Minyak Atsiri Indonesia

Ekwasita Rini Pribadi dan Mono Rahardjo

KAJIAN EKONOMI BUDIDAYA ORGANIK DAN KONVENSIONAL PADA 3 NOMOR HARAPAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorhiza Roxb)

Ekwasita Rini Pribadi dan Mono Rahardjo;  Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

Bul. Littro. Vol. XVIII No. 1, 2007, 73 – 85

ABSTRAK

Semua varietas tanaman mempunyai spesifik karakter terhadap adaptasi lingkungan tumbuh dan input yang diberikan dan akan berpengaruh terhadap produksi serta pendapatan usahatani. Tujuan penelitian ini mengkaji nilai ekonomi budidaya organik dan konvensional dari tiga nomor harapan temulawak. Informasi ini diharapkan akan menjadi acuan dalam pengembangan budidaya temulawak. Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terbagi dan diulang 4 kali. Petak utama terdiri dari dua paket pemupukan; 1) budidaya organik dan 2) budidaya konvensional. Sedangkan anak petak terdiri dari 3 nomor harapan temulawak yaitu, Balittro 1, Balittro 2, dan Balittro 3. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan (KP) Sukamulya, sejak Agustus 2005 sampai Oktober 2006. Ukuran petak percobaan 30 m2, dengan jarak tanam 75 cm x 50 cm dan setiap petak terdapat 80 tanaman. Paket budidaya organik terdiri dari; bokashi 10 t/ha, pupuk bio 90 kg/ ha, zeolit 300 kg/ha, dan pupuk fosfat alam 300 kg/ha, sedangkan paket budidaya konvensional; pupuk kandang kotoran sapi 20 t/ha, urea 200 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 200 kg/ha. Data yang dikumpulkan adalah input-output dari setiap paket percobaan, data dianalisis secara deskriptif dan kelayakan usahatani. Hasil penelitian menunjukkan : (1) Produksi rimpang segar dan simplisia temulawak pada budidaya konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan produksi budidaya organik. (2) Produktivitas temulawak budidaya organik 15,20 – 17,83 ton/ha, produksi tertinggi pada nomor harapan Balittro 3 (17,83 ton/ha rimpang dan 3,57 ton/ ha simplisia). Produksi rimpang segar dan simplisia temulawak pada budidaya konvensional masing-masing berkisar 19,64 – 22,31 ton/ha dan 3,93 – 4,46 ton/ha, produksi tertinggi dicapai nomor harapan Balittro 2. (3) pada harga jual Rp 1.500,-/kg rimpang, budidaya organik tidak layak diusahakan pada semua nomor harapan temulawak Balittro 1, 2, dan 3. (4) Harga pokok temulawak budidaya organik adalah Rp 1.726,-/kg untuk rimpang, Rp 19.805,-/kg untuk simplisia, dan Rp 163.179,-/kg untuk ekstrak. Sedangkan pada budidaya konvensional, harga pokok Rp 1.471,-/kg untuk rimpang, Rp 18.531,-/kg simplisia, dan Rp 155.046,-/kg ekstrak, (5) dengan harga jual Rp 1.500,-/kg rimpang, budidaya konvensional pada nomor harapan Balittro 2 dan 3, layak diusahakan, dengan pendapatan bersih per 1.000 m2 lahan masing-masing Rp 228.750,- dan 78.750,- dengan B/C rasio 1,073 dan 1,026, (6) bila diproduksi dalam bentuk simplisia dan ekstrak dengan harga jual Rp 20.000,-/kg dan Rp 174.000,-/kg budidaya organik nomor harapan Balittro 1 dan 2, serta budidaya konvensional nomor harapan Balittro 1, 2, dan3 layak diusahakan. Pendapatan tertinggi dari budidaya konvensional nomor harapan Balittro 2 dengan pendapatan bersih per 1.000 m2 lahan sebesar Rp 819.965,- dan B/C rasio 1,101 untuk simplisia dan Rp 2.747.516,- dan B/C rasio 1,226 untuk rimpang.

