Minyak Atsiri Indonesia

Ermiati dan Nurliani Bermawie

ANALISIS FINANSIAL VARIETAS UNGGUL JAHE PUTIH KECIL DI JAWA BARAT

Oleh: Ermiati dan Nurliani Bermawie; Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

Bul. Littro. Vol. XVIII No. 1, 2007, 86 – 106

ABSTRAK

Meningkatnya permintaan ekspor yang belum terpenuhi merupakan peluang besar untuk pengembangan jahe. Seiring dengan itu, maka diperlukan peningkatan produktivitas dan kualitas jahe yang mampu memenuhi standar ekspor. Budidaya jahe sampai saat ini masih menggunakan benih lokal (belum menggunakan varietas unggul) yang menyebabkan produktivitas dan mutu tidak stabil. Untuk mendapatkan varietas unggul harus melalui ujimultilokasi dibeberapa sentra produksi dengan agro ekosistem yang berbeda. Bahan penelitian yang digunakan adalah jahe putih kecil (Genotipe C, E, F, G, H, K serta lokal 1 dan 2 sebagai pembanding) yang terpilih untuk uji multilokasi yang dilakukan di Kabupaten Garut, Majalengka, Sukabumi, Sumedang, pada tahun 2003/2005. Penelitian bertujuan untuk mengetahui apakah varietas unggul jahe putih kecil yang di uji multilokasi layak dikembangkan secara teknis dan menguntungkan secara ekonomis. Data yang dikumpulkan adalah faktor-faktor produksi, produksi dan harga jual. Pendapatan usahatani varietas unggul jahe putih kecil dianalisis dengan analisis pendapatan, sedangkan kelayakan usahataninya dianalisis melalui pendekatan analisis Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) dan Internal Rate of Return (IRR). Jahe putih kecil yang telah diusulkan sebagai varietas unggul adalah JPK Genotip G untuk produktivitas rimpang di usulkan dengan nama Halina 1 dan JPK Genotipe K untuk produktivitas rimpang dan minyak atsiri di usulkan dengan nama Halina 2. Ke dua Genotipe ini dapat dijadikan sebagai varietas unggul, karena adaptif dan stabil di beberapa lokasi pengujian. JPK Genotip G adapatif dan stabil di Garut, Sukabumi dan Sumedang dan JPK Genotip K adaptif dan stabil di Garut, Majalengka dan Sumedang. Hasil analisis finansial menunjukkan, bahwa usahatani varietas unggul JPK Genotip G dan K pada masing-masing lokasi, layak dilakukan secara teknis dan menguntungkan secara ekonomis, hal ini ditunjukkan oleh NPV, B/C Ratio dan IRR masingmasing genotip pada tiap lokasi tersebut positif (+), > 1 dan diatas tingkat suku bunga bank yang berlaku. Besarnya pendapatan, NPV; B/C Ratio dan IRR terendah, yaitu JPK Genotip G di Garut, masing-masing Rp 13.480.171,-; Rp 7.091.353,-/ha, 1,18 dan 2%/bulan. Sedangkan yang tertinggi, yaitu pada JPK Genotipe K di Sumedang, masing-masing Rp 76.798.127,-; Rp 61.650.361,-/ha, 2,50 dan 11%/bulan. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan, bahwa JPK Genotipe G di Garut mempunyai harga minimum tertinggi, yaitu Rp 5.294,-/kg (harga aktual Rp 6.000,- /kg) dengan produksi minimum 6.773 kg/ha (produksi aktual 7.677 kg/ha). Sedangkan JPK Genotipe K di Sumedang mempunyai harga minimum terendah, hanya Rp 2.487,- kg/ha (Harga aktual Rp 6.000,-/kg) dengan produksi minimum 6.977 kg/ha (produksi aktual 16.831 kg/ha). Ini berarti, bahwa jika harga dan produksi masing-masing genotipe tersebut lebih rendah dari harga dan produksi minimumnya, maka usahatani masing-masing genotipe pada daerah yang bersangkutan secara finansial rugi. JPK Genotip G dan K layak dilakukan secara teknis dan menguntungkan secara ekonomis di semua lokasi pengujian (Garut, Majalengka, Sukabumi dan Sumedang), ditinjau dari segi produksi. JPK Genotipe G dan K sebaiknya dikembangkan di daerah Sumedang atau di daerah dengan ketinggian 800 m dpl. Tipe iklim A dan B (schmidt & Ferguson) dan jenis tanah latosol merah sangat gembur, memberikan produksi paling tinggi (10.758,44 dan 11.781,66 kg/ha) dan memberikan pendapatan paling besar (Rp 66.671.450,- dan Rp 76.798.127,-/ha) dengan produksi minimum paling tinggi (6.947 dan 6.977 kg/ha) dan harga minimum paling rendah (Rp 2.712,- dan Rp 2.487,-/kg).

