Minyak Atsiri Indonesia

Sjahrul Bustaman

PROSPEK PENGEMBANGAN MINYAK PALA BANDA SEBAGAI KOMODITAS EKSPOR MALUKU

Oleh: Sjahrul Bustaman;  Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No. 10, Bogor 16114

Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008

ABSTRAK

Minyak pala Banda merupakan salah satu komoditas ekspor Maluku selain biji pala dan fuli. Minyak pala dihasilkan dari penyulingan (distilasi uap) biji pala yang tidak memenuhi kualitas ekspor. Permintaan minyak pala di pasar dunia sangat tinggi, karena penggunaannya sangat luas seperti industri kosmetik, farmasi, sirup, penyedap alami, selain untuk pengobatan. Lahan yang tersedia untuk pengembangan pala di Maluku mencapai 871.656 ha. Sumber plasma nutfah dan inovasi teknologi telah tersedia serta didukung berbagai kebijakan sehingga akan lebih memacu pengembangan pala di daerah ini. Di sektor hulu, kebijakan diarahkan kepada peningkatan produktivitas dan mutu pala, sedangkan di sektor hilir ditekankan pada peningkatan nilai tambah melalui pengolahan minyak pala. Harga jual biji pala kualitas ekspor di Ambon berkisar antara Rp30.000–Rp40.000/kg, fuli Rp50.000/kg, dan minyak pala Rp300.000/kg. Berdasarkan ketersediaan bahan baku, inovasi teknologi, tenaga kerja, harga dan permintaan pasar luar negeri, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, sudah sepatutnya peluang ini diambil pemerintah daerah setempat dalam mengembangkan minyak pala. Fasilitasi pemerintah daerah diperlukan, berupa kebijakan, modal kerja, fasilitas, dan insentif kemudahan bagi investor dalam upaya pengembangan pala guna meningkatkan pendapatan asli daerah.

Kata kunci: Minyak pala, ekspor, produktivitas, strategi pengembangan, Maluku

ABSTRACT

Prospect of Banda’s nutmeg oil development as Moluccas export commodity Banda’s nutmeg oil is one of the Moluccas export commodities beside seeds and mace. Nutmeg oil is produced by steam distillation of the dried seeds that do not fulfill export quality. The oil is highly demanded and largely used for cosmetics and pharmacy industry, syrup, natural food flavor and health benefits. The area for nutmeg development in Moluccas is around 871,656 ha. Nutmeg genetic resources and innovations of technology for nutmeg development are available and supported by the government policy. In the cultivation sector, the policy is aimed to increase productivity and quality of fruit. In the upstream sector, the policy is directed to improve added value of the products by processing the seeds and mace to nutmeg oil. In Ambon, nutmeg seeds priced Rp30,000–Rp40,000/kg, whereas mace Rp50,000/kg and crude nutmeg oil Rp300,000/kg. Based on the availability of raw material, technology, manpower, market, high price, and role of Indonesia as main supplier of nutmeg oil for USA and UE markets, it is important to develop nutmeg oil industry in Moluccas. The regional authority should be convinced in supporting for policy, working capital, investor’s incentive and other facilities to success the nutmeg oil development for increasing regional income.

Keywords: Nutmeg oil, exports, productivity, development strategy, Moluccas

PENDAHULUAN

Minyak pala merupakan salah satu minyak atsiri yang permintaannya cukup tinggi di pasar internasional. Minyak pala dikenal pula dengan nama oleum myristicae, oleum myrist atau minyak miristica. Minyak ini mudah menguap dan didapat dari hasil distilasi uap (penyulingan) biji pala dan fuli. Selain biji dan fuli, minyak pala merupakan komoditas ekspor andalan Maluku, dan merupakan sumber pertumbuhan ekonomi dan pendapatan daerah.

Pala merupakan tanaman rempah asli Maluku (Purseglove et al. 1995), dan telah diperdagangkan dan dibudidayakan secara turun-temurun dalam bentuk perkebunan rakyat di sebagian besar Kepulauan Maluku. Pala Indonesia memiliki nilai tinggi di pasar dunia karena aromanya yang khas dan rendemen minyaknya tinggi.