Kata kunci : Curcuma xanthorhiza Roxb, kajian ekonomi, budidaya, nomor harapan

ABSTRACT

Economic Analysis of Organic and Conventional Cultivation of Three Promising Lines of Javanese Turmeric (Curcuma xanthorriza Roxb.)

All of plant have specific character in adaptation to environment and input of production that will be expressed to production and income of farming system. The objective of the research was to find out economic aspect the effect of organic and conventional cultivation of three promising lines of Java Ekwasita Rini Pribadi et al. : Kajian Ekonomi Budidaya Organik dan Konvensional pada 3 Nomor Harapan Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb) 74 nese turmeric (Curcuma xanthorriza Roxb.). This information expected will be recommended in the development of Javanese turmeric cultivation. The research was conducted in Sukamulya Experimental Station from August 2005 until October 2006. The size of experimental plot was 30 m2, and the line spacing was 75 cm x 50 cm and every experimental plot consisted 80 plants. The experiment was designed in Split Plot Designed with 4 replications. The main plots were two treatments of organic and conventional cultivation. In Organic cultivation fertilizer application was 10 t bokashi + 90 kg bio fertilizer + 300 kg zeolit + 300 kg rock phosphate/ha and the treatment of conventional cultivation was 20 t dung manure + 200 kg Urea + 200 kg SP-36 + 200 kg kg/ha. The data collected were input-output of farming system. Farming efficiency was analyzed using descriptive analysis and B/C ratio. The results showed that : (1) Javanese tumeric conventional cultivation produced rhizome and simplisia higher than production of rhizome and simplisia in organic cultivation, the production were 15.20 – 17.83 ton/ha and 3.04 – 3.57 ton/ha, the highest production was promissing line of Balittro 3 (17.83 ton/ha and 3.57 ton/ha), (2) the production of rhizome and simplisia in con-ventional cultivation were 19.64 – 22.31 ton/ ha and 3.93 – 4.46 ton/ha, the highest produc-tion was promissing line Balittro 2, (3) If price of the rhizome was Rp 1,500,-/kg the organic cultivation, that produced rhizome, was not promissing to be develop for all promissing lines of Balittro 1, 2 and 3 due to net income that was negatif and B/C ratio lower than 1, (4) Floor price of Java turmeric in organic cultivation was Rp 1,726,-/kg for rhizome, Rp 19,805,-/kg for simplisia, and Rp 163,179,-/kg for extract. Than in conventional cultivation floor price was Rp 1,471,-/kg for rhizome, Rp 18,531,-/kg for simplisia, and Rp 155,046,-/kg for extract, (5) If price of rhizome Rp 1,500,-/kg, the cultivation of javanese turmeric that promissing to developt was conventional cultivation promissing lines Balittro 2 and 3, that gave net income per 1,000 m2 area were Rp 228,750,- and 78,750,-, the B/C ratio 1.073 dan 1.026, (6) If javanese turmeric was produced in kind of simplisia and extract that price were Rp 20,000,-/kg and Rp 174,.000,- /kg, organic cultivation promissing lines Balittro 1 and 2, and conventional cultivation promissing lines Balittro 1, 2, and 3 promissing to develop. The highest net income was gained by conventional cultivation of promissing line Balittro 2, the net income was Rp 819,965,- and Rp 2,747,516,-. The B/C ratio was 1.101 and 1.226 per 1,000 m2 area.

Key words : Curcuma xanthorhiza Roxb, economic analysis, cultivation promising lines

PENDAHULUAN

Temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb) merupakan tanaman obat asli Indonesia (Prana, 1985), disebut juga Curcuma javanica (Badan POM, 2004). Sebagai bahan baku obat, jumlah kebutuhan temulawak untuk Industri Obat Tradisional dan Industri Kecil Obat Tradisional menduduki peringkat pertama di Jawa Timur dan peringkat kedua di Jawa Tengah (Kemala et al., 2003). Temulawak dimanfaatkan sebagai obat dan mempunyai klaim manfaat untuk penyembuhan jenis penyakit terbanyak (24 jenis penyakit), oleh karena itu pada tahun 2004 pemerintah mencanangkan temulawak sebagai “Minuman Kesehatan Nasional”.