Kata kunci : Analisis finansial, jahe putih kecil, Jawa Barat

ABSTRACT

Financial Analysis of White Ginger In West Java. Increasing of export demand that has been not fulfilled is big opportunity for development of ginger. Together with that, therefore the increase of productivity and quality of ginger that be able to fulfil standard of export are required. Up to now, cultivating of ginger still uses any kind seeds, it has not used superior variety that causes productivity and quality are not stable. To obtain superior variety, multi location test in several production centre with different agro ecosystem must be conducted materials of experiment used were small white ginger (Genotype C, E, F, G, H, K and local 1 and 2 as comparation) those were selected has been give higher production (10,758.44 and 11,781.66 kg/ha) multilocation test that were carried out in Garut, Majalengka, Sukabumi and Sumedang in 2003/2005. The objective of the experiment was to determine superior variety of small white ginger that has been obtained was appropiate to be conducted technically and economically benefit. Data collected included production factors, production and selling price. Income from farmer enterprises of superior variety of small white ginger was analysed with income analysis, where are appropiatess of its form enterprises was analysed through analysis approach of Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (B/C ratio) and Internal Rate of Return (IRR). JPK that could be made and has been proposed as superior variety was JPK genotype of G for productivity of rhizome proposed with the name of Halina 1 and JPK genotype of K for productivity of rhizome and assential oil proposed with the name of Halina 2. These two genotypes could be made as superior variety because they were adaptive and stable in several location of testing. JPK Genotype G was adaptive and stable in Garut, Sukabumi and Sumedang and JPK Genotype of K was adaptive and stable in garut, Majalengka and Sumedang. Result of finansial analysis showed that form enterprises superior variety of JPK Genotype of G and K in each location was appropiate to be conducted technically and economically benefit, this was showed by NPV, B/C ratio and IPP of each genotype in each that location was positive (+), > 1 and above bank rate level. The large amount of income, NPV, B/C ratio and IRR was on JPK Genotype of  G in Garut, each Rp 13,480,171,-, Rp 7,091,353,-/ha, 1.18 and 2%/month respectively. While the highest was on JPK genotype of K in Sumedang each Rp 76,798,127,-/ha, Rp 61,650,361,-, 2.50 dan 11%/month, consecutively. Result of sensitivity analysis showed that JPK genotype of G in garut had the highest minimum price Rp 5,294,-/kg (Actual price Rp 6,000,-/kg) with minimum production 6,773 kg/ha (Actual production 7,677 kg/ha). Where as JPK Genotype of K in Sumedang had the lowest minimum price only Rp 2,487,- /kg (actual price Rp 6,000,-/kg) with minimum production of 6,977 kg/ha (actual production 16,831 kg/ha). This meant that if price and production of each that genotype was lown from its price and minimum production, there fore form enterpreses of each that genotype in that area would be not benefit financially. JPK genotype G and K should be developed in Sumedang or in area with the elevation of  800 m from sea level climate type of A and B (Schmid & Ferguson), and kind of soil red latosol very louse because they gave the highest production (10,758.44 dan 11,781.66 kg/ha) and by them selves also gave the biggest income (Rp 66,671,450,- and Rp 76,793,127,- /ha) with the highest minimum production (69.47 dan 69.77 kg/ha) and the lowest minimum price (Rp 2,712,- and 2,487,-/kg).