Luas areal tanaman pala di Maluku mencapai 18.000 ha, terutama tersebar di Pulau Ambon, Kepulauan Banda, dan Pulau Seram. Lingkungan ekologi seperti curah hujan, suhu, dan tanah vulkanik serta minimnya serangan hama penyakit sangat mendukung perkembangan tanaman pala di Maluku. Berdasarkan pendekatan Zona Agro Ekologi (ZAE), lahan yang tersedia untuk pengembangan tanaman perkebunan termasuk pala di Maluku mencapai 871.656 ha yang tersebar di lima kabupaten (Susanto dan Bustaman 2006).

Indonesia memiliki sumber daya genetik pala yang besar dengan pusat keragaman tanaman berada di Kepulauan Maluku. Keragaman tanaman tertinggi ditemukan di Pulau Banda, Siau, dan Papua (Hadad dan Hamid 1990). Sebagai pusat keragaman genetik maka tanaman pala di daerah ini perlu dikelola, dikembangkan, dan dimanfaatkan secara optimal.

Ada enam jenis pala di Maluku, yaitu Myristica fragrans, M. argentea, M. fattua, M. specioga, M. sucedona, dan M. malabarica, namun yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah M. fragrans. Keragaman varietas tersebut merupakan sumber genetik yang sangat berharga dalam pengembangan pala ke depan.

Tanaman pala dengan umur 25–50 tahun dapat menghasilkan 160 kg buah/ pohon/tahun, yang terdiri atas daging buah, biji (22,50 kg), dan fuli (3 kg). Berdasarkan hasil analisis proksimat, buah pala mengandung minyak 7,15%. Bila minyak pala tersebut diproses lebih lanjut akan dihasilkan lemak (mentega) 8,05%, komponen terpenoid 73,91%, dan komponen aromatik 18,04% (Marzuki 2007). Komponen utama dari senyawa aromatik adalah myristicin.

Di Maluku, pala umumnya diperdagangkan dalam bentuk biji dan fuli. Pengolahan minyak pala masih terbatas, padahal minyak dapat diolah dengan menggunakan peralatan yang sederhana, seperti halnya penyulingan minyak kayu putih dan minyak cengkih.

Pemasaran pala belum tertata dalam suatu sistem, belum ada kelembagaan (koperasi) yang menanganinya. Petani bebas menjual pala yang dihasilkan kepada pedagang pengumpul di desa atau di kota kecamatan. Selanjutnya pedagang pengumpul kecamatan menjual pala ke pedagang di kota kabupaten atau provinsi. Sistem pemasaran seperti ini menyebabkan harga pala di tingkat petani menjadi rendah. Transportasi merupakan kendala utama dalam pemasaran pala sehingga biaya usaha tani menjadi tinggi.

Indonesia merupakan pemasok utama biji pala dan produk turunannya untuk pasar Amerika Serikat. Kekurangan kebutuhan di negara tersebut dipasok oleh Grenada dan Sri Lanka. Pala Indonesia juga dipasarkan ke Inggris dan Jerman.

Berdasarkan ketersediaan bahan baku, teknologi, nilai jual, peluang pasar produk pala dan derivatnya, kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat, maka pala berpeluang dikembangkan di Maluku. Pengembangan pala dapat dilakukan melalui pendekatan sektor hulu dan hilir. Pada sektor hulu, kebijakan lebih diarahkan kepada peningkatan produktivitas dan mutu produk, sedangkan pada sektor hilir, kebijakan ditekankan pada peningkatan nilai tambah dengan mengolah biji dan fuli yang tidak memenuhi kualitas ekspor menjadi minyak pala kasar (crude nutmeg oil). Tulisan ini memberikan gambaran peluang pengembangan minyak pala sebagai komoditas ekspor unggulan asal Maluku.