Rimpang temulawak mengandung minyak atsiri, resin, kurkumin, lemak, kamfer, serat kasar dan kalsium klorida (Quissumbing dalam Agusta dan Chaerul, 1994). Minyak atsiri dari temulawak mengandung banyak sekali komponen yang bermanfaat antara lain berpotensi sebagai senyawa antioksidan, anti hepatotoksik, meningkatkan sekresi empedu, anti hipertensi, melarutkan kolesterol, merangsang air susu (laktagoga), tonik bagi ibu pasca melahirkan, peluruh haid, anti bakteri, pewarna makanan dan kain, serta bahan kosmetik (Hadi, 1985; Agusta dan Chairul, 1994; Suksamrarn et al., 1994; Direktorat Aneka Tanaman, 2000). Curcumin dan xanthorrhizol merupakan komponen bahan aktif utama dari minyak atsiri temulawak yang berkhasiat obat. Xanthorrhizol adalah komponen minyak atsiri khas temulawak (Oei Ban Liang dalam Sidik et al., 1997).

Luas panen temulawak pada tahun 2000 mencapai 433 ha dengan rata- rata produksi 10,7 ton/ha (Direktorat Aneka Tanaman, 2000). Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yaitu 20 ton/ha. Mengingat rendahnya produksi yang dapat dicapai petani, sedangkan potensi pemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor sangat prospektif, maka pengembangan temulawak harus diikuti oleh cara budidaya yang baik agar diperoleh produksi dan mutu yang tinggi serta terstandar baik pada budidaya organik maupun konvensional.

Sistem usaha budidaya pertanian secara umum adalah sebagai suatu penataan kegiatan usaha yang dikelola berdasarkan kemampuan lingkungan fisik, biologis, dan sosio ekonomi serta sesuai dengan tujuan, kemampuan dan sumber daya yang dimiliki petani (Shaner et al., 1982). Setiap usahatani memerlukan input produksi yang berasal dari bahan kimia sintetik dan dari bahan alami. Berdasarkan input produksi yang digunakan, sistem usahatani dapat dikatagorikan kedalam 4 kelompok yaitu : (1) pertanian tradisional, di mana hanya menggunakan input produksi yang tersedia dari tempat usaha saja, (2) pertanian modern dicirikan oleh penggunaan varietas unggul disertai input produksi dari luar tempat usaha, seperti pupuk dan pestisida sintetik, (3) pertanian dengan input eksternal rendah (Low External Input Sustainable Agriculture = LEISA) dengan prinsip mengoptimalkan interaksi antara input produksi dengan unsur-unsur agroekosistem, (4) pertanian organik, merupakan bentuk usahatani yang tidak menggunakan sama sekali bahan kimia sintetik dan mengandalkan sepenuhnya penggunaan bahan organik alami, termasuk phosphat alam, tepung kapur dan lainnya (FAO, 2000).

Memasuki abad ke-21, gaya hidup sehat dengan cara kembali ke alam “back to nature” telah menjadi trend baru di masyarakat. Mereka menyadari penggunaan bahan-bahan kimia non-alami seperti pupuk dan pestisida kimia sintesis serta hormon tumbuh dalam produksi pertanian ternyata dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Timbulnya kesadaran tersebut, sistem pertanian organik berkembang. Berdasarkan persyaratan yang harus dipenuhi dalam pertanian organik, pengembangan pertanian organik di Indonesia menjadi dilematis, sebab disatu sisi pengembangan pertanian harus dipacu untuk meningkatkan produktivitas, di sisi lain adanya tuntutan peningkatan kualitas kesehatan dengan mengkonsumsi makanan sehat. Peningkatan produktivitas pertanian harus dipacu dengan penggunaan varietas unggul yang responsif terhadap input produksi, sedangkan pertanian organik, pengelolaannya menggunakan input produksi dari bahan alami yang pada kenyataannya produktivitas yang diperoleh rendah sehingga harga jual per satuan produksi menjadi tinggi. Berdasarkan hal tersebut di atas, pengembangan pertanian organik di Indonesia saat ini mengarah pada komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan berorientasi ekspor (Budianto, 2002).