Key word : Analysis financial, white ginger, west java

PENDAHULUAN

Kecenderungan kuat masyarakat untuk back to nature atau kembali ke alam dalam pemeliharaan kesehatan, pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit menyebabkan semakin pesatnya permintaan akan produk obat bahan alam (OBA). Hal ini terlihat dari pesatnya pengembangan industri obat tradisonal Indonesia yang pada tahun 1981 berjumlah 165 perusahaan/ pabrik kemudian meningkat tajam lebih dari 6 kali lipat pada tahun 2003 menjadi 1.116 perusahaan nilai omset penjualan dewasa ini diperkirakan telah mencapai 3 trilyun rupiah per tahun (Bermawie et al., 2005).

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) (2003) mengatakan bahwa, lebih dari 300 jenis tanaman yang dimanfaatkan secara rutin dalam industri obat tradisional (OT), salah satu diantaranya adalah jahe. Jahe memiliki multifungsi, rimpang jahe banyak digunakan sebagai bumbu masak, minuman dan ramuan obat tradisional untuk meningkatkan stamina, penguat syahwat, radang tenggorok, tbc paru, asma, reumatik, masuk angin, sakit kepala, obat luka, obat gigitan serangga, gigitan ular, kolik, laksatif, penguat lambung dan lain-lain.

Lebih dari 40 produk OT menggunakan jahe sebagai bahan baku (Kemala et al., 2003), sehingga jahe dibutuhkan dalam jumlah besar untuk industri kecil obat tradisional (IKOT) maupun industri obat tradional (IOT). Hasil survey Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) di beberapa IKOT dan IOT di tujuh propinsi utama pengembangan IOT, volume kebutuhan jahe untuk industri mencapai 47.000 ton tiap tahun. Angka tersebut belum termasuk kebutuhan industri OT di luar pulau jawa.

Di Indonesia dikenal tiga tipe jahe berdasarkan ukuran dan warna rimpang, yaitu jahe putih besar, jahe putih kecil dan jahe merah. Jahe putih kecil dan merah sebagian besar dimanfaatkan dalam industri minuman penyegar dan bahan baku IOT, obat herbal terstandar maupun fitofarmaka. Badan POM mulai menggalakkan penelitian kearah isolasi zat identitas (marker coumpound) dari tanaman unggulan seperti jahe, untuk mendukung pengembangan fitofarmaka. Fenol merupakan komponen utama pada jahe yang mengandung zat aktif, diantaranya [6]-gingerol, yang memilki efek farmakologi dan pemberi rasa dan dapat mengambat pembentukan tumor pada kulit tikus percobaaan, mengambat proliferasi kanker pada manusia melalui induksi apostosis, baik pada sel kanker darah leukimia, kanker kolon dan lain-lain. Jahe putih kecil dan juga jahe merah ditetapkan oleh Badan POM sebagai salah satu bahan industri fitofarmaka untuk penyakit kanker (Bermawie et al., 2005)

Salah satu permasalahan dalam budidaya jahe adalah masih rendahnya produktifitas dan mutu. Walaupun tanaman jahe telah lama dibudidayakan dan menjadi salah satu bahan baku industri obat tradisional, herbal terstandar dan fitofarmaka, namun pengembangan jahe skala luas masih menggunakan benih yang belum didukung oleh penyediaan benih bermutu, teknik budidaya yang optimal yang berkesinambungan.

Pengadaan benih masih menggunakan benih dari kebun sendiri dan belum mengacu kepada standar mutu benih. Rata-rata produktivitas jahe nasional baru berkisar 5 – 6 ton/ha (setara 109 – 127 g bobot rimpang per rumpun). Produksi jahe di Jawa Barat (sentra produksi) baru mencapai 6,35 ton/ha, sedangkan di Jawa Tengah 6,78 ton/ha (Ditjenbun, 2004). Hal tersebut disebabkan oleh cara budidaya yang belum optimal dan juga kurangnya pemakaian bahan tanaman yang bermutu.