KETERSEDIAAN BAHAN BAKU DAN TEKNOLOGI

Potensi Produksi

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Maluku tahun 2006, luas pertanaman pala rakyat mencapai 9.948 ha, yang diusahakan oleh 15.056 kepala keluarga dengan produksi 1.998 ton. Komposisi tanaman pala rakyat terdiri atas tanaman belum menghasilkan 2.771 ha (27,85%), tanaman sudah menghasilkan 4.451 ha (44,74%), dan tanaman tua atau rusak 2.726 ha (27,40%). Walaupun luas areal tanaman pala cenderung meningkat setiap tahun, rata-rata setiap petani hanya memiliki lahan 0,68 ha dengan jumlah tanaman 84 pohon. Bahkan bila dikaji lebih jauh, seorang petani pala hanya memiliki lahan 0,30 ha dengan jumlah tanaman yang telah menghasilkan 37 pohon. Selain perkebunan rakyat, tanaman pala di Maluku juga diusahakan oleh lima perusahaan perkebunan besar yang mengelola 10.128 ha lahan dengan produksi di tahun 2005 sebesar 2.003 ton (Badan Pusat Statistik Maluku 2006). Prakiraan produktivitasnya 0,24 t/ha, karena jumlah tanaman yang menghasilkan masih sedikit sebagai akibat banyaknya tanaman yang rusak pada kerusuhan sosial di Maluku beberapa waktu lalu.

Produktivitas pala di Maluku tergolong rendah, yaitu kurang dari 1.500– 3.000 butir/pohon/tahun atau setara dengan 0,70 t/ha. Rendahnya produktivitas disebabkan benih yang digunakan berupa benih asalan (Hadad 1992), serta petani tidak melakukan pemupukan maupun pengendalian organisme pengganggu tanaman. Produktivitas potensial pala adalah 2−3 t/ha dan umumnya pohon produktif (pala betina) mencapai 45%.

Untuk mendukung pengembangan tanaman pala dapat digunakan bibit klonal atau vegetatif seperti cangkok, okulasi, setek berdaun, dan kultur jaringan. Penggunaan bibit vegetatif atau klonal memiliki beberapa keunggulan, antara lain: 1) populasi tanaman dapat diatur secara ideal dengan perbandingan jantan dan betina 1:10 atau 1:20, 2) masa juvenil lebih pendek, dan 3) produktivitas tanaman tinggi dan mutu hasil lebih baik. Dengan asumsi produktivitas rata-rata 1.500 butir/ pohon/tahun maka produksi bisa mencapai 166.500−175.500 butir/ha/tahun. Dibandingkan dengan produktivitas tanaman pala asal biji, populasi pala betina 45 pohon/ha dan produksi 67.500 butir/ ha/tahun, maka penggunaan bahan tanaman klonal dapat memberikan tambahan hasil yang sangat signifikan (146,66− 160%).

Produksi pala Indonesia tahun 2000 mencapai 20 ribu ton yang dihasilkan dari areal 60.600 ha (Direktorat Jenderal Perkebunan 2000 dalam Marzuki 2007). Pada tahun yang sama, Indonesia mengekspor sekitar 8 ton biji pala dan lebih dari 1 ton fuli ke berbagai negara (Anonim 2001 dalam Marzuki 2007). Pada zaman VOC, dalam kurun waktu 5 tahun (1633−1638), total ekspor biji pala dan fuli dari Pulau Banda saja mencapai 1.404.894 kg biji dan 404.046 kg fuli. Sementara Sunanto (1993) menyatakan bahwa dalam periode 1918− 1925, total volume ekspor biji pala Maluku mencapai 8.589 t dan fuli 1.957.411 t.

Tanaman pala Banda mempunyai umur produksi 7−80 tahun, dengan produktivitas untuk biji 500−800 kg/ha/ tahun dan untuk fuli 100−160 kg/ha/tahun. Bagian yang dapat dimakan mencapai 83%. Buah mengandung air 83%, protein 0,35%, minyak 11,20%, atsiri 18−31 komponen, senyawa aromatik 16,20%, dan terpenoid 37,80% (Marzuki 2007). Komposisi buah pala terdiri atas daging buah, biji (nuts), fuli (mace), minyak pala (nutmeg oil), lemak pala (oleoresin), dan minyak atsiri (volatile) yang terdiri atas terpenoid dan senyawa aromatik (Gambar 1).

0g1

Gambar 1. Komposisi buah pala (Marzuki 2007).