Tanaman obat, terutama temutemuan seperti temulawak, jahe, kencur dan kunyit mempunyai potensi untuk diekspor, sehingga berpeluang untuk dibudidayakan secara organik agar mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Namun hingga saat ini sistem budidaya tanaman temu-temuan tersebut masih menggunakan cara LEISA, di mana selain menggunakan pupuk organik juga dikombinasikan dengan pupuk buatan, dengan takaran yang tidak berlebihan. Petani mengembangkan tanaman temutemuan dengan cara LEISA karena biaya produksi yang dikeluarkan relatif rendah.

Produksi dan mutu tanaman secara umum dipengaruhi oleh : (1) nomor atau varietas unggul, (2) penyediaan unsur hara (pemupukan), dan (3) perlindungan tanaman terhadap OPT (Partohardjono, 2002). Setiap varietas tanaman mempunyai respon yang berbeda terhadap lingkungan tumbuh dan input yang diberikan dan akan berpengaruh terhadap produksi serta pendapatan usahatani. Tulisan ini akan mengkaji nilai ekonomi budidaya organik dan konvensional terhadap 3 nomor harapan temulawak. Informasi ini diharapkan akan menjadi acuan dalam pengembangan budidaya temulawak, agar diperoleh mutu dan nilai ekonomi yang tinggi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Sukamulya-Sukabumi pada tipe iklim C menurut Schmith dan Forguson. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2005 sampai Ok-tober 2006. Penelitian menggunakan Rancangan Petak Terbagi dengan 4 ulangan. Petak utama adalah dua paket pemupukan, yaitu (1) budidaya organik dan (2) budidaya konvensional. Paket budidaya organik terdiri dari; bokashi 10 ton/ha, pupuk bio 90 kg/ ha, zeolit 300 kg/ha, dan pupuk fosfat alam 300 kg/ha, diberikan pada awal tanam. Paket budidaya konvensional terdiri dari : pupuk kandang sapi 20 ton/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 200 kg/ ha diberikan pada awal tanam, Urea 200 kg/ha diberikan masing-masing 1/3 dosis pada 0, 1, dan 2 bulan setelah tanam. Kandungan hara pupuk kandang dan bokashi yang digunakan tercantum pada Tabel 1. Anak petak terdiri dari tiga nomor harapan temulawak yaitu, Balittro 1, Balittro 2, dan Balittro 3. Ukuran petak percobaan adalah 30 m2 (6 m x 5 m), dengan jarak tanam 75 cm x 50 cm, setiap petak terdapat 80 tanaman.

0t1

Tanaman dipanen pada umur 10 bulan setelah tanam. Peubah yang diamati meliputi; data asupan (input) berupa penggunaan sarana produksi usahatani, penggunaan tenaga kerja dan peralatan, serta data keluaran (output) berupa hasil rimpang segar, hasil simplisia kering, dan rendemen ekstrak temulawak. Harga masukan dan keluaran yang digunakan mengacu pada harga standard/pasar yang berlaku pada saat penelitian dilakukan.

