Minyak Atsiri Indonesia

Maharani Hasanah, dkk.

TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH JAHE

Oleh: Maharani Hasanah, Sukarman dan Devi Rusmin; Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

Perkembangan Teknologi TRO VOL. XVI, No. 1, 2004

ABSTRAK

Jahe (Zingiber officinale Rosc.) termasuk tanaman yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi, karena simplisianya memiliki banyak kegunaan baik sebagai minuman penghangat, bumbu dapur, penambah rasa dan sebagai bahan baku obat tradisional. Berdasarkan keragamannya dikenal 3 tipe jahe yaitu jahe merah, jahe putih kecil dan jahe putih besar. Permasalahan utama dalam pengembangan tanaman jahe terutama jahe putih besar adalah kurangnya informasi mengenai aspek perbenihan termasuk sistem pengadaan, penanganan, hama dan penyakit tanaman, penyimpanan serta penyaluran /pendistribusian bahan tanaman. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka dalam tulisan ini dibahas tentang aspek perbenihan jahe mulai dari produksi benih sampai pada distribusi benih, dengan tujuan untuk memberikan informasi tentang produksi benih jahe.

PENDAHULUAN

Jahe (Zingiber officinale Rosc.) termasuk tanaman rempah dan obat yang memiliki daya adaptasi yang cukup, mulai dari 0 – 1500 m di atas permukaan laut (dpl) (Purseglove et al., 1981). Sedangkan menurut Soediarto (1978), daerah yang cocok untuk pertumbuhan jahe adalah dari 0 – 900 m dpl dengan curah hujan 2.500 – 4.000 mm/tahun. Di India Jahe ditanam di daerah-daerah dengan ketinggian 0 – 800 m dpl dengan rata-rata suhu harian 28 – 35ºC. Di Jamaica, daerah sentra produksi jahe terletak pada ketinggian 450 – 900 m dpl, dengan rata-rata suhu harian 21º C dengan curah hujan 1.800 mm/tahun (Paulose, 1970).

Di dunia tanaman jahe tersebar di daerah tropis, di benua Asia dan kepulauan Pasifik. Akhir-akhir ini dikembangkan juga di Jamaica, Brazil, Hawai, Afrika, India, China, Jepang, Filipina, Australia, Zelandia Baru, Thailand dan Indonesia. Di Indonesia Jahe dapat tumbuh dan di temukan di seluruh wilayah Indonesia baik ditanam secara monokultur maupun polikultur.

Daerah produksi utama jahe di Indonesia adalah Jawa Barat (Sukabumi, Majalengka, Sumedang, Bandung, Cianjur, Ciamis, Garut, dan Subang), Banten (Lebak, Pandeglang), Jawa Tengah (Magelang, Boyolali, Salatiga), Jawa Timur (Malang, Probolinggo, Pacitan), Sumatera Utara (Simalungun), Bengkulu dan lain-lain.

Menurut klasifikasi tanaman, jahe adalah tanaman herba tahunan yang termasuk ke dalam pengelompokan atau klasifikasi sebagai berikut :

  • Klas : Angiospermae,
  • Sub klas: Monocotyledonae,
  • Ordo : Zingiberales,
  • Famili : Zingiberaceae,
  • Genus : Zingiber,
  • Spesies : Zingiber officinale Rosc.

Berdasarkan ukuran, bentuk dan warna kulit rimpang, telah dikenal 3 klon jahe yakni jahe merah (JM), jahe putih kecil (JPK), dan jahe putih besar (JPB), dimana morfologi dan karakteristik kimia dari ke tiga jenis jahe tersebut sangat berbeda. Di Balittro terdapat beberapa nomor harapan jahe dari ke tiga jenis jahe tersebut, dan dari beberapa nomor harapan tersebut baru satu nomor yang dilepas yaitu Cimanggu 1.