Ketersediaan Teknologi

Teknologi budi daya tanaman dan pascapanen pala telah banyak dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Dalam penyulingan minyak pala, petani masih menggunakan peralatan dan teknologi yang sederhana seperti pada pembuatan minyak kayu Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008 95 putih atau minyak cengkih. Minyak pala dihasilkan melalui proses penyulingan (distilasi uap) biji pala dan fuli. Bahan baku yang disuling biasanya adalah biji atau fuli yang tidak memenuhi standar ekspor (kadar air 12–15%). Peralatan untuk menyuling berupa ketel (tangki) kapasitas 500 kg dengan tekanan uap 1 atm. Penyulingan menggunakan bahan bakar kayu atau minyak tanah. Waktu yang diperlukan untuk setiap kali pemasakan (penyulingan) sekitar 48 jam dengan kebutuhan minyak tanah 10 l/jam.

Proses penyulingan minyak pala oleh petani di Maluku sangat sederhana. Uap yang keluar dari tangki pemasakan dialirkan melalui pipa yang melewati bak pendingin. Selanjutnya cairan yang keluar, yaitu minyak yang masih bercampur dengan air, ditampung kemudian dipisahkan dengan menggunakan corong pemisah. Minyak yang dihasilkan berupa minyak pala kasar (crude nutmeg oil) dengan rendemen 10%.

KARAKTERISTIK MINYAK PALA DAN PEMANFAATANNYA

Karakteristik Minyak Pala

Minyak pala tidak berwarna sampai dengan kuning muda, berbau tajam, dan beraroma rempah. Komponen utama minyak pala adalah α-pinene, camphene, β-pinene, sabinene, myrcene, α-phellandrene, α- terpinene, γ-terpine, limonene, 1,8-ceniole, linalool, terpine-4-ol, safrole, methyl eugenol dan myristicin (Anonim 2008c).

Minyak pala dengan formulasi C10H16 mempunyai sifat tidak beracun dan tidak menyebabkan iritasi, tetapi bila digunakan dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan pingsan karena kandungan myristicin yang tinggi mempunyai efek halusinasi seperti narkotik. Minyak pala dari fuli memiliki kadar myristicin lebih tinggi dibanding minyak pala dari biji. Bila minyak pala diproses lebih lanjut akan menghasilkan 84% trimyristin, suatu kristal beracun turunan dari safrole yang merupakan senyawa dari methylene dioxyphenyl dengan rumus kimia C45H86O6 (Erowid 2001), biasanya digunakan untuk sabun, detergen, dan parfum.

0t1

Produksi minyak pala dunia mencapai 300 t/tahun, terutama berasal dari Indonesia dan Sri Lanka dengan pasar utama (75%) Amerika Serikat. Minyak pala di beberapa negara Eropa berasal dari Grenada. Untuk mengukur senyawa yang ada pada minyak pala dilakukan proses fraksionasi dengan menggunakan kromatografi gas atau spektrofotometri massa (Tabel 1).

Di dunia terdapat dua tipe minyak pala, yaitu minyak pala Indian Timur (East Indian) dan minyak pala Indian Barat (West Indian). Minyak pala Indonesia termasuk minyak pala Indian Timur. Minyak pala Indian Timur memiliki berat jenis 0,885– 0,915 g/ml dan larut dalam alkohol 90% (v/ v) dengan perbandingan 1 bagian minyak dan 3 bagian alkohol. Minyak pala Indian Barat mempunyai berat jenis 0,86–0,88 g/ ml dan larut dalam alkohol 90% (v/v) dengan perbandingan 1 bagian minyak dan 4 bagian alkohol (Anonim 2008b). Selain itu, minyak pala dari Indian Timur memiliki kandungan myristicin hingga 13,50%, sedangkan Indian Barat konsentrasi myristicin di bawah 1%. Minyak pala sebaiknya disimpan dalam kondisi dingin dan terlindung dari cahaya langsung.

Menurut Djasula Wangi Indonesia (2008), minyak pala Indonesia memiliki berat jenis (25ºC) 0,847–0,919, rotasi optik  +10ºC hingga +30ºC, indeks refraksi (25ºC) 1,472–1,495, kandungan residu mudah menguap maksimum 60 mg (2,50%), minyak mineral negatif, minyak lemak negatif, dan larut dalam etanol 90% dengan perbandingan 1:3.