Metode analisis usahatani Untuk mengetahui alternatif perlakuan yang paling efisien dan terbesar perolehan keuntungannya dilakukan dengan metode tabulasi yang kemudian disajikan secara deskriptif. Untuk mengetahui tingkat keuntungan dari masing-masing pola dilakukan analisis pendapatan (Gittinger, 1986) yang secara matematis dirumuskan sebagai berikut :

01

n n P = Σ Bt – Σ Ct P = Pendapatan t=1 t=1 B = penerimaan atau nilai produksi C = Biaya produksi t = waktu satu perio de produksi Untuk mengetahui perlakuan yang layak dilakukan atau dikembangkan maka dilakukan analisis finansial dengan rumus matematik sebagai berikut (Gitinger, 1986)

02

HASIL DAN PEMBAHASAN

Biaya usahatani dan produksi

Biaya produksi rimpang temulawak nomor harapan Balittro 1, 2, dan 3 per 1.000 m2 ditampilkan pada Tabel 2. Total biaya budidaya organik berkisar antara Rp 2.773.000,- sampai Rp 2.838.750,-, sedangkan pada budidaya konvensional adalah Rp 3.051.000,- sampai Rp 3.117.750,-. Biaya produksi terbesar digunakan untuk penggunaan tenaga kerja. Ratarata biaya tenaga kerja pada budidaya pupuk organik mencapai 52 – 53%, sedangkan biaya tenaga kerja pada budidaya konvensional lebih tinggi yaitu 55 – 56% dari total biaya usahatani. Biaya penggunaan bahan pada budidaya organik sebesar 44 – 45%, sedangkan pada budidaya konvensional sebesar 40 – 41% dari total biaya usahatani. Biaya produksi ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Pribadi et al. (2003) pada budidaya temulawak di bawah tegakan sengon dengan menggunakan 10 ton pupuk kandang, 200 kg urea, 200 kg SP-36, dan 200 kg KCl, dan pupuk Bio dosis 0 – 90 kg/ha yaitu hanya sebesar Rp 1.066.000,- sampai Rp 1.116.250,-.

0t2

0t2a

Perbedaan biaya tersebut disebabkan oleh jenis dan dosis pupuk organik yang digunakan, pada budidaya temulawak di bawah sengon hanya digunakan pupuk organik pupuk Bio dengan mikroorganisme aktif Azospirillum lipoferum, Azotobacter beijerinckii, Aeromonas punctata dan Aspergilus niger dan pupuk kandang dosis 10 ton/ha, sedangkan pada penelitian ini digunakan beberapa jenis pupuk organik seperti Bokashi, pupuk fosfat alam dan pupuk zeolit, sedangkan pada paket pemupukan an-organik dosis pupuk kandang ditingkatkan menjadi 20 ton/ha.

Produksi rimpang segar dan simplisia temulawak pada budidaya konvensional berkisar antara 19,64 – 22,31 ton/ha dan 3,93 – 4,46 ton/ha, dan hasil rimpang Balittro 2 tertinggi dibandingkan dengan Balittro1 dan Balittro 3. Respon ke tiga nomor harapan temulawak terhadap pemupukan pada budidaya konvensional tidak sama, Balittro 2 mempunyai respon yang lebih tinggi dibandingkan dengan Balittro 1 dan Balittro 3. Produksi rimpang dan simplisia Balittro 2 terendah pada budidaya pupuk organik, namun menjadi tertinggi hasilnya pada budidaya konvensional. Produktivitas yang dicapai pada penelitian ini nyata lebih tinggi dari pada produktivitas temulawak yang dihasilkan dengan cara budidaya petani yaitu 10,7 ton/ha (Direktorat Aneka Tanaman, 2000).

Rendahnya produksi rimpang dan simplisia Balittro 2 dibandingkan Balittro 1 dan 3 pada budidaya organik, diduga karena ketersediaan hara relatif lebih rendah dibandingkan pada budidaya konvensional, dan mungkin disebabkan oleh kemampuan penyerapan hara oleh akar Balittro 2 pada kondisi marginal lebih rendah dibandingkan Balittro 1 dan Balittro 3. Secara umum pupuk organik lebih lambat terurai sehingga hara tanaman lebih lambat terserap oleh tanaman, sedangkan pupuk an-organik, lebih mudah terurai dan cepat dapat terserap oleh tanaman. Pada umumnya produktivitas tanaman pada budidaya organik lebih rendah dibandingkan dengan budidaya an-organik (Budianto, 2002), karena pupuk buatan lebih mudah tersedia bagi kebutuhan hara tanaman. Hasil dari budidaya organik mempunyai keunggulan, yaitu dengan budidaya or-ganik diharapkan hasil tanaman tidak tercemar oleh bahan kimia sintetis. Khusus untuk temulawak Balittro 2 merupakan salah satu calon varietas temulawak yang sangat tanggap terhadap pemupukan an-organik.

