Minyak Atsiri Indonesia

Abdullah Puteh

POTENSI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN NILAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Oleh: Abdullah Puteh; Gubernur Provinsi Nangroe Aceh Darussalam

Perkembangan Teknologi TRO VOL. XVI, No. 2, 2004

ABSTRAK

Tanaman nilam pernah mengalami kejayaan di Provinsi NAD sejak tahun 1921. Nilam Aceh (Pogostemon cablin) terkenal diseluruh dunia karena mutunya diakui di tingkat Internasional. Minyak nilam adalah komoditi ekspor non migas yang potensial bagi  Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, karena 75 persen dari ekspor nilam Indonesia berasal dari Aceh. Ini menunjukkan bahwa agribisnis nilam, tidak saja memberi kontribusi terhadap devisa, tetapi lebih jauh memberi kontribusi besar bagi terbukanya lapangan kerja yang luas di perdesaan. Luas areal nilam saat ini mencapai 2.941 ha, dengan produksi minyak 283 ton per tahun. Sampai saat ini Aceh merupakan pensuplai minyak nilam terbesar di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dunia. Kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, dan Aceh Singkil merupakan sentra produksi nilam karena daerah tersebut memiliki potensi lahan dan agroklimat yang sesuai untuk pengembangan nilam. Mengingat pentingnya kontribusi nilam bagi daerah maka Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam mengambil beberapa langkah dan kebijakan untuk pengembangan agribisnis nilam antara lain menetapkan kawasan pengembangan agribisnis nilam, penyediaan bibit berkualitas dan bebas penyakit, memantapkan kelembagaan petani nilam dan membantu permodalan, memfasilitasi pembangunan sistem usaha pengolahan hasil nilam bersama investor dalam rangka menumbuhkembangkan agroindustri (off farm) serta menjajaki peluang pasar bekerjasama dengan asosiasi pengekpor minyak atsiri Indonesia.

PENDAHULUAN

Umum

Tanaman nilam (Pogostemon cablin) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang terpenting di Indonesia. Dalam dunia perdagangan minyak nilam dikenal dengan nama  “Patchouly Oil”, yang banyak digunakan sebagai bahan baku, bahan pencampur dan fiksatif (pengikat wangi-wangian) dalam industri parfum, farmasi, dan kosmetika, dan industri makanan dan minuman. Perdagangan minyak wangi telah sejak lama berlangsung dinegara-negara timur serta Yunani dan Roma kuno. Sejarah minyak atsiri yang diproses dengan cara penyulingan yang dilakukan pertama kalinya terutama dinegara Mesir, Persia dan India (Guenther E, 1987).

Di Indonesia terdapat tiga jenis nilam yang dibudidayakan masyarakat yaitu Pogostemon heyneanus (nilam Jawa), Pogostemon hortensis (nilam sabun), dan Pogostemon cablin (nilam Aceh) (Anonimous, 1994). Dari ketiga jenis tersebut yang paling banyak dibudidayakan adalah varietas Pogostemon cablin, karena varietas inilah yang terbaik ditinjau dari segi mutu dan kadar minyaknya, sehingga minyak dari varietas inilah yang lebih diminati di pasar dunia atau dalam dunia perdagangan atsiri (Anonimous, 1994). Oleh sebab itu, sejak dari zaman penjajahan Pemerintahan Hindia Belanda, Aceh terkenal sebagai penghasil nilam terbesar di Indonesia.

Perbanyakan tanaman nilam di Aceh dilakukan melalui setek batang. Peluang perbanyakan nilam melalui kultur jaringan dimungkinkan, namun cara ini belum dijajaki oleh kalangan pebisnis. Tanaman nilam dapat berproduksi setelah enam sampai delapan bulan masa tanam, dan panen berikutnya dilakukan tiga sampai lima bulan sekali. Panen yang baik dapat menghasilkan sampai 20 ton daun basah per hektar per tahun, dengan kadar minyak 2,5 – 4%. Akan tetapi sampai saat ini kadar minyak yang diperoleh dari pengolahan yang dilakukan masyarakat dari jenis nilam Aceh baru mencapai 2 – 3% (Anonimous, 1991).