0t2

Minyak pala yang diperoleh dari proses hidrodistilasi biji memperlihatkan karakteristik warna/fisik yang normal. Kandungan minyak biji tua dengan umur panen 7 bulan berkisar 7,95−11,92%. Secara umum, rata-rata kadar minyak pala Banda tua adalah 11,69%. Biji pala muda, umur panen 3−5 bulan, mengandung minyak lebih banyak dibanding biji tua dengan umur panen lebih dari 7 bulan. Rata-rata kadar minyak pala Banda muda adalah 13,07%. Dibandingkan dengan biji pala, kadar minyak yang berasal dari fuli lebih tinggi, rata-rata 21%. Minyak pala Banda memenuhi kualitas ekspor berdasarkan persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI), seperti pada Tabel 2.

Pemanfaatan Minyak Pala

Pada zaman Rhumphius (tahun 1743), pengolahan lemak biji pala dilakukan di Kepulauan Banda. Namun, kini proses tersebut dilakukan di Eropa dan produknya diperdagangkan sebagai volatile oil of nutmeg untuk pembuatan minyak wangi, parfum, sabun, bahan pengolah gula, dan makanan. Selain itu, minyak pala dapat digunakan sebagai bahan baku industri minuman, obat-obatan, dan kosmetik. Lemak dan minyak atsiri dari fuli merupakan bahan penyedap masakan (saus), dan bahan pengawet makanan (Ojechi et al. 1998). Pemanfaatan lainnya adalah sebagai bahan campuran pada minuman ringan dan antimikroba atau bioinsektisida (Stecchini et al. 1993).

Dalam sejarah pengobatan Cina dan Indian, minyak pala digunakan untuk pengobatan atau kesehatan manusia, antara lain untuk stimulus sistem jantung, pencernaan, diare, rematik, nyeri otot, batuk dan pernapasan, tekanan darah, sakit gigi, penghilangan racun dalam hati, dan rasa sakit saat menstruasi (Erowid 2001; Anonim 2008a; 2008c). Biji pala dan minyaknya juga banyak dimanfaatkan untuk bahan rempah, pewangi dupa, dan penyegar ruangan.

NILAI EKONOMI DAN PASAR

Usaha tani pala rakyat di Maluku merupakan usaha warisan yang melibatkan 7.555 petani (Badan Pusat Statistik Maluku 2004). Umumnya petani pala berumur 25− 44 tahun dengan pendidikan setara SLTP ke bawah. Pendapatan dari pengusahaan 100 pohon pala/ha mencapai Rp6.041.275 dengan pengeluaran Rp369.859/ha atau 6,12% dari pendapatan. Komponen pengeluaran meliputi upah buruh Rp107.403 dan biaya lain-lain Rp262.456. Petani biasanya tidak melakukan pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit, hanya pembersihan kebun bila harga pala sedang baik.

Harga biji pala kering di Maluku berkisar antara Rp30.000−Rp40.000/kg, fuli kering Rp50.000/kg, dan minyak pala kasar Rp300.000/kg. Bila diasumsikan produksi biji 1.000 kg dan fuli 200 kg/ha/tahun, maka nilai produksi biji pala dan fuli mencapai Rp50 juta. Dari produksi pala 1.000 kg/ha/ tahun dengan rendemen minyak 10%, akan dihasilkan minyak pala 100 kg/ha/tahun dengan nilai Rp30 juta. Pada tahun 2003, Provinsi Maluku menghasilkan 5.000 ton biji pala dengan jumlah yang diekspor 1.163 ton (Badan Pusat Statistik Maluku 2006).

Saat ini Indonesia memasok 76% kebutuhan pala dunia dan sisanya 20% dari Grenada, dan 5% dari Sri Lanka, Trinidad dan Tobago (Marks dan Pomeroy 1995). Nilai ekspor cenderung meningkat karena kenaikan harga, namun volumenya menurun. Harga pala dunia berkaitan langsung dengan harga pala domestik di sentra-sentra produksi. Hal ini karena penetapan harga pala di tingkat petani mengacu pada harga pala dunia. Importir utama pala adalah Amerika Serikat yang menyerap 50% volume pala dunia, diikuti Inggris 10%. Volume perdagangan minyak pala relatif kecil dengan importir utama Amerika Serikat (75% dari volume perdagangan dunia) dan Jerman. Negara pengimpor biasanya menetapkan persyaratan mutu yang tinggi dan pengawasan yang ketat selama proses produksi minyak pala dan oleoresin. Standar mutu yang digunakan dalam perdagangan pala dan minyak pala oleh importir adalah ISO 7355–1985 untuk pala, BS2999/37 : 1971 untuk minyak pala Indian Timur, BS2999/ 38 : 1971 untuk minyak pala Indian Barat, dan ISO 4734–1981 untuk minyak pala dari fuli (Food Drug Administration 1971).

