Minyak Atsiri Indonesia

Suryatmi Retno Dumadi

Kajian Fraksinasi Minyak Nilam

Suryatmi Retno Dumadi

Pusat Teknologi Agroindustri, BPPT; e-mail : sur_dumadi@yahoo.co.id

(Disampaikan pada “Konferensi Nasional Minyak Atsiri” di Hotel Singgasana, Surabaya 2-4 Desember, 2008, Dit Industri Kimia dan Bahan Bangunan, Ditjen IKM, Depperin

Abstrak

Minyak nilam merupakan primadona dalam perdagangan minyak atsiri di Indonesia, yang nilai jualnya ditentukan berdasarkan besarnya kadar patchouli alkohol. Komponen utama minyak nilam adalah senyawa α-pinene, β-pinene, β-patcholen, α-guajen, α-patchoulen, bulnesen, norpatchoulenol, patchouli alkohol, pogostol, dll. Minyak nilam “crude” dengan kadar patchouli alkohol 28,98% dipisahkan menggunakan alat rotavapor diperoleh 5 fraksi minyak nilam dengan kadar patchouli alkohol dari 15,22%, 24,05%, 26,99%, 42,18% dan 54,83%

Kata Kunci : Patchouli alkohol, primadona, “crude”, fraksinasi, rotavapor, fraksi, komponen, GC

1. Pendahuluan

Minyak nilam adalah minyak atsiri yang diperoleh dari tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) dengan cara penyulingan daunnya. Minyak nilam merupakan salah komoditasi ekspor andalan minyak atsiri Indonesia. Sebagai komoditas ekspor, minyak nilam mempunyai prospek yang baik karena dibutuhkan secara kontinyu dalam industri parfum, kosmetik, sabun, farmasi dan lainnya.

Penggunaan minyak nilam dalam industri-industri ini disamping baunya yang khas juga karena minyak nilam bersifat fiksatif. Sifat fiksatif ini disebabkan oleh komponen utamanya patchouli alkohol (C15H26O) yang tergolong kedalam oxygenated terpen. Komponen utama minyak nilam adalah senyawa α-pinene, β-pinene, β- patcholen, α-guajen, α-patchoulen, bulneswen, norpatchoulenol, patchouli alkohol, pogostol, dll.

Pada umumnya minyak yang berasal dari hasil penyulingan daun nilam mempunyai kadar patchouli alkohol yang masih rendah yaitu dibawah 30 %. Kondisi ini menyebabkan rendahnya harga minyak nilam dipasaran. Bahkan sering terjadi terjadi kecurangan dengan cara menambah volume dengan bahan-bahan pemalsu. Untuk meningkatkan kadar komponen utama minyak nilam ini dapat dilakukan dengan proses fraksinasi menggunakan rotavapor dengan pengaturan suhu fraksinasi.

2. Tujuan

Kajian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik pemisahan minyak nilam dengan metode fraksinasi menggunakan rotavapor, dan mengetahui pengaruh suhu fraksinasi terhadap sifat fisiko kimia minyak nilam yang dihasilkan.

3. Metode Penelitian

3.1. Bahan Dan Alat

Bahan yang digunakan adalah minyak nilam dari UKM Nilam di Majenang Jawa Barat. Alat-alat yang digunakan adalah rotavapor, tabung reaksi, erlenmeyer, neraca massa digital Sartorius (ketelitian (0,001), polarimeter, densitometer, refraktometer, gelas ukur, pipet, labu pemisah, GC, dan GC-MS.

3.2. Prosedure Penelitian

Tahap awal proses dimulai dengan pemisahan zat pengotor (lemak nabati) menggunakan metoda fraksinasi dengan cara menguapkan minyak nilam menggunakan alat rotavapor pada suhu 150oC hingga diperoleh minyak nilam bebas lemak nabati.

