Minyak Atsiri Indonesia

Endang Hadipoentyanti dkk.

PERAKITAN VARIETAS UNTUK KETAHANAN NILAM TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI

Endang Hadipoentyanti, Amalia, Nursalam, Sri Yuni Hartati dan Sri Suhesti

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

ABSTRAK

Masalah utama yang dihadapi nilam di Indonesia adalah penyakit layu bakteri, yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum.Kerugian akibat penyakit tersebut diperkirakan sebesar 60-90%. Sampai saat ini belum ada varietas yang tahan terhadap penyakit layu bakteri. Ketersediaan sumber genetik merupakan faktor pembatas dalam pemuliaan tanaman nilam karena tanaman nilam tidak berbunga/berbiji dan selalu diperbanyak secara vegetatif dengan setek. Salah satu upaya yang efektif untuk mengatasi masalah penyakit layu bakteri adalah menggunakan varietas yang toleran atau tahan peyakit layu bakteri. Untuk merakit varietas tahan penyakit layu bakteri nilam, dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan yang bertahap, salah satunya yaitu dengan cara induksi mutasi in vitro dan irradiasi yang memanfaatkan variasi somaklonal. Tahap awal dilakukan penelitian untuk induksi kalus dan tunas serta diirradiasi untuk meningkatkan keragaman genetik. Hasil dari variasi somaklonal tersebut yang akan diuji ditingkat laboratorium dengan menginokulasikan suspensi bakteri R. Solanacearum yang untuk selanjutnya akan diuji ditingkat rumah kaca dan lapang di daerah endemik penyakit layu bakteri. Beberapa hasil yang telah dicapai adalah menginduksi kalus dan tunas serta iradiasi, kalus dan tunas yang tahan R. Solanacearum di laboratorium.

Kata kunci : Induksi kalus, irradiasi, penyakit layu bakteri, Pogostemon cablin Benth, tahan, tunas in vitro.

PENDAHULUAN

Tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth), merupakan salah satu tanaman aromatik yang menghasilkan minyak atsiri yang dalam perdagangan minyak nilam disebut Patchouli oil. Minyak ini banyak dibutuhkan dalam berbagai industri kimia, parfum, kosmetik dan juga dimanfaatkan untuk pengobatan kesehatan dan perawatan tubuh sebagai aromaterapi (Rosman, 2004; Hadipoentyanti et la., 2006). Minyak nilam ini belum ada substitusinya, bersifat fixative, dapat mengikat minyak atsiri lainnya (Ibnusantoso, 2000; Nuryani, 2006).

Balittro memiliki + 30 aksesi plasma nutfah nilam yang terkoleksi di kebun dan 3 varietas unggul nilam telah dilepas tahun 2005 yaitu varietas Tapak Tuan, Sidikalang dan Lhokseumawe yang unggul dalam produksi minyak (290 – 375 kg/ha) dengan kadar patchouli alkohol 32-33% (Nuryani, 2006).

Masalah utama dalam budidaya nilam di Indonesia adalah penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum (Nasrun et al., 2004). Penyakit ini menimbulkan kerugian sebesar 60-95 % di daerah sentra produksi nilam di Sumatra dan Jawa. Sampai saat ini belum ada varietas yang toleran atau tahan terhadap penyakit layu bakteri. Keterbatasan sumber genetik merupakan faktor pembatas dalam program pemuliaan nilam untuk memilih varietas yang dikehendaki. Sempitnya keragaman genetik nilam ini disebabkan tanaman tidak berbunga/berbiji dan perbanyakannya selalu dilakukan secara vegetatif dengan cara setek.

Penggunaan pestisida sintetik dalam pengendalian penyakit tersebut, selain harganya mahal dan berdampak terhadap pencemaran lingkungan karena residu.

Salah satu upaya yang efektif dalam rangka perakitan varietas untuk ketahanan nilam terhadap penyakit layu bakteri adalah dengan varietas yang toleran atau tahan penyakit layu bakteri, yang dapat dilakukan dengan cara peningkatan keragaman genetik yaitu cara induksi mutasi in vitro yang memanfaatkan variasi somaklonal.