Pada mulanya yaitu sekitar tahun 1921, tanaman nilam banyak dibudidayakan di Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Selatan sampai ke Aceh Singkil. Wilayah tersebut termasuk dalam type iklim A menurut Schmidt dan Ferguson, dimana curah hujan merata sepanjang tahun sehingga sangat cocok untuk pertumbuhan nilam. Petani nilam disepanjang pantai barat selatan pada umumnya adalah petani kecil, dengan luas areal pertanaman berkisar 0,5 – 1 ha. Pertanaman nilam di wilayah tersebut pada umumnya diusahakan secara tradisional, terutama di daerah bukaan hutan sekunder yang berbukit dan bergunung atau pada lereng barat dari pergunungan bukit barisan, dengan kemiringan lebih dari 30%. Lahan yang baru dibuka langsung ditanam nilam tanpa usaha pembuatan teras untuk pengawetan tanah. Setelah dilakukan pemanenan maksimal sebanyak tiga kali, pertanaman nilam tersebut ditinggalkan oleh petani, dan kemudian pindah ketempat bukaan baru lagi. Sistem budidaya nilam tradisional  ini sangat tidak menguntungkan bagi upaya pelestarian alam (Anonimous, 1979).

Sentra produksi nilam

Di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat beberapa Kabupaten yang merupakan sentra produksi nilam karena daerah tersebut memiliki potensi lahan dan agroklimat yang sesuai untuk pengembangan nilam, antara lain Kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, dan Aceh Singkil (Anonimous, 1970).

Sentra produksi nilam di Kabupaten Aceh Barat antara lain Kecamatan Woyla, Teunom, Kaway XVI, dan Kuala Tripa sedangkan di Kabupaten Aceh Selatan antara lain Kecamatan Kuala Batee, Klut Utara, Klut Selatan, Bakongan, Trumon, Kabupaten Aceh Singkil, Rundeng dan sebahagian terdapat di Kabupaten Aceh Barat Daya. Saat ini budidaya nilam sudah berkembang luas di Kabupaten lainnya seperti Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Tengah, Gayo Luwes, Aceh Tenggara, dan sebahagian Kabupaten Aceh Besar. Sedangkan sentra produksi nilam di Provinsi Sumatera Utara antara lain  Kabupaten Dairi, Tapanuli Tengah, Langkat dan Deli Serdang.

Potensi dan perkembangan minyak atsiri di Provinsi NAD

Luas areal dan produksi

Nilam diusahakan oleh petani sebagai pekerjaan sampingan, oleh  karena itu perkembangan luas areal penanaman bervariasi dari tahun ke tahun, dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan harga minyak nilam dipasaran. Pada tahun 1998/1999 harga minyak nilam naik drastis mencapai Rp. 1.000.000,- per kg. Pada saat harga membaik, banyak petani nilam bahkan masyarakat non petani berbondong-bondong menanam nilam, sehingga ketersediaan bibit menipis yang pada akhirnya memicu kenaikan harga bibit nilam. Perkembangan areal dan produksi tanaman nilam selama 12 tahun terakhir berfluktuasi. Pada tahun 1990 harga nilam cukup baik dipasaran, dengan demikian banyak petani yang mengusahakan nilam. Luas penanaman nilam saat itu mencapai 5.073,50 ha, namun sejak tahun 1993 – 1996 disebabkan harga nilam dipasaran dunia melemah, sehingga petani tidak bergairah menanam nilam. Akibatnya pada tahun 1993 terjadi penurunan luas areal penanaman nilam sebesar 59,28% dan penurunan produksi sebesar 63,52%. Sejak terjadinya krisis ekonomi di belahan dunia, terutama di Asia termasuk di Indonesia, maka harga nilam sedikit demi sedikit membaik. Antara tahun 1997 dan 1998 terjadi kenaikan luas areal penanaman nilam sebesar 130% dan 118%, akibat kenaikan harga nilam di pasaran dunia, sampai pada puncaknya pada tahun 1998/1999 harga nilam naik meroket hingga Rp. 1 juta per kg, sehingga banyak petani yang bergairah menanam nilam.