Minyak nilam bebas lemak ini selanjutnya dipisahkan destilat dari residu minyak secara bertahap menggunakan empat suhu fraksinasi. Selanjutnya akan dihasilkan beberapa fraksi dengan suhu awal 120oC, dilanjutkan dengan suhu 125oC, suhu 130oC dan suhu akhir proses 135oC, yang akan terkondensasi menjadi fraksi-fraksi minyak nilam yang berbeda-beda tergantung pada suhu fraksinasinya.

Diagram alir proses kajian fraksinasi minyak nilam dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini. Setelah proses fraksinasi dilanjutkan dengan analisa sifat fisiko kimia masing-masing fraksi minyak nilam.yang diperoleh.

3.3. Metodologi

Ada 4 variabel perlakuan fraksinasi dalam penelitian ini yaitu suhu fraksinasi minyak nilam 120oC, 125oC, 130 oC dan 135 oC.

0g1

Gambar 1. Diagram alir proses fraksinasi minyak nilam

Penentuan kualitas dan keberhasilan proses fraksinasi dapat diketahui berdasarkan hasil analisa sifat fisiko kimia yang terdiri atas putaran optik menggunakan polarimeter, bobot jenis menggunakan densitometer, dan senyawa kimia minyak atsiri menggunakan GC dan GC-Mass. Analisis hasil disajikan secara deskriptif.

4. Hasil dan Pembahasan

Standard mutu minyak nilam menurut SNI disajikan pada tabel 1 dan Karakteristik Minyak Nilam Hasil Kajian pada tabel 2.

0t1

Patchouli alkohol (%) Dicantumkan sesuai hasil uji Bobot jenis dan putaran optik pada tabel 2 menunjukkan bahwa mutu minyak nilam yang digunakan sebagai bahan penelitian memenuhi standar SNI.

0t2

Perlakuan menggunakan varisasi suhu fraksinasi 120oC, 125oC, 130 oC dan 135oC memperlihatkan data bobot jenis, putaran optik, dan masing-masing senyawa kimia dominan yang terdeteksi pada hasil analisa GC-MS dirangkum dalam tabel3

0t3

Adanya senyawa lemak nabati dalam minyak nilam crude, menyebabkan kadar Patcohouli Alkohol (PA) dan Norpatchoulenol dalam minyak nilam refine (24%) dan (26,9%) mengalami penurunan dibanding dalam minyak nilam crude (28.9%) dan (27,2%). Hal ini dimungkinkan karena senyawa PA dan Norpatchoulenol merupakan golongan fraksi berat sehingga dalam proses pemisahan lemaknya sebagian terikut dalam fraksi lemak nabati yang terdapat dalam residu pada proses pemisahan minyak nilam pada suhu 150 oC.

Hal ini relatif tidak tertjadi penurunan pada ketiga senyawa lainnya, bahkan terjadi peningkatan kadarnya selain karena senyawa Bulnesen, Alpha – patchoulen dan Αlpha – guajen tergolong fraksi ringan disamping terjadinya pergeserean % ase karena menurunnya kadar PA dan Norpatchoulenol. Penghilangan lemak nabati dalam minyak nilam crude juga menyebabkan minyak nilam refine memiliki warna kuning kecoklatan lebih cerah dibanding warna kuning coklat tua pada crude.

Fraksi 1, 2, 3 dan 4 juga semakin meningkat kadar Pa nya mulai 15,2%, 26,9%, 42,2% dan 54,8%. Sebaliknya semakin menurun kadar Norpatchoulenol mulai 29,3%, 27,1%, 25% dan 16,2%, kadar Bulnesen mulai 13,3%, 10,7%, 7,3% dan 5,2%, kadar Alpha – patchoulen mulai 8,9%, 7,3%, 4,5% dan 2,9%, kadar Αlpha – guajen mulai 24,9%, 19,2%, 11,9% dan 8%.