Mutasi secara spesifik untuk ketahanan terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri dapat diperoleh dengan induksi mutasi in vitro. Mutasi secara in vitro menyebabkan variasi somaklonal yang mungkin terjadi karena perubahan pada struktur maupun jumlah kromosom, mutasi titik, rekombinan secara mitosis dan amplifikasi, transposisi atau induksi dari DNA pada genom dari inti sel, mitochondria atau kloroplas (Van der Bulk, 1991). Perubahan molekul atau kromosom ini dapat menghasilkan perubahan yang stabil dan dapat diturunkan.Induksi mutasi in vitro atau variasi somaklonal merupakan cara yang efektif untuk tanaman yang diperbanyak secara vegetatif atau tanaman yang keragamannya sempit. (Maluszynki et al. 1195; Ahloowalia et al., 1997), seperti pada Nilam. Peningkatan variasi somaklonal secara in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan zat pengatur tumbuh dengan aktivitas yang kuat. Keuntungan menggunakan variasi somaklonal antara lain adanya perubahan gen baru yang dihasilkan yang dapat diperoleh dari varietas yang sudah unggul (Skirvin et al., 1994).

Mutasi secara spesifik untuk ketahanan terhadap penyakit yang disebabkan oleh jamur atau bakteri dapat diperoleh melalui induksi dan seleksi kalus in vitro. Cara ini cukup efektif dalam menghasilkan variasi somaklonal yang tahan penyakit (Hartman et al., 1984 dan Wenzel et al., 1987). Aplikasi variasi somaklonal ini telah berhasil pada tanaman kentang untuk sifat ketahanan early blight (Alternaria solani) dan late blight (Phytopthora infestans) (Marten et al., 1978 dan Shepard et al., 1980 dalam Semd and Lepoivre, 1990).

Perbanyakan in vitro tanaman dapat dilakukan dengan embriogenesis somatik. Embriogenesis somatik merupakan proses dimana sel-sel somatik berkembang membentuk tanaman baru melalui fusigamet. Embriogenesis dapat terjadi secara langsung yaitu jika sel embriogenik berkembang langsung dari eksplan atau secara tidak langsung yaitu jika sel non embriogenik dan tidak terorganisasi antara jaringan eksplan yang terdeferensiasi dengan struktur embriogenik terbentuk dari kalus. Embriogenesis sering digunakan untuk menghasilkan varietas baru. Regenerasi melalui embriogenesis somaklonal memberi banyak keuntungan antara lain (!) waktu perbanyakan lebih cepat (2) pencapaian hasil dalam program perbaikan tanaman lebih cepat dan (3) jumlah benih yang dihasilkan tidak terbatas (Dublin, 1981); Mariska, 1996).

Menurut Wattimena (1988) zat pengatur 2,4 D (2,4 Dichlorophenoxy Acetic Acid) auxin yang paling umum digunakan untuk menginduksi embriogenesis somatik. Selain auxin zat pengatur tumbuh sitokinin juga berpengaruh terhadap diferensiasi sel dalam proses embriogenesis somatik seperti BAP (6-Benzyl Amino Purin) dan BA (Benzyl Adenin).

Untuk meningkatkan keragaman genetik melalui kultur sel, tahap awal yang diperlukan adalah induksi kalus dari jaringan tanaman (eksplan) dan induksi (regenerasi) tunas. Banyak faktor yang menentukan keberhasilan kultur sel, antara lain pengaruh zat pengatur tumbuh auksin (2,4 D) dan sitokinin (BAP) dalam medium tumbuh. Kombinasi dan keseimbangan zat pengatur tumbuh yang tepat akan mempengaruhi kecepatan pembentukan kalus dan tunas.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh zat pengatur tumbuh auksin (2,4 D) dan sitokinin (BAP) terhadap pembentukan kalus dan tunas jaringan tanaman (daun) nilam dalam kultur in vitro.

BAHAN DAN METODE

Penelitian tahap awal untuk perakitan varietas untuk ketahanan nilam terhadap penyakit layu bakteri ini dilakukan di laboratorium Kultur Jaringan, Balittro, Bogor, mulai Januari 2007-Juli 2008. Eksplan yang digunakan adalah daun muda dari varietas Sidikalang yang berasal dari rumah kaca Balittro, Bogor.

Penelitian ini terdiri dari 2 tahap penelitian yaitu: 1) induksi kalus dan tunas yang akan digunakan sebagai bahan untuk perakitan varietas toleran atau tahan; 2). Irradiasi kalus dan tunas untuk induksi mutasi dalam meningkatkan keragaman genetik yang kemudian diinokulasi dengan filtrat dan suspensi bakteri R. solanacearum.