Minyak pala juga digunakan sebagai pengharum ruangan dalam bentuk lilin, potpouring dan atomizer. Nilai ekonomi pengharum ruangan untuk pasar Amerika Serikat di tahun 1994 mencapai US$500 juta (Chemical Marketing Reporter 1994). Bila diproses lebih lanjut minyak pala akan menghasilkan 84% trimyristin, suatu asam lemak (C14) yang terdiri atas asam myristic dan gliserol. Trimyristin juga dapat dihasilkan dari coconut oil (17,50%), palm kernel oil (14,10%), dan babasu oil (19,90%), dan umumnya digunakan sebagai bahan baku sabun, detergen, dan oleokimia. Harga trimyristin (kemurnian 99%) untuk pemakaian di laboratorium (reagensia) dari SIGMA, Montana Amerika Serikat untuk berat 1 g adalah US$11,70; 5 g $36,65, dan 25 g $149,80 (Chemical Marketing Reporter 1994).

ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

Tujuan umum pengembangan minyak pala di Maluku adalah mengoptimalkan sumber daya pala dan menjaga pengelolaannya secara berkelanjutan dalam upaya membangun usaha agribisnis. Kebijakan pengembangan lebih diarahkan pada upaya terwujudnya agribisnis minyak pala (terutama pengolahan dan pemasaran), agar dapat memberikan manfaat optimal. Beberapa langkah operasional yang perlu dilakukan adalah: 1) revitalisasi potensi sumber daya tanaman yang ada (existing), 2) membangun agribisnis yang terintegrasi mulai dari budi daya, pengolahan hingga pemasaran dalam berbagai skala yang bernuansa corporate community, 3) fasilitasi berkembangnya investasi, 4) peningkatan pemanfaatan pala sebagai bahan industri, dan 5) penguatan kelembagaan lokal. Selain itu, pengembangan dimulai dari skala kecil, koperasi dan skala besar dan secara bertahap dikembangkan sesuai permintaan pasar dan keuntungan usaha.

Strategi pengembangan minyak pala didasarkan pada luas areal tanaman pala Tabel 2. Sifat fisika-kimia minyak pala Banda. Parameter Minyak pala SNI Banda Berat jenis (g/ml) 0,906 0,876−0,919 Indeks bias 1,490 1,488−1,495 Putaran optik +16,30 +8−(+26) Tanda positif (+), putaran optik ke arah kanan. Sumber: Marzuki (2007). Jurnal Litbang Pertanian, 27(3), 2008 97 saat ini, kebutuhan lahan untuk mendukung agribisnis pala, dan permasalahan yang dihadapi. Strategi dikelompokkan dalam tiga kurun waktu, yaitu jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Strategi jangka pendek difokuskan untuk mendapatkan data dan informasi dasar yang mutakhir mengenai agroekologi pala (sebaran lahan dan tanaman), sumber daya manusia (petani, kelompok tani, penyuluh, peneliti, teknisi, dan aparatur pemerintah lainnya yang terkait dengan pala), serta sarana dan prasarana pendukung usaha minyak pala (unit pengolahan, unit produksi, unit pemasaran, unit pemurnian).

Strategi jangka menengah lebih diarahkan untuk melakukan program aksi pemberdayaan petani pala, pengelolaan tanaman agar lebih produktif, peningkatan kemampuan dan keterampilan sumber daya manusia yang bergerak di bidang pala, peningkatan infrastruktur untuk pengelolaan tanaman skala kecil sampai menengah, diversifikasi produk olahan pala, dan aplikasi hasil-hasil penelitian/ kajian tentang minyak pala untuk menguji tingkat efisiensi dan efektivitasnya di tingkat masyarakat.