Pada tahun 2004 – 2005 terjadi kekurangan pasokan jahe di pasar, sehingga harga jahe meningkat sampai Rp 22.000,- – Rp 25.000,- per kg. Pada awal tahun 2006 jahe umur 4 bulan, harga ditingkat petani sudah mencapai Rp 10.000,- per kg hal ini disebabkan oleh terbatasnya bahan baku dan benih. Diperkirakan untuk memenuhi kebutuhan jahe dilakukan impor jahe dari China dan Vietnam (Bermawie et al., 2005). Dalam rangka memenuhi industri dalam negeri, perlu dilakukan upaya- upaya untuk kesinambungan produksi, melalui penyediaan bahan tanaman dengan produksi tinggi dan mutu yang baik, serta terjamin ketersediaannya, baik dalam jumlah, waktu maupun tempat.

Hasil penelitian Bermawie et al. (2005) dari 6 genotipe jahe putih kecil yang diuji multilokasi, ditemukan 2 genotipe jahe putih kecil yang dapat dijadikan sebagai varietas unggul untuk produktivitas rimpang, yaitu JPK Genotip G untuk produktivitas rimpang dan JPK Genotipe K disamping untuk produktivitas rimpang juga untuk minyak atsiri. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kelayakan secara teknis dan ekonomi, varietas unggul JPK yang didapat dan yang telah diusulkan sebagai varietas unggul untuk produktivitas rimpang tersebut melalui perhitungan faktor-faktor produksi, produksi, penerimaan dan pendapatan.

BAHAN DAN METODE

Analisis finansial dilakukan ter-hadap JPK Genotipe G sebagai varietas unggul untuk produktivitas rimpang dan JPK Genotipe K, disamping untuk produktivitas rimpang, juga untuk mi-nyak atsiri, hasil penelitian uji multilo-kasi di Majalengka, Sumedang, Suka-bumi dan Garut tahun 2003/2005 de-ngan kondisi agroklimat yang ber-beda, seperti pada Tabel 1 (Bermawie et al., 2005).

0t1

Teknis budidaya yang dilakukan mengacu kepada Sudiarto (1978). Jarak tanam 60 cm x 40 cm. Pupuk yang diberikan adalah pupuk kandang sebagai pupuk dasar diberikan 2 kali, yaitu sebulan sebelum tanam dan pada umur 4 bulan, masing-masing sebanyak 20 ton/ha. Pupuk SP-36 300 kg dan KCl 400 kg/ha diberikan pada saat tanam, sedangkan pupuk Urea 600 kg diberikan dalam 3 agihan, yaitu pada umur 1, 2 dan 3 bulan setelah tanam (BST), masing-msing 200 kg tiap aplikasi. Sebelum ditanam benih direndam dalam larutan Agrimisin 2 g/l, Dithane 2 g/l dan Marshall 2 ml/l. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiangan mulai umur 1 sampai 6 bulan, pembumbunan pada umur 4 bulan serta penyemprotan hama dan penyakit. Tanaman di panen pada umur 9 – 10 bulan setelah tanam (BST).

Daya hasil pada jahe diukur berdasarkan bobot rimpang per rumpun, kemudian data yang didapat dikonversikan ke ha dengan perhitungan bobot rimpang per rumpun dikalikan dengan populasi tanaman per ha (40.000) dengan faktor koreksi 70% (berdasarkan pengalaman). Parameter yang diamati, adalah penggunaan sarana produksi, tenaga kerja, peralatan, produksi dan harga jual. Untuk mengetahui besarnya pendapatan usahatani jahe merah, dilakukan analisis pendapatan (Adnyana, 1989) dengan metode tabulasi yang kemudian disajikan secara deskriptif. Secara matematis dapat dihitung dengan formu-lasi sebagai berikut :

01

Kelayakan varietas unggul jahe putih kecil untuk dikembangkan dan secara ekonomis menguntungkan, maka digunakan tiga indikator, yaitu Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR) dengan persamaan sebagai berikut:

02

Berdasarkan kriteria ini, suatu usaha baru dapat dikatan layak apabila NPV = positif, B/C Ratio > 1, bila B/C Ratio < 1, maka usahatani tersebut tidak layak dilakukan, B/C Ratio = 1, maka usahatani pada kondisi impas (penerimaan = pengeluaran) dan IRR diatas tingkat suku bunga yang berlaku (Gittinger, 1986; Kadariah et al., 1978; Soetrisno, 1982).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi

Produksi rimpang masing-masing genotip pada tiap-tiap lokasi pengujian bervariasi, seperti terlihat pada Tabel 2. Menurut Bermawie et al. (2005), berdasarkan hasil analisis gabungan dan stabilitas dari 6 genotipe yang diuji dengan 2 pembanding lokal, ditemukan 2 genotip JPK yang dapat dijadikan sebagai varietas unggul untuk produktivitas rimpang karena adaptif dan stabil di beberapa lokasi penelitian. JPK yang dimaksud adalah JPK Genotip G untuk produktivitas rimpang adaptif dan stabil di Garut, Sukabumi dan Sumedang dan JPK Genotip K untuk produktivitas rimpang dan juga untuk minyak atsiri, adaptif dan stabil disemua lokasi pengujian (Garut, Sukabumi, Majalengka dan Sumedang). Oleh karena itu JPK Genotip G telah diusulkan sebagai varietas unggul jahe putih kecil untuk produksi rimpang dengan nama Halina 1 (Lampiran 1) dan JPK K untuk produksi rimpang dan minyak atsiri dengan nama Halina 2 (Lampiran 2). Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dalam analisis finansial, untuk JPK Genotip G dan K pada tiap-tiap lokasi adaptif dan stabil untuk ke dua genotip tersebut.

0t2

Analisis finansial varietas unggul jahe putih kecil genotip G dan K

Analisis finansial, biaya produksi dan harga jual pada tiap-tiap lokasi penelitian diasumsikan sama. Berdasarkan pengalaman, rimpang yang dapat dijadikan untuk bibit sekitar 70% dari total produksi, 30% lainnya untuk konsumsi. Harga yang berlaku pada awal tahun 2006 untuk bibit sebesar Rp 7.500,-/kg dan untuk konsumsisebesar Rp 6.000,-/kg, maka kelayakan usahatani ke dua Genotipe tersebut pada masing-masing lokasi dapat dilihat pada Tabel 3.

0t3

Hasil analisis finansial usahatani varietas unggul jahe putih kecil (JPK) pada masing-masing lokasi adaptif dan stabil, baik untuk Genotip G, maupun Genotip K ternyata layak dilakukan secara teknis dan menguntungkan secara ekonomis karena NPV masing-masing genotip tersebut + (positif), B/C Ratio > 1 dan IRR diatas tingkat suku bunga bank yang berlaku.

JPK Genotip G dan K memberikan produktivitas tertinggi di Sumedang, masing-masing sebanyak 15.369 dan 16.831 kg/ha dengan pendapatan untuk Genotip G, sebesar Rp 66.671.450,- /ha, NPV Rp 52.924.535,- B/C Ratio 2,3 dan IRR 10%/bulan. Se-dangkan untuk Genotip K pendapatan sebesar Rp 76.798.127,-/ha dengan NPV Rp 61.650.361,-, B/C Ratio 2,50 dan IRR 11%/bulan. Sedangkan yang terendah, yaitu di Garut dimana produktivitas Genotip G hanya sebanyak 7.677 kg/ha memberikan pendapatan sebesar Rp 13.480.171,-/ha dengan NPV Rp 7.091.353,-, B/C Ratio 1,18 dan IRR 2%/bulan dan JPK Genotip K dengan produktivitas sebesar 8.553 kg/ha memberikan pendapatan sebesar  Rp 19.519.624,-/ha dengan NPV Rp 12.295.351,-B/C Ratio 1,31 dan IRR 3%/bulan (Tabel 3, 4 dan 5).