Ini menguatkan bahwa suhu fraksinasi rendah yaitu 120oC menghasilkan destilat (fraksi 1) yang berisi lebih banyak senyawa-senyawa yang tergolong fraksi ringan yang mudah menguap seperti Bulnesen, Alpha – patchoulen, Αlpha – guajen dan juga lebih banyak senyawa fraksi tengah yaitu Norpatchoulenol. Pada peningkatan suhu fraksinasi mulai 120 oC, 125 oC, 130 oC dan 135 oC akan terlihat pola yang sama, yaitu terjadi peningkatan kadar fraksi berat sebaliknya terjadi penurunan kadar fraksi ringan dan fraksi tengah seperti terlihat dalam tabel 3.

Fraksi 1, 2, 3 dan 4 juga memperlihatkan semakin meningkatkan bobot jenisnya, mulai 0,9310, 0,948, 0,965 dan 0,982. Hal ini memperkuat data semakin meningkatnya fraksi berat yang diperoleh dari terkondensasinya golongan senyawa-senyawa yang tergolong sebagai fraksi berat seiring dengan peningkatan suhu fraksinasi. Disamping menurunnya fraksi ringan seiring dengan peningkatan suhu fraksinasi.

5. Kesimpulan dan Saran

Variasi suhu fraksinasi 120oC, 125oC, 130oC dan 135oC dalam proses fraksinasi minyak nilam memberikan hasil terjadi peningatan kadar senyawa PA dan menurunnya kadar Norpatchoulenol, Bulnesen, Alpha – patchoulen dan Αlpha – guajen. Variasi suhu fraksinasi 120oC, 125oC, 130oC dan 135oC dalam proses fraksinasi minyak nilam memberikan hasil terjadi peningkatan kadar senyawa fraksi berat, penurunan kadar senyawa fraksi tengah dan penurunan kadar senyawa fraksi ringan.

Variasi suhu fraksinasi 120oC, 125oC, 130oC dan 135oC dalam proses fraksinasi minyak nilam memberikan hasil terjadi peningkatan bobot jenis Disarankan untuk tujuan peningkatan kadar senyawa PA sesuai permintaan pasar dan untuk tujuan pengambilan senyawa fraksi ringan dapat dilakukan dengan proses fraksinasi.

6. Daftar Pustaka

De Gusman, C.C, dan J. S. Siemonsmo (editors). 1999. Plant resourse of South-East Asia 3 Spices. Backhuys Publishers. Netherlands

Guenther, E. 1952. Essensial Oil Vol. 2 The Constituents of Essensial Oils. Van Nostrand Reinhold Company, New York.

Elyta, S & E. Sundari, 2006.Upaya peningkatan kualitas dan permasalahan perdagangan minyak nilam di Sumatera Barat, Proceding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006, Jakarta

Harris, R. 1990. Tanaman Minyak Atsiri. Penebar Swadaya, Jakarta.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Litbang Departemen Kehutanan Indonesia, Jakarta.

Weast, R. C., and Melvin, J. Astle. 1987. HandBook of Data on Organic Compounds Vol. I A-O. CRC Press Inc., Boca Rotan, Florida.

Weast, R. C., and Melvin, J. Astle. 1982. HandBook of Chemistry and Physics 63rd edition. CRC Press Inc., Boca Rotan, Florida.

Yashiro Masada, Analysis of Essential Oils by Gas Chromatografi and Mass Spectrometri

3 Comments »

  1. terus cara buat minyak temulawak bagaimana/?

    Comment by deden hapsari — September 28, 2011 @ 11:07 pm

  2. saya mau tanyak nih….
    analisa gc ms nya dimana ya yg murah dan terjangkau untuk kalangan mahawsiswa????
    aq juga kurang terlalu tau mengenai gcms…nah…%konsentrasi yang ada di tabel itu memang tersedia langsung dari hasil analisanya atau kita yang hitung sendiri???

    Comment by maya — March 4, 2012 @ 7:00 am

  3. Mas, polarimeter yang dipakai jenis apa?

    Comment by inforesmi.com — November 6, 2013 @ 3:38 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.