Strategi jangka panjang diarahkan pada program pengembangan minyak pala di setiap kabupaten/kota sentra produksi agar tercipta agribisnis pala yang berkelanjutan. Selain itu juga diarahkan untuk membangun kerja sama dengan pihak terkait (pola kemitraan) dalam upaya diversifikasi produk pala menjadi produk turunan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan membutuhkan pengolahan dengan teknologi tinggi.

Beberapa kebijakan yang diperlukan untuk memfasilitasi agribisnis minyak pala di Maluku adalah: 1) melalui Bappeda dan Dinas Pertanian Kabupaten/Provinsi, membuat percontohan usaha minyak pala pada areal pertanaman pala rakyat dalam skala luasan 5−10 ha serta menyiapkan mesin pengolahan (distilasi uap) manual di sentra produksi pala, 2) mendatangkan investor dengan memberikan berbagai insentif kemudahan, serta fasilitas kredit dengan bunga rendah dari Bank Pemerintah Daerah Maluku (BPDM), dan 3) membuat regulasi pemasaran pala dan minyak pala ”satu pintu”. Ilustrasi arah pengembangan minyak pala dalam berbagai skala usaha ditampilkan pada Gambar 2, dan peta jalan pengembangan minyak pada Gambar 3.

0g2

Gambar 2. Arah pengembangan minyak pala di Maluku.

0g3

Gambar 3. Peta jalan pengembangan minyak pala Banda untuk ekspor.

KESIMPULAN

Minyak pala Banda merupakan salah satu komoditas ekspor dan dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah. Lebih dari 50% produksi minyak pala Indonesia berasal dari Maluku dengan nilai jual yang cukup tinggi. Minyak pala dihasilkan dari penyulingan biji dan fuli yang tidak memenuhi standar ekspor. Pala merupakan tanaman asli Maluku dan sebagai tanaman warisan dengan menggunakan bibit asalan dan telah banyak yang tua dan rusak.

Tersedianya lahan pengembangan seluas 871.656 ha serta melimpahnya sumber plasma nutfah serta inovasi teknologi pala (budi daya dan pascapanen), memungkinkan dilakukannya pengembangan pala dari hilir (intensifikasi, ekstensifikasi, dan rehabilitasi) sampai hulu (pengolahan minyak pala).

Harga jual biji pala saat ini di Maluku berkisar antara Rp30.000−Rp40.000/kg, fuli Rp50.000/kg, dan minyak pala Rp300.000/ kg. Dalam upaya memberikan nilai tambah kepada petani serta berdasarkan berbagai pertimbangan lain seperti tingginya permintaan pasar dunia, harga yang menjanjikan, dan peran Indonesia sebagai pemasok utama kebutuhan minyak pala dunia, sudah sepatutnya minyak pala lebih diutamakan sebagai produk ekspor Maluku.

Arah pengembangan minyak pala skala kecil ditujukan pada pertanaman pala rakyat, sedangkan skala besar pada perkebunan swasta dan daerah, melalui strategi pengembangan jangka pendek, menengah, dan panjang. Fasilitasi yang diperlukan dari pemerintah daerah meliputi: 1) penyediaan kredit modal usaha dengan tingkat bunga yang wajar dan tanpa agunan, 2) pembentukan kelembagaan kelompok tani, 3) membangun sistem penjualan dan pembelian ”satu pintu” yang diatur dengan peraturan daerah, dan 4) memberikan kemudahan dan insentif kepada swasta agar tertarik dalam agribisnis minyak pala.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008a. Health Benefits of Nutmeg Oil. (http://www.organic.facts.net/organic-oil/ natural-essential-oils/health-benefits-ofnutmeg- oil.html). [18 Maret 2008].

Anonim. 2008b. Myristical Oil Alternative Names. (http://www.utmedicalcenter.org/ adam/health%20ilustrated%20encyclopedia/ 1/002899.htm). [18 Maret 2008].

Anonim. 2008c. Traditional Medicine Nutmeg and Nutmeg Oil. (http://www.wikipedia. org/ wiki/Nutmeg – oil. htm). [18 Maret 2008].

Badan Pusat Statistik Maluku. 2004. Profil Rumah Tangga Pertanian Provinsi Maluku. Sensus Pertanian 2003. Badan Pusat Statistik Maluku, Ambon. hlm 46−66.