Menurunnya luas areal dan produksi nilam bisa akibat melemahnya harga komoditi nilam itu sendiri dipasaran dunia. Namun selain faktor harga, menurunnya luas areal dan produksi nilam boleh dipicu oleh dampak naiknya harga komoditi lainnya yang diusahakan petani, seperti komoditi kopi dan kakao. Bencana banjir yang melanda sebahagian besar Provinsi NAD pada tahun 1986 dan tahun 1995 telah memusnahkan sebahagian besar sentra produksi nilam Aceh.

Eksport dan nilai ekspor nilam

Jumlah ekpor minyak nilam secara nasional cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dibandingkan tahun 1990 volume ekpor pada tahun 1999 meningkat lebih dari 200%. Ekspor minyak nilam tertinggi mencapai puncaknya pada tahun 1998 dan 1999 dimana ekpor masing-masing mencapai 1.355.948 kg, dan 1.592.434 kg, dengan nilai US$ 53.177.052, dan US$ 62.869.081. Ini menunjukkan bahwa agribisnis nilam, tidak saja memberi kontribusi terhadap devisa negara, tetapi lebih jauh efek sampingan dari agribisnis nilam dan ikutannya akan memberi kontribusi besar bagi terbukanya lapangan kerja yang luas mulai dari budidaya, pasca panen, transportasi, pengolahan, dan kegiatan pemasaran dan ekpor. Negara tujuan ekpor minyak nilam selama sepuluh tahun terakhir adalah USA, Perancis, Jerman, Inggris, Belgia, Singapura, Switzerland, dan India (Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2002).

Pospek aribisnis nilam

Minyak atsiri merupakan salah satu komoditi ekspor Indonesia yang bahan bakunya berasal dari berbagai jenis tanaman perkebunan. Minyak atsiri dari kelompok tanaman tahunan perkebunan antara lain berasal dari cengkeh, pala, lada, kayu manis, sementara yang berasal dari kelompok tanaman semusim perkebunan berasal dari tanaman nilam, sereh wangi, akar  wangi dan jahe. Hingga kini minyak atsiri yang berasal dari tanaman nilam memiliki pangsa pasar ekspor paling besar andilnya dalam perdagangan negara Indonesia yaitu mencapai 60%. Minyak nilam merupakan produk yang terbesar untuk minyak atsiri Indonesia dan pemakaiannya di dunia menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Dapat dikatakan bahwa hingga saat ini belum ada produk apapun baik alami maupun sintetis yang dapat menggantikan minyak nilam dalam posisinya sebagai fixative.

Data ekspor BPS menunjukkan bahwa kontribusi minyak nilam (Patchouli oil) terhadap pendapatan ekspor minyak atsiri sekitar 60%, minyak akar wangi (vetiner oil) sekitar 12,47%, minyak serai wangi (Citronella oil) sekitar 6,89%, dan minyak jahe (Ginger oil) sekitar 2,74%. Rata-rata nilai devisa negara yang diperoleh dari ekspor minyak atsiri selama sepuluh tahun terakhir cenderung meningkat dari US$ 10 juta pada tahun 1991 menjadi sekitar US$ 50 – 70 dalam tahun 2001, 2002 dan 2003, dengan nilai rata-rata/kg sebesar US$ 13,13. Walaupun secara makro nilai ekspor ini kelihatannya kecil namun secara mikro mampu meningkatkan kesejahteraan petani di perdesaan yang pada gilirannya diharapkan dapat mengurangi gejolak sosial.

Kendala dan permasalahan pengembangan nilam

Dalam menekuni agribisnis nilam banyak kendala dan masalah yang dihadapi, baik kendala administratif, teknis operasional, maupun kendala pemasaran. Diakui bahwa selama terjadinya konflik di Aceh terjadi penurunan luas penanaman nilam yang sangat signifikan di Provinsi NAD. Permasalahan dan akar permasalahan yang dihadapi dalam agribisnis nilam dapat dilihat pada Tabel 1.