0t5

Hasil analisis finansial tersebut diatas dapat diketahui, bahwa JPK yang terpilih menjadi varietas unggul untuk produktivitas rimpang (Genotip G dan K), layak dilakukan secara teknis dan menguntungkan secara ekonomis pada masing-masing lokasi adaptif dan stabil untuk ke dua genotip tersebut, akan tetapi di tinjau dari segi produksi JPK Genotip G dan K memberikan pendapatan yang lebih besar di Sumedang atau di daerah dengan ketinggian 800 dpl., mungkin dipengaruhi oleh tipe iklim A dan B (Schmidt & Ferguson), jenis tanah latosol merah sangat gembur karena produktivitasnya lebih tinggi.

Analisis sensitivitas

Analisis sensitivitas dipakai harga jual terendah, yaitu sebesar Rp6.000,-/kg (harga konsumsi) dengan produktivitas masing-masing genotip (G dan K) pada masing-masing lokasi yang adaptif dan stabil (Tabel 6).

0t6

Hasil analisis sensitivitas menunjukkan, bahwa produksi dan harga min. tertinggi, yaitu pada JPK genotip   di daerah Garut. Jika harga tetap (Rp 6.000,-/kg), maka titik inpas (bre-ak event point) akan terjadi jika produktivitas turun sebesar 12% (904 kg), menjadi 6.773 kg/ha dan jika produktivitas tetap (7.677 kg/ha), maka titik impas (break event point) akan terjadi jika harga turun sebesar 12% (Rp 706,- /kg) menjadi Rp 5.294,-/kg. Ini berarti jika harga dan produktivitas JPK Genotip G lebih rendah dari produksi dan harga minimum tesebut diatas, maka usahatani JPK genotip G di Garut akan mengalami kerugian secara financial.

Sedangkan harga minimum terendah, yaitu pada JPK genotip K, di daerah Sumedang. Jika harga tetap (Rp 6.000,-/kg), maka titik impas (break event point) terjadi apabila produksi turun sebesar 59% (9.854 kg/ha), menjadi 6.977 kg/ha dan jika produktivitas tetap (16.831 kg/ha), maka break event point terjadi jika harga turun sebesar 59% (Rp 3.513,-/kg), menjadi Rp 2.487,-/kg. Ini berarti bahwa jika produktivitas dan harga JPK genotip K lebih rendah dari produksi dan harga minimum tersebut diatas, maka usahatani JPK genotip K di daerah Sumedang akan mengalami kerugian finansial.

Hasil analisis sensitivitas, menunjukkan bahwa daerah Sumedang, baik untuk JPK genotip G ataupun K, disamping memberikan produksi dan pendapatan tertinggi juga mempunyai produksi dan harga minimum terendah dari tiga lokasi pengujian lainnya (Garut, Sukabumi dan majalengka). Untuk itu, JPK genotip G dan K akan lebih efektif dan efisien kalau dikembangkan di daerah Sumedang atau di daerah dengan ketinggian 800 m dpl., dengan tipe iklim A dan B (Schmidt & Ferguson), jenis tanah latosol merah sangat gembur.

KESIMPULAN DAN SARAN

Ditinjau dari segi produktivitas, JPK genotip G dan K memberikan produktivitas terendah di daerah Garut, masing-masing hanya sebanyak 7.677 dan 8.533 kg/ha. Sedangkan yang tertinggi hampir dua kali lipat dari daerah Garut, yaitu di daerah Sumedang, masing-masing sebanyak 15.369 dan 16.831 kg/ha.

Hasil analisis finansial menunjukkan, bahwa JPK genotip G, maupun genotip K pada tiap-tiap lokasi adaptif dan stabil untuk ke dua genotip tersebut, layak dilakukan secara teknis dan menguntungkan secara ekonomis, dengan indikator NPV, B/C Ratio dan IRR ke dua genotipe pada masing-masing lokasi +, > 1 dan diatas tingkat suku bunga bank yang berlaku.