Jahe termasuk tanaman yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi, karena simplisianya memiliki banyak kegunaan baik sebagai minuman penghangat, bumbu dapur, penambah rasa dan sebagai bahan baku obat tradisional.

Penggunaan rimpang jahe tergantung kepada ke tiga klon jahe tersebut. Jahe putih besar (gajah/ badak), rasanya tidak terlalu pedas, umumnya digunakan sebagai bahan makanan seperti manisan, asinan juga untuk minuman segar. Jahe putih kecil (jahe emprit) mempunyai rasa lebih pedas dari jahe putih besar, umumnya digunakan untuk bumbu masak, sumber minyak atsiri dan pembuatan oleoresin serta bubuknya banyak dimanfaatkan dalam ramuan obat tradisional (jamu). Sedangkan jahe merah, mempunyai kandungan minyak atsiri yang tinggi (Yuliani et al., 1991). Selain digunakan untuk obat tradisional, di daerah Kalimantan, Sulawesi dan Maluku justru klon ini banyak digunakan untuk bumbu masak.

Komposisi kimia jahe terdiri dari minyak atsiri 2 – 3%, pati, resin, asamasam organik, asam malat, asam oksalat dan gingerin (Depkes, 1989). Minyak atsirinya terdiri dari n-desil aldehid, n-nonil aldehid, d-kamfen, d-b felandren, metal heptanan, sineol, dborneol, linalool, geraniol, zingiberen dan zingiberol.

Mengingat spektrum kegunaannya yang cukup luas dan nilai ekonominya yang cukup tinggi, maka tanaman jahe ini perlu dikembangkan baik secara intensif maupun secara ektensif. Permasalahan utama dalam pengembangan tanaman jahe terutama jahe putih besar adalah kurangnya informasi mengenai aspek perbenihan termasuk sistem pengadaan, penanganan, hama dan penyakit tanaman, penyimpanan serta penyaluran/ pendistribusian bahan tanaman.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka dalam tulisan ini dibahas tentang aspek perbenihan jahe mulai dari produksi benih sampai pada distribusi benih, dengan tujuan untuk memberikan informasi tentang produksi benih jahe.

0t1

PRODUKSI BENIH DAN SUMBER BENIH

Perbenihan jahe merupakan aspek yang sangat strategis dan menentukan dalam industri jahe, tetapi belum banyak ditangani secara sungguh-sungguh baik oleh masyarakat pembudidaya dan oleh pemerintah. Sistem pengawasan mutu yang seyogianya dilakukan mulai dari produksi benih sumber sampai kepada aspek distribusi benih/pemasaran harus dilaksanakan dengan ketat. Kebutuhan rimpang/benih, pada jahe besar cukup banyak sekitar 2 – 3 ton/ha untuk produksi rimpang tua, sedangkan hampir 2 kali lipat untuk produksi jahe muda.

Sampai saat ini benih yang digunakan oleh petani umumnya berasal dari pertanaman sebelumnya atau dari pasar yang mutunya tidak terjamin dan umur rimpangnya, kurang dari 9 bulan ( ± 7 – 8 bulan). Benih jahe yang voluminous dalam keadaan normal benihnya cepat bertunas dalam waktu 2 bulan, untuk itu diperlukan teknik penanganan benih yang baik. Berdasarkan hal tersebut, perlu dicari solusi teknologi penyimpanan benih/ rimpang jahe yang tepat guna (murah, mudah dan dapat dilakukan petani).

Untuk mengatasi permasalahan benih jahe diperlukan usaha penyiapan benih jahe sehat, yang harus dimulai dengan penyiapan benih sumber. Benih sumber merupakan benih yang digunakan untuk pertanaman produksi yang dihasilkan oleh pemulia tanaman yang selanjutnya diperbanyak dalam suatu sistem perbenihan yang baik.