Hasil ekstrak temulawak yang dihasilkan bervariasi antar paket teknologi budidaya. Produksi ekstrak yang diperoleh tidak selalu berkorelasi positif dengan produksi rimpang dan simplisia. Rendemen rimpang menjadi ekstrak temulawak nomor harapan Balittro 2 dan 3, relatif tidak berbeda baik pada budidaya organik atau budidaya konvensional dengan kisaran rendemen 3,07 – 3,99 (Tabel 3). Produksi ekstrak tertinggi dicapai pada budidaya konvensional menggunakan nomor harapan Balittro 2 dengan hasil 890 kg/ha.

0t3

Biaya prosesing dan pendapatan

Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa biaya usahatani budidaya organik lebih rendah dibandingkan dengan budidaya konvensional (Tabel 2), tetapi pada budidaya organik bila diproduksi dalam bentuk rimpang dengan harga jual Rp 1.500,-/kg, pada semua nomor harapan temulawak yang dicoba tidak layak secara finansial untuk dikembangkan. Hal tersebut ditunjukkan oleh pendapatan bersih yang bernilai negatif, dan B/C rasio kurang dari satu (Tabel 4).

0t4

Analisis harga pokok menunjukkan bahwa untuk mengembalikan biaya produksi harga jual temulawak yang dihasilkan dari budidaya organik harus lebih tinggi dari pada temulawak dari budidaya konvensional (Table 4). Hal ini disebabkan produktivitas yang dihasilkan dari budidaya organik cenderung lebih rendah dari produksi yang dihasilkan pada budidaya konvensional, meskipun biaya produksi budidaya organik lebih rendah. Untuk mengembalikan biaya produksi ratarata harga jual temulawak organik harus lebih tinggi dari Rp 1.726,-/kg untuk rimpang, Rp 19.805,-/kg untuk simplisia, dan Rp 163.179,-/kg untuk ekstrak. Sedangkan pada budidaya konvensional, dengan harga jual ratarata Rp 1.471,-/kg rimpang, Rp 18.531,-/kg simplisia, dan Rp 155.046,-/kg untuk ekstrak sudah dapat menutup kebutuhan biaya produksi.

Paket budidaya konvensional menggunakan nomor harapan Balittro 2 dan 3 dengan hasil berupa rimpang layak secara finansial untuk dikembangkan, hal ini ditunjukkan oleh pendapatan bersih masing-masing sebesar Rp 228.750,- dan 78.750,- dengan B/C rasio masing-masing 1,073 dan 1,026 (Tabel 4). Pendapatan tersebut lebih tinggi dibandingkan pendapatan yang diperoleh dari temulawak yang ditanam dibawah tegakan sengon menggunakan pupuk dasar 10 ton pupuk kandang, 200 kg urea, 200 kg SP-36, dan 200 kg KCl di mana hanya menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp 23.720,- per 1.000 m2 lahan. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian menggunakan input yang sama ditambahkan pupuk Bio dengan mikroorganisme aktif Azospirillum lipoferum, Azotobacter beijerinckii, Aeromonas punctata dan Aspergilus niger dosis 45 kg dan 90 kg/ ha, dimana diperoleh pendapatan bersih masing-masing sebesar Rp 238.895,- dan Rp 459.470,- per 1.000 m2 lahan (Pribadi et al., 2003). Dalam rangka pengembangan budidaya organik temulawak, penelitian lebih lanjut penggunaan pupuk Bio jenis tersebut pada nomor-nomor harapan Balittro 1, 2 dan 3 perlu dilakukan agar ekspresi sifat genetik tanaman lebih terlihat dan biaya usahatani bisa diturunkan. Menurut Dimyati (2002), seperti halnya tanaman hortikultura keberlanjutan pengembangan tanaman obat organik sangat tergantung pada produktivitas, efisiensi dan pendapatan usaha. Untuk itu input produksi dalam pengembangan temulawak organik hendaknya memperhatikan kaidah-kaidah tersebut.

