukan penyuling sebagai respon terhadap kenaikan yang sangat signifikan dari harga BBM sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1998, sementara harga jual produk minyak akar wangi rata-rata tidak bisa dinaikkan. Sebelumnya proses penyulingan dilakukan pada tekanan maksimal 3 bar dengan waktu penyulingan selama 20-24 jam. Dengan peningkatan tekanan proses tersebut waktu penyulingan dapat diperpendek menjadi sekitar 10-12 jam untuk mendapatkan rendemen minyak akar wangi yang sama.

Kondisi yang dihadapi industri minyak akar wangi di Garut sebagaimana yang dijelaskan diatas tidak hanya berdampak pada berkurangnya perolehan devisa negara akibat menurunnya secara drastis volume ekspor, akan tetapi lebih dari itu juga memberikan dampak yang cukup besar terhadap berkurangnya lapangan pekerjaan sekaligus menurunnya pendapatan yang dialami sejumlah cukup besar petani dan penyuling akar wangi. Hal ini tentunya memerlukan adanya upaya-upaya nyata yang dapat mengatasi permasalahan tersebut secara tepat.

Penyelesaian permasalahan dalam proses penyulingan (distilasi) minyak akar wangi yang seolah-olah merupakan trade off antara mutu produk dan konsumsi bahan bakar tidak dapat dilakukan dengan pendekatan perbaikan kondisi proses secara konvensional yang mengandalkan informasi empirik semata-mata. Sebaliknya, diperlukan inovasi teknologi yang memanfaatkan teori dan prinsip proses distilasi, khususnya steam distillation, serta informasi tentang sifat-sifat fisik komponen minyak akar wangi.

Minyak atsiri termasuk minyak akar wangi merupakan campuran yang terdiri dari berbagai komponen senyawa yang memiliki titik didih yang berkisar antara 1500°C-3000°C pada tekanan 1 bar. Pada proses penyulingan minyak atsiri, akan jelas terlihat tahapan penguapan komoponen-komponennya. Pada awal penyulingan komponen-komponen yang bertitik didih lebih rendah akan tersuling lebih dahulu, kemudian disusul komponen yang bertitik didih tinggi (Guenther, 1987).

Berhubung berat molekul komponen-komponen minyak akar wangi banyak yang berbeda, dapat diasumsikan berat molekul rata-rata komponen-komponen minyak akar wangi yang menguap pada tahap awal proses lebih rendah dari berat molekul rata-rata komponen-komponen minyak akar wangi yang menguap pada tahap yang lebih kemudian. Percepatan proses penyulingan dapat dilakukan dengan meningkatkan secara bertahap tekanan parsial uap air (steam). Mengingat kebutuhan kalor laten untuk penguapan komponen-komponen minyak akar wangi yang bertitik didik lebih tinggi juga lebih besar, maka laju steam yang kontak dengan bahan untuk memasok kalor dan menaikkan suhu juga sekaligus perlu ditingkatkan secara bertahap untuk mendapatkan laju distilasi minyak akar wangi yang lebih tinggi.

Perbaikan kondisi proses penyulingan (distilasi) minyak atsiri dengan peningkatan tekanan uap dengan hasil yang cukup memuaskan telah dilakukan pada komoditi miyak nilam dan minyak pala. Dibandingkan dengan penyulingan menggunakan tekanan konstan selama 3 jam, penyulingan minyak nilam dengan peningkatan tekanan uap sebesar 0.5 bar setelah 20 menit proses dan 1 bar setelah 40 menit berikutnya sampai penyulingan selesai menghasilkan peningkatan rendemen minyak nilam dan sekaligus meningkatkan efisiensi proses (Lesmayati, 2004). Penyulingan minyak pala dengan tekanan awal 0 bar selama 4 jam kemudian ditingkatkan menjadi 0.5 bar selama 4 jam berikutnya dan ditingkatkan lagi menjadi 1.5 bar sampai akhir penyulingan memberikan rendemen lebih tinggi dibandingkan dengan penyulingan dengan menggunakan tekanan konstan 0 bar selama 10 jam (Sakiah, 2006).