Benih merupakan pembawa karakter genetik tanaman yang menentukan batas tertinggi dan potensi hasil serta dapat mempengaruhi efektifitas dari input-output pertanian. Dari semua input pertanian seperti pupuk, pestisida, herbisida dan sebagainya benih baik dan benar merupakan faktor input yang paling menentukan. Benih yang baik artinya benih yang sehat, bebas dari hama dan penyakit, sedangkan benih yang benar artinya benih yang sesuai dengan deskripsi varietasnya. Pemilihan benih dan dimana petani memproduksi benihnya (kondisi lahan dan riwayat lahan produksi) merupakan kunci utama keberhasilan usahanya.

Dalam kegiatan produksi benih hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :

Pemilihan varietas yang tepat

Untuk memproduksi benih jahe harus menggunakan benih yang jelas asal usulnya. Untuk jahe putih besar dapat menggunakan benih yang sudah dilepas (Cimanggu I) dan nomornomor harapan untuk jahe gajah seperti JPB1, JPB2, JPB3, JPB4, dan JPB6 ataupun benih unggul lokal. Untuk jahe putih kecil dapat menggunakan beberapa nomor harapan jahe putih kecil seperti JPK1, JPK2, JPK3, JPK4, JPK5 dan JPK6, sedangkan untuk jahe merah adalah JM1 dan JM2.

Teknik perbanyakan benih

Benih sumber yang disebut juga benih bina perlu diperbanyak dengan suatu faktor multiplikasi tertentu, tergantung dari produktivitas tanaman. Multiplikasi dapat dilakukan beberapa kali tergantung jumlah awal dari benih sumber. Untuk benih jahe (gajah, emprit atau merah) faktor perbanyakannya 10 – 15 kali. Sebagai contoh dari 100 kg benih sumber (benih penjenis) diperbanyak dengan tingkat multiplikasi 10 – 15 kali dapat diperoleh 1.000 – 1.500 kg benih dasar, 10.000 – 15.000 kg benih pokok dan 100.000 – 150.000 kg benih sebar. Dengan 100 – 150 ton benih sebar dapat dipergunakan untuk 50 sampai 75 hektar.

Hal yang harus diperhatikan dalam perbanyakan benih adalah:

Lahan produksi

Lahan yang akan dipergunakan harus bebas dari pencemaran penyakit tular tanah dan tular benih, bersih dari gulma serta tidak diperkenankan menanam jahe di lahan yang sama lebih dari satu kali, penggunaan lahan baru lebih disarankan. Lahan produksi dapat merupakan lahan datar lahan datar atau miring, dengan derajat kemiringan tertentu. Apakah diatas lahan produksi ada pertanaman atau lahan yang sudah tercemar oleh bakteri ?. Hal-hal tersebut perlu menjadi pertimbangan. Lingkungan tumbuh yang ideal adalah tanah yang subur, gembur, banyak mengandung bahan organik atau humus dan berdrainase baik seperti tanah Andosol, Latosol Merah coklat, asosiasi Andosol-Latosol Merah coklat, terutama pada lahan hutan yang baru dibuka, dengan pH 6,8 – 7,0. Apabila persyaratan lahan dan lingkungan produksi memenuhi persyaratan seperti tersebut diatas, seyogyanya lahan produksi dekat dengan wilayah pengembangan, agar biaya transportasi dapat dihemat dan menghindari terjadinya penularan penyakit tular benih dari daerah endemik ke bukan daerah endemik

Isolasi jarak

Isolasi jarak diperlukan untuk menghindari terjadinya penularan penyakit. Pada lahan datar dianjurkan (± 10 -100 m).