Tahap 1:

Media yang digunakan untuk induksi kalus dan tunas adalah media dasar Murashige dan Skoog (MS) dibuat padat dengan menambah agar 8 g/l. Perlakuan yang diberikan adalah media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4 D pada konsentrasi (0; 0,1; 0,5 dan 1 mg/l) dan BAP pada konsentrasi (0; 0,1; 0,5 dan 1 mg/l) yang dilakukan secara tunggal dan kombinasi. Eksplan diinkubasikan dalam ruang dengan intensitas 1000 – 1500 lux selama 16 jam dalam sehari. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap, masing-masing 4 perlakuan pada penambahan zat pengatur tumbuh tunggal 2,4 D + BAP masing-masing 6 ulangan. Masing-masing perlakuan terdiri atas 10 botol kultur dan masing-masing perlakuan botol terdiri atas 3 potong eksplan daun muda (0,7 x 0,7) cm. Parameter yang diamati untuk induksi kalus adalah waktu inisiasi tunas dan struktur kalus, sedang untuk induksi tunas adalah waktu inisiasi tunas, jumlah tunas dan warna tunas.

Tahap 2:

Inokulasi filtrat R. Solanacearum untuk induksi kalus dan tunas (plantlet) menggunakan media terbaik yang diberi perlakuan filtrat R. solanacerum dengan 4 konsentrasi (kontrol, 104, 105, 106 dan 107 sel/ml). Dengan kode perlakuan sebagai berikut:

Perlakuan untuk kalus (k):

Ak = Media tanpa filtrat R. solanacearum (kontrol)
Bk = Media dengan filtrat R. solanacearum 104 sel/ml.
Ck = Media dengan filtrat R. solanacearum 105 sel/ml.
Dk = Media dengan filtrat R. solanacearum 106 sel/ml.
Ek = Media dengan filtrat R. solanacearum 107 sel/ml.

Perlakuan untuk tunas/plantlet (t):

At = Media tanpa filtrat R. solanacearum (kontrol)
Bt = Media dengan filtrat R. solanacearum 104 sel/ml.
Ct = Media dengan filtrat R. solanacearum 105 sel/ml.
Dt = Media dengan filtrat R. solanacearum 106 sel/ml.
Et = Media dengan filtrat R. solanacearum 107 sel/ml.

Inokulasi toksin (suspensi) R. solanacearum untuk induksi kalus dan tunas (plantlet) menggunakan media terbaik yang ditambah dengan suspensi R. solanacearum dengan 5 konsentrasi (kontrol, 104, 105, 106, 107dan 108 sel/ml). Dengan kode perlakuan sebagai berikut:

Perlakuan untuk kalus (k):

Ak = Media tanpa suspensi R. solanacearum (kontrol)
Bk = Media dengan suspensi R. solanacearum 104 sel/ml.
Ck = Media dengan suspensi R. solanacearum 105 sel/ml.
Dk = Media dengan suspensi R. solanacearum 106 sel/ml.
Ek = Media dengan suspensi R. solanacearum 107 sel/ml.
Fk = Media dengan suspensi R. solanacearum 108 sel/ml.

Perlakuan untuk tunas/plantlet (t):

At = Media tanpa suspensi R. solanacearum (kontrol)
Bt = Media dengan suspensi R. solanacearum 104 sel/ml.
Ct = Media dengan suspensi R. solanacearum 105 sel/ml.
Dt = Media dengan suspensi R. solanacearum 106 sel/ml.
Et = Media dengan suspensi R. solanacearum 107 sel/ml.
Fk = Media dengan suspensi R. solanacearum 108 sel/ml.

Pemberian filtrat dan suspensi bakteri dilakukan di laminar air flow pada media kalus dan tunas yang telah disiapkan terlebih dahulu. Media yang telah mengandung filtrat atau toksin (suspensi) R. solanacearum akan digunakan sebagai media kultur kalus dan tunas (plantlet) untuk seleksi in vitro.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) masing-masing perlakuan terdiri 5-10 botol dan masing-masing botol terdiri dari 2 potong kalus dan 3-5 tunas (plantlet). Botol yang sudah ditanami kalus dan tunas (plantlet) selanjutnya diletakkan dalam ruang kultur (ruang inkubasi). Pengamatan dilakukan terhadap penampakan kultur secara visual, kalus dan tunas (plantlet) yang hidup dan mati, warna kalus dan tunas (plantlet) serta pertumbuhan kalus dan tunas (plantlet).