Sebagai upaya untuk menghasilkan minyak akar wangi bermutu tinggi diperlukan inovasi teknologi melalui modifikasi proses penyulingan metode uap langsung (steam distillation) menggunakan variasi peningkatan tekanan dan laju alir steam secara bertahap.

Pendekatan ini diyakini dapat mengatasi permasalahan penyulingan dengan tekanan yang tinggi secara konstan dengan hasil minyak yang berwarna gelap dan berbau gosong (mutu rendah) maupun permasalahan penyulingan menggunakan tekanan rendah secara konstan, yang meskipun dapat menghasilkan minyak yang bermutu tinggi akan tetapi membutuhkan waktu yang lama dan energi yang besar.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknik penyulingan yang lebih efisien melalui distilasi bertahap untuk produksi minyak akar wangi, memperoleh kondisi proses optimal (laju alir uap, tekanan dan waktu) proses distilasi bertahap untuk meningkatkan rendemen dan kualitas minyak akar wangi, pengurangan konsumsi energi pada penyulingan dengan distilasi bertahap.

Aplikasi hasil penelitian ini diyakini berdampak untuk meningkatkan pendapatan para pelaku di industri minyak akar wangi Garut sehingga dapat memberikan peningkatan kesejahteraan bagi petani dan penyuling minyak akar wangi, khususnya di Kabupaten Garut.

Metode eksperimen

Bahan baku yang digunakan adalah akar wangi (Vetiveria zizanioides Stapt) yang berasal dari perkebunan akar wangi rakyat di daerah Garut, Jawa Barat. Sebelum digunakan dilakukan persiapan pendahuluan bahan baku untuk penyulingan meliputi proses pembersihan (pencucian), pengeringan, dan pengecilan ukuran (perajangan). Akar wangi yang digunakan pada penelitian ini yaitu sebesar 3 kg dengan kerapatan 0.09 kg/liter.

Percobaan penyulingan ini menggunakan sistem penyulingan dengan uap langsung (direct steam distillation) dimana uap dibangkitkan pada ketel yang terpisah (boiler). Alat penyulingan terdiri dari boiler, ketel penyuling, alat pendingin (kondensor), alat penampung dan pemisah minyak (separator).

Perlakuan-perlakuan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu tekanan ketel suling dan laju alir uap air. Peningkatan tekanan ketel yang digunakan yaitu 2 bar, 2,5 bar, dan 3 bar. Laju alir uap air yang digunakan yaitu 1 liter/(jam.kg bahan), 1,5 liter/(jam.kg bahan), dan 2 liter/(jam.kg bahan). Waktu penyulingan yaitu selama 9 jam. Minyak akar wangi yang diperoleh diklasifikasikan atas tiga fraksi berdasarkan bobot molekulnya yaitu fraksi 1 (hasil tekanan 2 bar), fraksi 2 (hasil tekanan 2,5 bar), dan fraksi 3 (hasil tekanan 3 bar). Diagram alir proses penyulingan minyak akar wangi disajikan pada Gambar 1.

0g1

Gambar 1. Diagram Alir Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi

Hasil dan Pembahasan

Pengaruh tekanan operasi (ketel suling) terhadap rendemen minyak akar wangi Akar wangi disuling menggunakan ketel suling bertekanan yang diatur sebesar 1, 2, dan 3 bar. Waktu total penyulingan yaitu 9 jam. Grafik yang memperlihatkan profil volume minyak akar wangi yang dihasilkan setiap jamnya disajikan pada Gambar 2. Laju minyak tersuling pada awal penyulingan cukup tinggi dan selanjutnya menurun. Komponen-komponen minyak akar wangi yang bertitik didih lebih rendah akan tersuling lebih dahulu, kemudian disusul dengan komponen-komponen bertitik didih lebih tinggi. Selain itu, bahan akar wangi yang digunakan juga telah mengalami pengeringan yang cukup sehingga pada awal penyulingan uap air dapat langsung menguapkan minyak  yang terdapat pada permukaan bahan.