Bahan tanaman

Pada umumnya jahe diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan potongan rimpang. Rimpang yang digunakan merupakan rimpang yang sudah terpilih sejak dipertanaman, baik klon/varietasnya maupun kondisi lingkungan tempat tumbuhnya. Rimpang yang dipakai sebagai benih adalah rimpang yang sudah tua yaitu rimpang yang dipanen pada umur tanaman 9 – 10 bulan. Persyaratan rimpang yang digunakan sebagai bahan tanaman adalah :

  1. Varietas/klon benar
  2. Baik dan cukup umur ( ± 9 bulan)
  3. Bebas dari serangan hama dan penyakit tanaman
  4. Ukuran rimpang 20 – 40 g untuk jahe kecil dan 25 – 60 g untuk jahe besar
  5. Mempunyai minimal 2 mata tunas.
  6. Bernas, warna kulit rimpang mengkilap.

Sistem budidaya

Sistem budidaya seperti pengolahan tanah, waktu tanam, cara tanam dan jarak tanam, pemupukan, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit tidak berbeda dengan rekomendasi budidaya untuk tujuan konsumsi.

Jarak tanam

Jarak tanam dengan tujuan untuk menghasilkan benih dianjurkan 60 – 80 cm antar baris dan 30 – 40 cm dalam baris, sehingga dalam pembubunan tidak mengalami kesulitan.

Cara penanaman

Penanaman dapat dilakukan secara bedengan (lebar 1 m) maupun guludan disesuaikan dengan kondisi lahan. Pada lahan datar saluran drainase harus diperhatikan jangan ada genangan air pada bagian tengah bedengan/petakan.

Kedalaman tanam

Benih di tanam sedalam 3 – 7,5 cm, dan tunas jangan terbalik, karena dapat menghambat pertumbuhan tunas.

Pemeliharaan

Penyiangan gulma

Penyiangan dilakukan tiga sampai lima kali terutama pada periode kritis 3 – 6 bulan setelah tanam diharapkan tidak ada kompetisi dengan gulma. Penyiangan dilakukan secara hati-hati agar akar tanaman tidak terputus. Untuk mengurangi gangguan gulma dapat dilgunakan mulsa dari jerami sebanyak 10 ton/ha, atau sekam setebal 5 – 10 cm.

Penyulaman

Penyulaman dilakukan setelah tanaman berumur 1 – 1,5 bulan, dengan menggunakan bibit cadangan untuk memperoleh pertumbuhan yang seragam.

Pembumbunan

Pembubunan mulai dilakukan setelah tanaman membentuk rumpun dengan empat sampai lima anakan. Rimpang yang tumbuh harus selalu tertutup tanah, kalau tidak pertumbuhan rimpang akan terhenti dan rimpang rusak kulitnya.

Pemupukan

Pengapuran

Pengapuran dilakukan terutama pada tanah dengan pH dibawah normal. Untuk Jawa Barat digunakan 1 – 3 ton kaptan/ha, sedangkan di Bengkulu dapat digunakan sampai 3 ton/ha dolomit.

Pupuk dasar

Sebagai pupuk dasar digunakan pupuk kandang, TSP dan KCL. Pupuk kandang sebanyak 20 – 40 ton/ha diberikan satu sampai dua minggu sebelum tanam, TSP dan KCL diberikan pada saat tanam. Untuk jahe putih besar diberikan pupuk P: 300 kg TSP/ha, K 400 kg KCL/ha dan N: 400- 600 kg Urea/ha, Jahe putih kecil dan jahe merah 200 kg TSP/ha, 300 kg KCl/ha dan 300 kg Urea/ha.

Inspeksi lapang

Inspeksi lapang dilakukan 2 kali, pertama pada masa vegetatif (3 bulan) dan ke dua pada waktu tanaman dewasa (7 bulan). Inspeksi pertama dilakukan untuk membuang tanaman (roguing) yang off type seperti :

1. Pertumbuhan yang tidak seragam.
2. Ukuran rimpang tidak normal (terlalu kecil)
3. Terserang penyakit terutama penyakit bakteri (Rizoctonia solanacearum).
4. Terserangan hama lalat rimpang
5. Nematoda.