0t1

Beberapa permasalahan yang dianggap penting dalam agribisnis nilam antara lain :

Kawasan pengembangan nilam

Sampai saat ini Pemerintah Daerah belum mempunyai kebijakan tentang kawasan agribisnis nilam. Suatu kawasan yang sesuai dengan agroklimat dan animo masyarakat setempat yang memiliki naluri dalam budidaya nilam akan penting artinya bagi keberlanjutan usaha agribisnis nilam. Adanya suatu kawasan yang jelas, memudahkan bagi instansi teknis dalam hal ini Dinas Perkebunan untuk  membina para kelompok tani. Lebih jauh lagi penanganan permasalahan teknis yang ada sejak dari pemilihan bibit/setek, cara pemupukan, perawatan dan pengendalian hama dan penyakit serta perlakuan pasca panen akan lebih mudah diatasi. Selanjutnya jika pada kawasan pengembangan tersebut dinilai sudah layak untuk dibangun industri pengolahan maka Pemerintah Daerah akan lebih mudah menilai kelayakan pembangunan industri pengolahan beserta pemasarannya.

Ketersediaan bibit

Perbanyakan tanaman nilam di Aceh dilakukan melalui setek batang. Biasanya setek tersebut ditanam langsung kelapangan sebanyak 2 – 3 batang setek/lubang. Namun tingkat keberhasilannya dilapangan relatif kecil, dibandingkan dengan setek yang terlebih dahulu di semai. Perbanyakan bibit yang dilakukan petani melalui setek tidak menjamin kualitas dan kesehatan bibit. Oleh sebab itu tidak heran bila nilam yang ditanam oleh petani dilapangan sering terserang oleh penyakit budok akibat penggunaan bibit yang tidak sehat. Sampai saat ini belum tersedia BBI dan penangkar bibit nilam di Nanggroe Aceh Darussalam, sehingga menjadi kendala apabila dilaksanakan pengembangan nilam yang membutuhkan bibit dalam skala besar.

Kontinuitas produksi

Selama ini produksi nilam rakyat sangat tergantung pada harga minyak nilam dipasaran dunia. Biasanya pada saat harga minyak nilam rendah, produksi nilam menurun sebaliknya jika harga minyak nilam membaik maka produksi nilam cenderung meningkat. Terjadinya korelasi antara produksi dan harga minyak nilam memang kelihatannya wajar terjadi, artinya petani tidak ingin memilih resiko rugi dalam usaha taninya. Oleh sebab itu, ketika harga minyak nilam rendah di pasaran dunia, maka petani nilam beralih mengusahakan tanaman semusim lainnya yang harganya lebih menjanjikan dan menguntungkan, dari pada mengusahakan nilam. Sebaliknya ketika harga nilam meningkat di pasaran dunia maka bukan saja petani nilam, bahkan pengusaha dan pegawai negeri berbondong-bondong menanam nilam.

Fenomena ini sebenarnya dapat diatasi, melalui kebijakan pengendalian harga minyak nilam lokal sampai pada batas wajar dan menguntungkan petani nilam. Apabila kebijakan ini dapat diambil Pemerintah, maka kuntinuitas produksi akan dapat dipertahankan.

Kelembagaan dan permodalan

Kelembagaan petani yang ada saat ini adalah kelompok tani yang beranggotakan sekitar 20 – 30 orang petani per kelompok. Dari beberapa kelompok tani tersebut dibentuk wilayah kerjasama untuk membangun kebersamaan yang disebut dengan kelompok usaha bersama (KUB) yang merupakan cikal bakal lahirnya koperasi berbadan hukum. Jumlah Kelembagaan petani nilam saat ini 13 kelompok tani dengan jumlah anggota 671 orang. Namun demikian kinerja kelompok tani dan kelompok usaha bersama ini belum menggembirakan.

Untuk pengembangan agribisnis nilam membutuhkan modal yang relatif besar, sedangkan kemampuan petani untuk mengembangkan nilam skala 1 hektar sangat terbatas. Sebaliknya permodalan yang dikucurkan oleh pemerintah melalui Bank harus memenuhi persyaratan yang hampir tidak mungkin dipenuhi oleh petani kecil. Selain itu, selama ini modal yang dikucurkan pemerintah terbatas hanya pada sub-sektor tanaman pangan, perkebunan besar (sawit) dan industri serta jasa. Sedangkan untuk agribisnis nilam belum pernah dinikmati oleh petani nilam.