Persentase kalus dan tunas (plantlet) yang hidup dihitung dengan rumus sebagai berikut:

00

HASIL DAN PEMBAHASANInduksi kalus dilakukan dengan menggunakan eksplan potongan daun muda dari tanaman Nilam varietas Sidikalang. Menurut Gunawan (1988) kalus adalah suatu kumpulan sel yang tidak beraturan yang terjadi dari sel-sel yang membelah diri secara terus-menerus. Hasil pengamatan dan analisis data memperlihatkan bahwa induksi kalus pada media MS (Murashige dan Skoog) dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4 D dan kombinasi 2,4 D dengan BAP adalah berbeda. Pengaruh penambahan sitokinin (BAP) mempercepat pembentukan kalus dibanding dengan auksin (2,4 D) (Tabel 1 dan 2).

Pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa penambahan zat pengatur 2,4 D pada semua konsentrasi dapat menginduksi kalus dibanding dengan tanpa zat pengatur tumbuh. Diameter kalus terbesar diperoleh pada konsentrasi 0,1 mg/l 2,4 D sebesar 1,37 cm, sedang pada konsentrasi 0,5 mg/l dan 1 mg/l tidak berpengaruh nyata, masing-masing sebesar 1,08 cm dan 0,98 cm (Gambar 1). Makin tinggi konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan, induksi kalus makin terhambat. 2,4 D merupakan zat pengatur tumbuh dari golongan auksin yang dapat menyebabkan pembesaran sel dalam jaringan dan merangsang pembentukan kalus. Penggunaan 2,4 D konsentrasi rendah akan lebih baik dalam menginduksi kalus dibanding konsentrasi tinggi (Nezbedova et al. Dalam Syahid, FS dan Hernani, 2001). Penambahan konsentrasi tinggi dapat menghambat pertumbuhan sel (Gunawan, 1992). Warna kalus dan sifat kalus adalah putih kecoklatan dengan massa kalus yang remah. Waktu yang dibutuhkan untuk induksi kalus pada konsentrasi 0,1 mg/l 2,4D juga lebih cepat (45 hari) dibandingkan dengan konsentrasi yang lain,sedangkan pada kontrol sampai pada hari yang ke 50 (pada pengamatan terakhir) tidak terbentuk kalus.

0g1

Gambar 1. Induksi kalus pad media MS dengan zpt tunggal (A) konsentrasi 0,1 mg/l 2,4 D (terbaik), (B) konsentrasi 0,5 mg/l 2,4 D, (C) konsentrasi 1 mg/l 2,4 D

Pengaruh penambahan zat pengatur tumbuh kombinasi antara 2,4 D dengan BAP untuk induksi kalus dapat dilihat pada Tabel 2.

0t2

Pada tabel 2 memperlihatkan bahwa penambahan zat pengatur tumbuh yang dikombinasikan antara 2,4 D dan BAP lebih baik dibanding dengan pemberian zat pengatur tumbuh tunggal. Wareing dan Philips 91981) menyebutkan beberapa macam zat pengatur tumbuh yang diberikan bersama dapat menimbulkan interaksi yaitu pengaruh kerja sama yang lebih baik terhadap pertumbuhan dan perkembangan dibanding apabila digunakan secara tunggal.Kombinasi antara 2,4 D dan BAP pada semua perlakuan konsentrasi, tidak menghasilkan tunas sama sekali (Tabel 2) tetapi lebih mendorong pembentukan kalus dibekas potongan eksplan daun muda yang mengarah ke proses dediferensiasi. Penambahan konsentrasi 0,1 mg/l 2,4 D + 0,1 mg/l BAP merupakan perlakuan yang terbaik untuk induksi kalus dengan diameter kalus 1,98 cm, diikuti oleh konsentrasi 0,1 mg/l 2,4 D + 0,5 mg/l BAP dan 0,1 mg/l 2,4 D + 1 mg/l BAP dengan diameter kalus masing-masing 1,65 cm dan 1,29 cm (Gambar 2).Gambar 2. Induksi kalus pad media MS dengan kombinasi zpt (A) konsentrasi 0,1 mg/l 2,4 D + 0,1 mg/l BAP (terbaik), (B) konsentrasi 0,1 mg/l 2,4 D + 0,5 mg/l BAP, (C) konsentrasi 0,1 mg/l 2,4 D + 1 mg/l BAP

Pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh 2,4 D dan BAP pada semua konsentrasi juga memperlihatkan adanya pertumbuhan kalus baik sebelum dan sesudah disubkultur, dengan diameter kalus yang berbeda nyata kecuali penambahan 0,5 mg/l 2,4 D + 1 mg/l BAP dan 1 mg/l 2,4 D + 0,1 mg/l BAP tidak berpengaruh nyata. Penelitian Hadipoentyanti dan Kurniawati (2004) menunjukkan bahwa kombinsi 2,4 D dan BAP dapat merangsang pembentukan kalus pada eksplan daun mentha dengan konsentrasi seimbang 0,1 mg/l. Tetapi pada penelitian Tjandra (2000) pemberian konsentrasi 2,4 D yang lebih tinggi dari BAP menyebabkan pembentukan kalus lebih dominan, karena auksin dapat menginduksi kalus pada konsentrasi tinggi. Induksi kalus dari hipokotil dan daun Withania somnifera (L). DUNAL menggunakan media MS dengan penambahan 2 mg/l 2,4 D + 0,2 mg/l BAP memperlihatkan pertumbuhan kalus 100% (Rani dan Najpal, 203). Warna kalus dan struktur kalus pada semua kombinasi 2,4 D + 0,2 mg/l BAP berwarna putih dengan struktur remah.

Untuk induksi tunas diberikan penambahan zat pengatur tumbuh BAP yang hasilnya seperti pada tabel 3.

0t3

Pada tabel 3 terlihat pada pemberian zat pengatur tumbuh BAP terbentuk tunas. BAP merupakan zat pengatur tumbuh sitokinin yang berpengaruh pada proses proliferase tunas, pemecah dormansi, dapat meningkatkan pembelahan sel, tetapi menghambat pembentuk akar (Gunawan, 1999; Tjandra, 2000). Media MS dengan penambahan konsentrasi 0,5 mg/l merupakan media terbaik untuk induksi tunas dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Waktu induksi tunas 21 hari setelah dikultur jumlah tunas 40,10 dengan warna tunas hijau (Gambar 3). Pemberian BA konsentrasi 0,1 mg/l tidak berpengaruh nyata dibandingkan dengan kontrol.Gambar 3. Induksi kalus pada media MS dengan zat pengatur tumbuh tunggal BAP (A) konsentrasi 0,5 mg/l BAP (terbaik). (B) konsentrasi 0,1 mg/l BAP (C) konsentrasi 1,0 mg/l BAP dan (D) kontrol

Hasil irradiasi kalus dan tunas untuk induksi mutasi dalam meningkatkan keragaman genetik yang diinokulasi dengan filtrat dan suspensi bakteri R. Solanacearum adalah sebagai berikut:

0t4

Dari Tabel 4 terlihat bahwa irradiasi berpengaruh terhadap persentase kalus yang hidup. Semakin tinggi dosis irradiasi maka persentase kalus yang hidup semakin rendah. Hal ini dapat dimengerti bahwa semakin tinggi dosis irradiasi maka kemungkinan terjadi perubahan/mutasi, sehingga sel-sel rusak. Van der Bulk (1991) menyebutkan bahwa mutasi in vitro menyebabkan variasi somaklonal yang mungkin terjadi karena perubahan pada struktur maupun jumlah khromosom, mutasi titik dan transposisi dari DNA dan lain-lain. Tetapi lain halnya setelah kalus diirradiasi dan diinokulasi filtrat R. solanacearum dengan 4 konsentrasi 104, 105, 106, 107sel/ml ternyata persentase kalus yang hidup bervariasi dari 50-96%. Namun semakin tinggi konsentrasi filtrat yang diberikan persentase kalus yang hidup semakin kecil. Hal ini disebabkan karena kalus bersifat embrionik sehingga kurang respon terhadap filtrat. Dosis optimum yang memberikan persentase kalus yang hidup tinggi ialah dosis 2,5 Krad.