Inspeksi kedua ditujukan untuk melihat apakah tanaman tidak menunjukan gejala menguning karena kekeringan ataupun adanya serangan hama, nematoda ataupun patogen.

Panen

Waktu dan cara panen

Pemanenan jahe sebaiknya dilakukan setelah tanaman mengalami periode senessen (menggugurkan daun) pada umur 9 – 10 bulan. Cara menggali rimpang dengan menggunakan garpu untuk menghindari terjadinya pelukaan kulit rimpang. yang selanjutnya rimpang dibersihkan dari tanah yang masih melekat tanpa dicuci (dengan cara dikering anginkan).

Prosesing benih

Penanganan/prosesing benih di awali dengan pembersihan rimpang dari tanah yang masih melekat, dikering anginkan atau diusahakan dipanen saat tanah kering, tanpa dicuci dan dilakukan sortasi benih, pengeringan, dan penyimpanan.

Sortasi benih

Sortasi benih dilakukan untuk mendapatkan benih berupa rimpang dengan ciri-ciri antara lain :

  1. Kadar serat dan pati tinggi, yaitu apabila pada potongan melintang terlihat warnanya putih
  2. Kulit rimpang licin, mengkilap, keras dan tidak mudah terkelupas.
  3. Ukuran rimpang sedang sampai besar dan bernas
  4. Bebas dari hama dan penyakit, kulit tidak berkerut, kencang, tidak keropos dan busuk, tidak kusam kecoklatan dan nampak basah (berair).

Sortasi terakhir dilakukan sebelum benih didistribusikan, dikeluarkan/dibuang benih yang mempunyai ukuran kecil (tidak normal), kulit rusak nampak kusam akibat serangan nematode, keriput, kering dan terserang hama dan jamur gudang.

Pengeringan benih

Pengeringan benih dilakukan agar kulit rimpang mengering tetapi dalamnya masih tetap segar. Keadaan demikian diperlukan agar rimpang dapat disimpan sampai waktu tanam. Pada benih yang cukup tua (10 bulan), pengeringan dapat dilakukan pagi hari (jam 7 – 10 pagi) dengan suhu 25 – 32° C selama 3 – 4 hari. Pada benih yang masih berumur 8 bulan pengeringan cukup dilakukan selama 1 – 2 hari saja. Disamping itu juga tergantung lokasi tanam dan kondisi tanah pada saat panen. Sebagai contoh, di Bengkulu rimpang perlu dijemur 3 – 4 hari, sedangkan di Sukabumi, kalau saat panen tanah tidak basah, cukup di kering anginkan.

Penyimpanan

Penyimpanan dapat dilakukan setelah permukaan kulit mengering. Tempat penyimpanan yang baik adalah diatas rak bambu atau kayu, peti kayu, keranjang bambu atau karung yang tidak ditutup ataupun dihampar diatas lantai dengan tinggi tumpukan tidak lebih dari 50 cm. Kondisi ruang simpan harus :

a. Sirkulasi udaranya baik dengan ventilasi yang cukup,
b. Kelembaban udara 70 – 80 %,
c. Suhu ruangan berkisar 20 – 25° C,
d. Cukup cahaya,
e. Terhindar dari percikan air hujan,
f. Benih dalam tumpukan penyimpanan dapat diberi abu dapur untuk menghindari tumbuhnya jamur atau kapang.

Sanitasi

Sanitasi merupakan prasyarat utama dalam penyimpanan benih, oleh karena itu perlu mendapat perhatian, agar tidak terjadi kontaminasi (pencemaran) mikroorganisme yang merugikan atau kerusakan rimpang akibat bahan kimia yang tidak dikehendaki. Gudang penyimpanan benih jangan disatukan dengan penyimpanan pupuk, pestisida, herbisida, kandang ternak ataupun di kolong rumah yang tidak tertutup.