JPK genotipe G di daerah Garut dengan produktivitas terendah (7.677 kg/ha), memberikan pendapatan terendah pula, yaitu sebesar Rp 13.480.171,-/ha dengan NPV Rp 7.091.358,-, B/C Ratio 1,18 dan IRR 2%/bulan. Sedangkan JPK genotipe K di Sumedang dengan produktivitas tertinggi (16.831 kg/ha) memberikan pendapatan tertinggi pula, yaitu sebesar Rp 76.798.361,-/ha dengan NPV Rp 61.650.361,-/ha, B/C Ratio 2,50 dan IRR 11%/bulan.

Break event point pada JPK Genotipe G di Garut terjadi apabila harga turun sebesar 12% (Rp 706,-/kg) menjadi Rp 5.294.-/kg dan jika produksi tetap (7.677 kg/ha), maka break event point terjadi apabila produksi turun sebesar 12% (904 kg/ha) menjadi 6.773 kg/ha. JPK genotipe K di Sumedang, jika harga tetap (Rp 6.000,-/kg), maka Break event poitnt akan terjadi apabila harga turun sebesar 59% (Rp 3.513,-/ kg) menjadi Rp 2.487,-/kg dan jika produksi tetap (16.831 kg/ha), maka Break event point akan terjadi apabila produksi turun sebesar 59% (9.854 kg/ha) menjadi 6.977 kg/ha. Jika harga dan produksi masing-masing genotipe tersebut lebih rendah dari harga dan produksi minimumnya, maka usahatani masing-masing genotipe tersebut pada daerah yang bersangkutan mengalami kerugian secara finansial.

JPK genotipe G dan K sebaiknya di kembangkan di daerah Sumedang atau di daerah dengan ketinggian 800 m dpl. tipe iklim A dan B (schmidt & Ferguson) dan jenis tanah latosol merah sangat gembur karena memberikan produksi paling tinggi (10.758,44 dan 11.781,66 kg/ha) dan dengan sendirinya juga mem-berikan pendapatan paling besar (Rp 66.671.450,- dan Rp 76.798.127,-/ha) de-ngan produksi minimum paling tinggi (6.947 dan 6.977 kg/ha) dan harga mini-mum paling rendah (Rp 2.712,- dan Rp 2.487,- /kg).

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana M. O., 1989. Analisis ekonomi dalam penelitian sistem usahatani. Latihan Metodologi Penelitian Sistem Usahatani. Badan Litbang Pertanian. Jakarta, 1989 : 12 hal.

Bermawie N., Hadad, N. Ajijah, B. Martono, St. Fatimah dan Susi P., 2005. Usulan Pelepasan Varietas Jahe Putih Kecil. Balai PenelitianTanaman Obat dan Aromatika. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Bogor. 50 hal.

Ditjebun., 2004. Satatistik Perkebunan Jahe. Direktorat Jendral Perkebunan. Jakarta. 20 hal.

Gittinger J. Price, 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Edisi ke dua. Universitas Indonesia (UIPress), 1986. 579 hal.

Kadariah L., Karlina dan Gray., 1978. Pengantar Evaluasi Proyek (Jilid I). Lembaga Penerbit FEUI. Jakarta 1978. 122 hal.

Kemala S., Sudiarto, E. Rini Pribadi, J.T Yuhono, M. Yusron, L. Mauludi M., Rahardjo, B. Waskito dan H. Nurhayati, 2003. Serapan pasokan dan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia. Laporan Teknis Penelitian. Balittro. 105 hal (Tidak dipulikasikan).

Soetrisno, 1982. Dasar-dasar Evaluasi Proyek (Dasar-dasar perhitungan teori dan studi kasus). Fakultas Ekonomi UGM. Andi Offset. Yokyakarta, 1982. hal. 231-240.

Sudiarto, 1978. Budidaya tanaman jahe (Zinggiber offinale Rosc.) dan penelitian beberapa aspek budidaya. Deptan. Balitbang Pertanian. Lembaga Penelitian Tanaman Industri. Bogor. 18 hal.

Sukarman et al., 2003. Perbaikin komponen perbenihan jahe. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2001. Balittro Bogor, 2002. 7 hal.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.