Dari Tabel 5 terlihat bahwa irradiasi berpengaruh terhadap persentase tunas yang hidup. Seperti halnya pada kalus, persentase tunas yang hidup semakin rendah seiring dengan semakin tinggi dosis irradiasi. Prasetyorini (1991), menyatakan bahwa setiap sel meristem yang terdapat dalam eksplan yang digunakan mempunyai potensi untuk membentuk tunas baru. Namun pemberian radiasi dapat menyebabkan perubahan fisiologis dari sel-sel tersebut yang perubahannya tergantung dari radiosensitivitas sel-sel meristem penyusun eksplan tersebut. Sehingga hal ini akan menimbulkan perubahan potensi sel didalam jaringan eksplan sel untuk membentuk tunas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moore (1979) yang menyatakan bahwa kerusakan seluler pada sel meristem akibat radiasi menyebabkan sistem enzim Indolacetaldehyde dehydrogenase yang sangat radiosensitif terhambat aktivitasnya. Akibatnya pembentukan IAA terganggu, sehingga menghambat pertumbuhan tunas. Tetapi lain halnya setelah tunas diradiasi dan diberikan inokulasi filtrat R. solanacearum dengan 4 konsentrasi 104, 105, 106, 107sel/ml ternyata persentase kalus yang hidup bervariasi antara 20-90% tetapi dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi filtrat yang diberikan persentase tunas yang hidup semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena tunas merupakan bagian tanaman yang telah mampu melakukan fotosintesis, sehingga dengan semakin tinggi penambahan filtrat maka akan memacu pertumbuhan tunas. Dosis optimum yang memberikan persentase tunas yang hidup tinggi ialah dosis 3 Krad.

0t6

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa pemberian suspensi R. solanacearum dari konsentrasi 104 sel/ml sampai 108 sel/ml menyebabkan kalus mati baik pada perlakuan dosis irradiasi 0 krad sampai 6 krad. Pada kontrol, persentase kalus yang hidup bervariasi antara 10-90%, persentase kalus yang hidup tergantung pada dosis irradiasi, semakin tinggi dosis radiasi yang diberikan, persentase kalus yang hidup semakin rendah.

Dari Tabel 7 terlihat bahwa irradiasi berpengaruh terhadap persentase tunas yang hidup. Setelah tunas diradiasi dan diinokulasi dengan suspensi R. solanacearum dengan 5 konsentrasi 104, 105, 106, 107, 108sel/ml ternyata persentase tunas yang hidup bervariasi antara 5-100%. Semakin tinggi konsentrasi suspensi R. solanacearum maka tunas yang hidup akan semakin rendah, tetapi pada dosis irradiasi 3 krad persentase tunas yang hidup bervariasi pada semua perlakuan suspensi. Hal ini menunjukkan bahwa pada perlakuan irradiasi 3 krad menyebabkan terjadinya variasi somaklonal pada tunas.

KESIMPULAN

  1. Induksi kalus terbaik pada media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh tunggal 2,4
    D konsentrasi 0,1 mg/l. Diameter kalus 1,37 cm, warna kalus putih kecoklatan dan struktur
    kalus remah.
  2. Induksi kalus terbaik pada media MS dengan kombinasi zat pengatur tumbuh 0,1 mg/l 2,4 D + 0,1 mg/l BAP dengan diameter kalus 1,98 cm, warna kalus putih kehijauan dan struktur kalus remah.
  3. Induksi tunas terbaik pada media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh tunggal BAP konsentrasi 0,5 mg/l, dengan jumlah tunas 40,10 dan berwarna hijau.
  4. Dosis irradiasi berpengaruh terhadap kalus dan tunas, semakin tinggi dosis iradiasi semakin banyak kalus dan tunas yang terhambat pertumbuhan serta perkembangan.
  5. Induksi mutasi in vitro dan irradiasi dosis 2,5 krad menghasilkan kalus yang tahan setelah diinokulasi dengan filtrat R. solanacearum , sedang irradiasi dosis 3 krad menghasilkan tunas yang tahansetelah diinokulasi dengan filtrat R. solanacearum.
  6. Induksi mutasi in vitro dan irradiasi pada semua dosis irradiasi, menghasilkan kalus yang tidak tahan setelah diinokulasi dengan suspensi R. solanacearum sedang irradiasi dosis 3 krad menghsilkan tunas yang tahan setelah diinokulasi dengan suspensi R. solanacearum.

DAFTAR PUSTAKA

Boertjes, C. and A.A. Van-Harten. 1978. Application of Mutation Breeding Methods in the Improvement of Vegetatively Propagated Crops. Elsevier Scientific Publishing Co. New York. P. 11-18.

PS, 2005. Statistik Perdagangan Luar Negeri. Ekspor. Jakarta.

Ditjen Perkebunan, 2006. Nilam. Statistik Perkebunan Indonesia. 2003-2006. 19 hal.