Distribusi/pemasaran

Pengiriman dapat dilakukan dengan menggunakan peti yang tidak rapat ataupun karung goni. Selama pengiriman jangan sampai terkena hujan, selalu diusahakan kondisinya tetap kering.

STANDAR MUTU RIMPANG

Mutu rimpang yang dijadikan benih diharapkan mempunyai standar :

  1. Benih murni, sesuai dengan
    deskripsi varietasnya
  2. Mempunyai mutu fisik yang baik (tidak keriput, panjang tunas ½ cm)
  3. Umur rimpang ± 9 bulan
  4. Bebas dari hama dan penyakit (R. solanacearum, kutu rimpang, lalat rimpang dan nematode).
  5. Kadar air rimpang 70 – 80 %.
  6. Berat rimpang 70 – 80 %
  7. Berat potongan rimpang minimal 40 g (JPB), 20 g (JPK, JM).
  8. Jumlah mata tunas minimal 2 mata tunas.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes, 1989. Vedemekum bahan Obat alami : 78 – 83.

Feistritzer, W.P. and A.F. Kelly, 1978. Improved seed production. A manual on the formulation, implementation and evaluation of seed programmes and projects. Plant production and Protection Division. F.A.O FAO Plant Production and Protection. Series. No 15.

Hadad H.E.A.. Ketahanan beberapa klon jahe terhadap penyakit busuk rimpang (Pseudomonas solanacearum) Bul. Littro (1) 54 – 58 Balittro.

Hong. T.D. and R.H. Ellis, 1996. A protocol to determine seed storage behaviour IPGRI Technical Bulletin No1. Dept. of Agric. The University of Reading, UK.

Januwati, M., Rosita, dan O. Rostiana, 1995. Petunjuk teknis penyediaan rimpang jahe. Direktorat Jenderal Perkebunan. Direktorat Bina Perbenihan.

Januwati, M dan E. Surmaini, 1997. Teknik penanganan rimpang jahe untuk benih. Prosiding Forum Konsultasi Ilmiah Perbenihan Tanaman Rempah dan Obat. Bogor, 13 – 14 Maret 1997. Badan Litbang Pertanian. Balittro.

Januwati, M. O.Rostiana, Rosita dan D. Sitepu, 1991. Pedoman pengadaan rimpang jahe bebas penyakit untuk bibit. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Badan Litbang Pertanian. Paulose, T.T., 1970. Development of ginger in India: Indian Spice 7 (2) : 2.

Purseglove, J. W., E.G. Brown, C.L. Green and S.R.J. Robbins, 1981. Spice. Longman Group Limited. London. Vol. 2. 813 hal.

Rostiana, O., A. Abdullah, Taryono dan Hadad EA, 1991. Jenis-jenis tanaman jahe. Edsus Littro VII (1) : 7 – 10. Balittro

Rostiana, O., M. Januwati, E.R. Pribadi dan M. Yusron, 2000. Budidaya tanaman jahe (Zingiber officinale Rosc). Direktorat Aneka Tanaman. Direktorat Jenderal Produksi Hortikultura dan Aneka Tanaman. Departemen Pertanian dan Kehutanan.

Sudiarto, 1978. Budidaya tanaman jahe di Indonesia dan penelitian beberapa aspek budidaya. LPTI Bogor. 17 hal.

Yuliani, S. dan Risfaheri, 1990. Identifikasi berbagai klon minyak jahe. Balai Penel. Tan. Rempah dan Obat V (2) : 65 – 72 Balittro.

Yuliani, S., Hernani dan Anggraeni, 1991. Aspek pasca panen jahe. Edisi Khusus Littro. VII (1): 30 – 37.

Wahid, P., 1997. Konsep pemikiran sistem perbenihan jambu mente dan jahe di Indonesia. Prosiding Forum Konsultasi Ilmiah Perbenihan Tanaman Rempah dan Obat. Bogor, 13 – 14 Maret 1997. Badan Litbang Pertanian Balittro.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.