0g2

Proses pengeringan dapat menyebabkan minyak yang terdapat dalam kantung minyak akan bergerak sampai pada permukaan bahan. Kondisi ini disebabkan air yang terdapat dalam jaringan tanaman bergerak ke permukaan bahan melewati kantung minyak. Air kemudian berdifusi ke dalam kantung minyak. Minyak cenderung terdispersi karena  adanya peningkatan suhu selama proses pengeringan, sehingga permiabel terhadap dinding sel dan ikut bergerak bersama air. Minyak kemudian sampai pada permukaan bahan dan akan lebih mudah teruapkan. Sehingga saat proses penyulingan, minyak yang terdapat pada permukaan bahan akan tersuling lebih dulu (Guenther, 1987).

Selanjutnya dengan semakin bertambahnya waktu penyulingan, menyebabkan penurunan laju penyulingan karena minyak yang terdapat pada permukaan bahan (akar wangi) telah teruapkan dan tidak langsung dapat digantikan oleh minyak yang terdapat pada bagian dalam akar, karena minyak tersebut harus terlebih dahulu dibawa ke permukaan bahan melalui proses hidrodifusi. Selain itu persediaan minyak dalam akar semakin berkurang seiring dengan bertambahnya minyak yang tersuling.

Bila dibandingkan dengan penyulingan menggunakan tekanan 1 bar dan tekanan 2 bar, penyulingan dengan menggunakan tekanan 3 bar konstan ini menghasilkan laju penyulingan di jam-jam awal yang sangat tinggi. Pada jam kesatu saja, sudah mampu mengekstrak minyak sebanyak 40 ml. Jumlah ini lebih besar daripada jumlah minyak yang berhasil terekstrak bila menggunakan tekanan 2 bar dan 1 bar yang hanya menghasilkan 24 ml dan 15 ml. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tekanan dalam ketel suling yang semakin besar (dari 1 bar hingga 3 bar) berkorelasi positif terhadap jumlah minyak yang dihasilkan.

Tekanan yang semakin tinggi maka akan mengakibatkan suhu yang dihasilkan akan semakin tinggi. Dengan semakin tinggi suhu, maka komponen-komponen minyak akar wangi yang dominan bertitik didih tinggi akan lebih cepat tersuling karena proses difusi berjalan dengan lebih cepat. Hal ini sesuai dengan hukum gas dasar yaitu tekanan berbanding lurus dengan suhu, sehingga apabila tekanan penyulingan ditingkatkan maka suhu penyulingan juga akan meningkat dan proses difusi akan berjalan lebih cepat.

Pengaruh tekanan dan laju alir uap air (laju distilat) terhadap rendemen minyak akar wangi

Berdasarkan hasil penyulingan dengan menggunakan tekanan ketel konstan, dapat dilihat adanya kenaikan volume minyak seiring dengan adanya peningkatan tekanan. Oleh karena itu, dilakukan penyulingan dengan menggunakan peningkatan tekanan secara bertahap dengan variasi laju distilat dan peningkatan tekanan dan laju distilat secara bertahap. Perlakuan ini diharapkan mampu menghasilkan volume minyak ataupun recovery proses yang lebih besar dalam waktu yang singkat. Grafik yang memperlihatkan pengaruh penggunaan peningkatan tekanan ketel secara bertahap pada beberapa laju distilat dan penggunaan peningkatan tekanan ketel dan laju alir secara bertahap disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.

0g3

Gambar 3. Volume minyak akar wangi hasil peningkatan tekanan ketel bertahap (2 – 3 bar) pada beberapa laju distilat (1 – 2 liter/(jam.kg bahan).

0g4

Gambar 4. Akumulasi recovery proses penyulingan minyak akar wangi hasil peningkatan tekanan ketel bertahap (2 – 3 bar) pada beberapa laju distilat (1 – 2 liter/(jam.kg bahan)).

Pengaturan tekanan ketel bertahap yang dilakukan yaitu 3 jam pertama menggunakan tekanan 2 bar, kemudian 2 jam selanjutnya menggunakan tekanan 2,5 bar, lalu 4 jam terakhir menggunakan tekanan 3 bar.