Dublin, P. 1981. Embryogenesis Somatique. Directesur Fragments de Feulles de Cafeier Arabusta. The Cafe Cacao. 25 (4): 237-242.

Hadipoentyanti, E dan M. Kurniawati. 2004. Pengaruh 2,4 D, BAP dan Kinetin untuk Induksi Kalus dan Tunas Mentha arvensis L. Var. Tempaku. Unpublished, 20 h.

Hadipoentyanti, E., Ma’mun, S. Rusli dan M. Syakir, 2006. Prospek Pengembangan Beberapa Jenis Minyak Atsiri Baru dan Potensi Pasar. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri. 2006. Solo. 18-20 September 2006. vol 2.22 h.

Hadipoentyanti, E., N. Ajijah dan D. Seswita. 2001. Seleksi Ketahanan Kalus Panili secara in vitro terhadap Ekstrak Toksin Fusarium oxysporum f. Sp. vanillae. Pros. Kongres IV dan Simposium Nasional PERIPI. Yogyakarta. 23-24 Oktober. 521-527.

Hartman, C.L., T.J. Mc. Roy, T.R. Knons. 1984. Selection of Alfaalfa (Medicago sativa) Cell Lines and Regeneration of Plants Resistant to The Toxin (s) Produced by Fusarium oxyspoorum sp. Medicaginis. Plant Science Letter. 34: 183- 194.

Maluszynki, M, B.S. Ahloowalia and B. Sigurbjornsson. 1995. Application of in vivo and in vitro mutation techniques for crop improvement. Euphytica 85: 303-315.

Mariska, I dan Hobir. 1998. Peningkatan Keragaman Genetik Tanaman melalui Metode in vitro. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. XVII (4): 115-121.

Marks, T.R and S.E. Simpson. 1999. Efect of Irradiance on Shoot Development in vitro. Plant Growth Regulation 28: 133-142.

Moore, T.C. 1979. Biochemistry and Physiology of Plant Hormones. Springer-Verlag. New York.

Nasrun, Y. Nuryani, Hobir dan Repianyo, 2004. Seleksi Ketahanan Nilam terhadap Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum). Secara inplanta. Journal Stigma XII (4): 421-473.

Nuryani, Hobir, Cheppy Syukur dan Ika Mustika, 2004. Usulan Pelepasan Varietas Nilam. 22 hal (tidak dipublikasikan).

Nuryani, Y, 2006. Budidaya Tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth.). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, 23 h.

Prasetyorini, 1991. Pengaruh Radiasi Sinar Gamma dan Jenis Eksplan terhadap Keragaman Somaklonal pada Tanaman Gerbera (Gerbera jamesonii Bolus ex Hook). Tesis Pasca Sarjana IPB. Bogor

Rani, G., G.S. Virt and Avinash Najpal. 2003. Callus Induction and Plantlet Regeneration in Withania somnifera (L) DUNAL. In vitro cell, Society for in vitro Biology. P 468-473.

Skirvin, R.M., D. Kenneth, Mc. Pheeters and M. Norton. 1994. Sources and Frequency of Somaclonal Variation. Hort. Science 29(11): 1232-1238.

Tjandra, A. 2000. Pengaruh Konsentrasi BAP dan Calsium Panthothenate terhadap Calla lily (Zantedeschia rehmanii) secara in vitro dan Presentase Tumbuh Plantlet di Lapangan. Skripsi Fakultas Pertanian IPB. Bogor. H. 21-25.

Vajrabhaya, T., 1977. Variation in Clonal Propagated Crops in: Orchids Biology. Edited. By: J. arditti. Cornell university Press. Ithaca and London. 176-196.

Van der Bulk, R.W., 1991. Application of cell and tissue culture and in vitro selection for Disease Resistance, Breeding and Review. Euphytica 56: 269-285.

Wenzel, G., M. Bolik, S. Deimling, S.C. Debnath, B. Foroughiwher and R. Schuchman. 1987.

Breeding for Disease Resistant Crops by Cell Culture Techniques. In: Proc. 6th. Int. Cong. Plant. Tiss. Cell cult. Allan R. Liss. Inc. New York. 343-358.

Wattimena, G.A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. H.5-18.

1 Comment »

  1. thank’s for sharing. semoga kita tetap bisa menjalin kerjasama dalam mengembangkan industri atsiri yang ramah lingkungan.

    Comment by suwandi — September 7, 2009 @ 2:11 am


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.