Badan Pusat Statistik Maluku. 2006. Maluku dalam Angka. Badan Pusat Statistik Maluku, Ambon. hlm. 253−258.

Chemical Marketing Reporter. 1994. Market Analysis for Trimystin and Myristic Acid. (http://www. f a o . o rg/docrep/v4084e/ v4084e06.htm). [18 Maret 2008].

Djasula Wangi Indonesia. 2008. Sell Nutmeg Oil. Djasula Wangi Indonesia. (http://www. indonetwork-net/djasula-wangi/598536/ nutmeg-oil.htm). [18 Maret 2008].

Erowid, H.T.M. 2001. General Information About Nutmeg. Encyclopedia Britanica, Part VII Micropedia. (http://www.erowid.org/ plants/nutmeg-fag.shtml). [18 Maret 2008].

FDA (US Food Drug Administration). 1971. Derivates of Nutmeg and Mace – Market Overview. (htpp://www.fao.org/docrep/ v4084ee/v4084e0d. htm). [18 Maret 2008].

Hadad, E.A. 1992. Pala. Edisi Khusus Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 8(2): 26−37.

Hadad, E.A. dan A. Hamid. 1990. Mengenal berbagai plasma nutfah pala di daerah Maluku Utara. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.

Marks, S. and J. Pomeroy. 1995. International trade in nutmeg and mace: issues and options for Indonesia. Bull. Indon. Econ. Studies 31(3): 103−118.

Marzuki, I. 2007. Karakteristik produksi, proksimat atsiri pala Banda. hlm. 233−240. Prosiding Seminar Nasional Akselerasi Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Ketahanan Pangan di Wilayah Kepulauan, 29−30 Oktober 2007. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon.

Ojechi, B.O., J.A. Souzey, and D.E. Akpomedaye. 1998. Microbial stability of mango (Mangifera indica L.) juice preserved by combined application of mild heat and extracts of two tropical spices. J. Food Protection 61(6): 725−727.

Purseglove, J.W., E.G. Brown, S.L. Green, and S.R.J. Robbins. 1995. Spices. Longmans, New York. p. 175−228.

Simpson, G.I.C. and Y.A. Jackson. 2002. Comparison of the chemical composition of East Indian, Jamaican and other West Indian essential oils of Myristica fragrans Houtt. J. Essential Oil Res. 14: 6−9. (http:/ /www.Chem.uwimona.edu. jm:1104/lectures/ nutmeg.html). [18 Maret 2008].

Stecchini, M.L., I. Sarais, and P. Giavedoni. 1993. Effect of essential oils on Aeromonas hydrophyla in a culture medium and in cooked pork. J. Food Protection 56(5): 406−409.

Sunanto, H. 1993. Budi Daya Pala Komoditas Ekspor. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Susanto, A.N. dan S. Bustaman. 2006. Data dan Informasi Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis di Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku, Ambon. 73 hlm.

5 Comments »

  1. ASS. WR.WB. PA SAYA TERTARIS BUDIDAYA PALA, KALAU BELI BIBIT PALA UNGUL HASIL OKULASI DIMANA DAN BERAPA HARGANYA, TERIMA KASIH. WASSALAM

    Comment by dadang sudharman — April 7, 2010 @ 7:21 pm

  2. saya ad kebun pala
    dan lasung
    saya olah menjadi miyak
    tpi saya bingung mau cari pasar yg bagus.kalau
    ada minat
    hub.
    hp. 085716660667

    trimakasih

    Comment by yandhie. — October 11, 2010 @ 11:51 pm

    • 081284565007..dan sya sekarang membuat penyuliangan dengan sisti uap tak langsu ,racikan sendiri .hasil rendemen sangat bagus dan tidak merusak kwalitas minyak.

      Comment by yandhie. — August 2, 2013 @ 9:28 am

  3. Kami ada kebun pala dan juga milik tetangga2, kami ada niat memproduksi minyak pala, kami mohon saran dan pemasarannya

    Comment by Baharuddin Damanik — April 2, 2013 @ 10:09 pm

  4. sy diternate memproduksi minyak biji pala,bila ada yg berminat serius membeli bisa hub 082187233111(andry),dijamin murni dan continue….

    Comment by andry — April 21, 2013 @ 3:01 am


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.