Peningkatan nilai tambah produk primer temulawak dapat dilakukan melalui diversifikasi produk menjadi produk sekunder seperti simplisia dan ekstrak. Menurut Kemala et al. (2005) pengolahan rimpang temu-temuan menjadi simplisia mampu meningkatkan harga produk menjadi 7 – 15 kali, sedangkan dari rimpang menjadi produk olahan ekstrak sebesar 81 – 280 kali. Hasil analisis usahatani temulawak menjadi produk simplisia dengan harga proses Rp 11.175,-/kg simplisia dan Rp108.047,-/kg ekstrak (Kemala et al., 2003) menunjukkan adanya peningkatan pendapatan hampir sama pada semua paket budidaya yang diteliti (Tabel 4). Pemrosesan menjadi simplisia dengan harga jual Rp 20.000,-/kg dan harga jual ekstrak Rp 174.000,- pada paket budidaya organik maupun konvensional pada nomor-nomor harapan temulawak Balittro 1, 2, dan 3 mampu memberikan tambahan pendapatan yang nyata. Bila dijual dalam bentuk simplisia atau ekstrak pendapatan bersih terbesar diperoleh dari budidaya konvensional pada nomor harapan Balittro 2, dengan pendapatan bersih masing-masing sebesar Rp 819.965,- dan Rp 2.747.516,- per 1.000 m2 lahan (Tabel 4).

KESIMPULAN

Produksi rimpang segar dan simplisia temulawak pada budidaya konvensional lebih tinggi dari pada produksi budidaya organik. Produktivitas temulawak budidaya organik berkisar 15,20 – 17,83 ton/ha dan 3,04 – 3,57 ton/ha dan produksi tertinggi pada nomor harapan Balittro 3 (17,83 ton/ha rimpang dan 3,57 ton/ha simplisia). Sedangkan produksi pada budidaya konvensional masing-masing berkisar 19,64 – 22,31 ton/ha dan 3,93 – 4,46 ton/ha, produksi tertinggi dicapai nomor harapan Balittro 2.

Biaya usahatani budidaya organik lebih rendah dibandingkan budidaya konvensional.

Harga pokok temulawak budidaya organik adalah Rp 1.726,-/kg untuk rimpang, Rp 19.805,-/kg untuk simplisia, dan Rp 163.179,-/kg untuk ekstrak. Sedangkan pada budidaya konvensional, harga pokok Rp 1.471,- /kg untuk rimpang, Rp 18.531,-/kg simplisia, dan Rp 155.046,-/kg ekstrak.

Budidaya organik tidak layak diusahakan pada semua nomor harapan temulawak Balittro 1, 2, dan 3 (dengan harga jual Rp 1.500,-/kg rimpang). Sedangkan pada budidaya konvensional pada nomor harapan Balittro 2 dan 3, layak diusahakan, dengan pendapatan bersih per 1.000 m2 lahan masing-masing Rp 228.750,- dan 78.750,- dengan B/C rasio 1,073 dan 1,026.

Temulawak bentuk simplisia dan ekstrak dengan harga jual Rp 20.000,-/kg dan Rp 174.000,-/kg budidaya organik nomor harapan Balittro 1 dan 2, serta budidaya konvensional nomor harapan Balittro 1, 2, dan 3 layak diusahakan. Pendapatan tertinggi diperoleh dari budidaya konvensional nomor harapan Balittro 2 dengan pendapatan bersih per 1.000 m2 lahan sebesar Rp 819.965,- dan B/C rasio 1,101 untuk simplisia dan Rp 2.747.516,- dan B/C rasio 1,226 untuk rimpang.