Berdasarkan Gambar 3, dapat dilihat bahwa pada fraksi 1 dan 2 minyak akar wangi yang tersuling, volume minyak yang terbesar diperoleh dari penggunaan laju distilat paling tinggi 2 liter/(jam.kg bahan). Hal ini menunjukkan semakin besar laju distilat yang digunakan maka minyak akar wangi yang tersuling akan semakin besar pula. Ini disebabkan oleh daya angkut uap air (steam) terhadap minyak yang terdapat pada akar wangi lebih besar bila menggunakan laju distilat yang lebih besar. Akan tetapi bila kandungan minyak dalam akar wangi sudah menurun maka penggunaan laju distilat yang lebih besar tidak akan meningkatkan perolehan volume minyak yang diperoleh lagi,. Hal ini terlihat pada fraksi 3 (Gambar 3), volume minyak hasil dari proses laju distilat 2 liter/(jam.kg bahan) sudah mengalami penurunan.

Akumulasi recovery proses yang dihasilkan dari penyulingan minyak akar wangi menggunakan tekanan ketel bertahap yang paling tinggi diperoleh dari penggunaan laju distilat 2 liter/(jam.kg bahan) yaitu mencapai 90.7%. Sedangkan minyak akar wangi yang dihasilkan dari penggunaan tekanan ketel bertahap dan laju distilat secara bertahap tidak meningkatkan recovery proses.

Kesimpulan

Penyulingan minyak akar wangi dengan menggunakan sistem direct steam distillation (penyulingan dengan bantuan boiler) menghasilkan rendemen rata-rata lebih besar dari yang dilakukan oleh para penyuling minyak akar wangi di garut yaitu dari 1–2% menjadi sebesar 3.2%. Waktu penyulingan pun lebih singkat menjadi 9 jam sedangkan peryuling rakyat di Garut menyuling selama 12-14 jam.

Ada hubungan yang erat antara tekanan dan laju alir uap air (laju distilat) terhadap rendemen, dan waktu penyulingan minyak akar wangi. Ada kecenderungan yang positif semakin tinggi tekanan dan laju distilat yang digunakan maka semakin tinggi rendemen yang dihasilkan. Semakin tinggi tekanan dan laju distilat yang digunakan semakin cepat proses penyulingan. Tekanan ketel suling maksimal yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 3 bar. Minyak akar wangi yang dihasilkan berwarna kuning keemasan. Minyak akar wangi yang dihasilkan memiliki aroma yang khas dan tidak berbau gosong. Sedangkan minyak akar wangi yang dihasilkan di penyuling rakyat beraroma gosong.

Daftar Pustaka

Akhila, A dan Rani, M. 2002. Chemical Constituents and Essential Oil Biogenesis in Vetiveria Zizaniodes. Didalam Massimo Maffei. Vetiveria : The Genus Vetiveria. Taylor and Francs Ind. New York.

BPS. 2005. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri Expor. BPS. Jakarta.

Guenther, E. 1987. Minyak Atsiri Jilid I. Terjemahan. Semangat Ketaren. UI-Press. Jakarta.

Lavania, U.C. 1988. Enhanced Productivity of the essential oil in the artificial autopolyploid of vetiver (Vetiveria zizaniodes L. Nash). Euphytica. 38: 271-276.

Lesmayati, S. 2004. Modifikasi Proses Penuyulingan Minyak Nilam dengan Penningkatan Tekanan Secara Bertahap. Skripsi. Fateta – IPB. Bogor.

Martinez, J., et al. 2004. Valorization of Brazilian Vetiver (Vetiveria zizaniodes (L.) Nash ex Small) Oil. J. Agric. Food Chem. 52: 6578-6584.

Sakiah, S. , Rusli, M. S., Tedja, T., Apriyantono, A. 2006. Pengaruh Tekanan Uap Terhadap Komponen Aroma Pada Proses Penyulingan Minyak Atsiri Dari Biji Pala (Myristica fragrans Houtt). Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006. Buku 1. h. 184-188. ISBN 979-15433-0-5

Suwandi. 2006. Vetiver. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006. Buku 2. h. 44-46. ISBN 979-15433-0-5

1 Comment »

  1. Titik didih sampai 3000℃ ?

    Comment by Ir Hidayat — November 11, 2015 @ 9:00 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.