DAFTAR PUSTAKA

Agusta, A. dan Chaerul, 1994. Analisis komponen kimia minyak atsiri dari rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Prosiding Simposium Penelitian Bahan Obat Alami VIII, hal. : 643 – 647.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI., 2004. Informasi Temulawak Indonesia, 36 hal.

Budianto, J., 2002. Kebijakan penelitian dan pengembangan pertanian organik. Prosiding Seminar Nasioanal dan Pameran Pertanian Organik, Jakarta, 2 – 3 Juli 2002, hal. 1 – 12.

Dimyati, A., 2002. Dukungan penelitian dalam pengembangan hortikultura organik. Prosiding Seminar Nasioanal dan Pameran Pertanian Organik, Jakarta, 2 – 3 Juli 2002, hal. 109 – 128.

Direktorat Aneka Tanaman, 2000. Budidaya Tanaman Temulawak. Jakarta. 44 hal.

FAO, 2000. Organic Farming : Demand for organic products has created new export opportunities for the develoing world. htpp://www/fao.org/magazine. spotlight.organic farming.html.

Gittiner, J.P., 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Universitas Indonesia. Jakarta. 579 hal.

Hadi, S., 1985. Manfaat temulawak ditinjau dari segi kedokteran. Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Bandung 17 – 18 September 1985, hal. 139 – 145.

Kemala, S; Sudiarto, E. R. Pribadi, JT. Yuhono, M. Yusron, L. Mauludi, M. Raharjo, B. Waskito, dan H. Nurhayati, 2003. Studi serapan, pasokan dan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia. Laporan Teknis Penelitian Bagian Proyek Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 61 hal.

Kemala, S., O. Rostiana, M. Rizal, M. Rahardjo, S. Yuliani, dan Sugiharto, 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 42 hal.

Partohardjono, S., 2002. Penelitian dan pengembangan tanaman pangan dalam kaitannya sistem pertanian organik. Prosiding Seminar Nasioanal dan Pameran Pertanian Organik, Jakarta, 2 – 3 Juli 2002, hal. 99 – 108.

Prana, M.S., 1985. Beberapa aspek biologi temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Bandung 17 – 18 September 1985, hal. 42 – 48.

Pribadi, E.R., M. Januwati, dan M. Yusron. 2003. Peningkatan pendapatan usahatani temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) di bawah tegakan hutan rakyat melalui penggunaan pupuk Bio. Jurnal Ilmiah Gakuryoku. Vol. XI. No.1. hal: 7 – 10.

Shaner, W.W., P.F. Philipp, and W.R. Schmehl, 1982. Farming System Reserach and Development : gudelines for developing countries. Boulder, Westview. 414 hal

Sidik, M.W. Mulyono, A. Muhtadi, 1997. Temulawak, Curcuma xanthorrhiza (Roxb). Seri Pustaka Pengembangan dan Pemanfaatan Tanaman Obat Alam. hal 1 – 105

Sudiarto dan Gusmaini, 2004. Pemanfaatan bahan organik in situ untuk efisiensi budidaya jahe yang berkelanjutan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 23. No. 2. hal. 37 – 45.

Suksamrarn, A., S. Eiamong, P. Piyachaturawat and J. Charoenpiboonsin, 1994. Phenolic Diarylheptanoids from Curcuma xanthorrhiza. Phytochemistry, 36 (6) : pp. 1505 – 1508.

1 Comment »

  1. Permisi mau tanya, beli temulawak untuk penelitian dimana? Saya dapat info dari teman di balittro, brp harganya y per kg? Karena saya butuh 10kg. Tolong infonya segera ke email saya. Terima kasih

    Comment by Dini — December 16, 2014 @ 12:37 am


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.