Lemahnya sistem pemasaran

Perdagangan bebas produkproduk perkebunan dapat menjadi ancaman, apabila Daerah tidak siap menghadapi persaingan bebas. Oleh karena itu, peningkatan daya saing merupakan kata kunci yang harus dipertimbangkan dan ditindaklanjuti dengan upaya nyata oleh seluruh stakeholder yang terlibat dalam agribisnis nilam. Tuntutan pasar terhadap produk perkebunan yang mempunyai jaminan mutu semakin besar. Untuk menghasilkan produk yang dapat memenuhi permintaan pasar, pelaku agribisnis perlu menerapkan jaminan mutu seperti ISO 9000 sehingga produk yang dihasilkan sesuai dengan standar mutu yang dipersyaratkan.

Sistem pemasaran minyak nilam yang diterapkan di Provinsi NAD masih tradisional. Dari produsen dibeli oleh pedagang pengumpul Kecamatan atau Kabupaten kemudian dijual kepada produsen atau pengusaha pengolah dan kemudian dijual kepada eksportir dalam negeri dan akhirnya kepada importir luar negeri. Rantai pemasarannya terlalu panjang sehingga kurang menguntungkan petani produsen.

Industri pengolahan

Penyulingan nilam tradisional terdapat hampir diseluruh sentra produksi nilam di Provinsi NAD. Namun sistem penyulingan ini masih sangat sederhana, dan kualitas minyak nilam yang dihasilkan bervariasi dari suatu tempat ke tempat lainnya, tergantung dari teknik penyulingan yang dipakai. Penyulingan minyak nilam yang telah dilakukan oleh petani adalah penyulingan menggunakan air atau uap air, dengan menggunakan ketel sederhana, dan masih menggunakan energi pemanas yang berasal dari pembakaran kayu.

Industri pengolahan nilam skala menengah yang menghasilkan minyak nilam bermutu atau menghasilkan bahan setengah jadi belum terdapat di Provinsi NAD. Untuk itu, Pemerintah Daerah harus mempertimbangkan keberadaan industri tersebut guna meningkatkan nilai tambah petani dan pemasukan devisa bagi daerah.

Kebijakan pengembangan agribisnis nilam

Kebijakan yang diambil dalam pengembangan agribisnis nilam adalah mencakup seluruh aspek yang berkenaan dengan budidaya nilam sampai dengan proses pemasaran. Peran stakeholder dalam agribisnis nilam sangat menentukan keberhasilan dari pengembangan agribisnis nilam di Nanggroe Aceh Darussalam.

Adapun kebijakan antara lain :

A. Kebijakan umum

  1. Penyediaan lapangan kerja dan pemberdayaan ekonomi rakyat yang bertujuan mempercepat penyelesaian konflik di Aceh.
  2. Berupaya menarik investor untuk mau menanamkan investasinya pada bidang agribisnis nilam.
  3. Menetapkan kawasan pengembangan agribisnis nilam di beberapa Kabupaten yang potensial dan sesuai agroklimatnya, seluas  1.000 ha.
  4. Mengembangkan koperasi agribisnis nilam dan memfasilitasi kerjasama dalam bentuk kemitraan dengan pihak investor.
  5. Memfasilitasi pembangunan sistem usaha pengolahan hasil nilam bersama investor dan stakeholder lainnya dalam rangka menumbuhkembangkan agroindustri (off farm).
  6. Melakukan promosi terhadap program yang diluncurkan melalui workshop sehari dengan mengundang seluruh stakeholder, investor dan mitra kerja, seperti pengusaha pengekspor atau pengimpor minyak nilam dalam dan luar negeri.
  7. Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam pengembangan agribisnis nilam, terutama Dinas Perkebunan, Industri dan Perdagangan, Koperasi, BKPMD, dan Bappeda.
  8. Meningkatkan jaringan kerja antara petani produsen dengan para asosiasi eksportir minyak nilam nasional dan menyediakan informasi pasar terhadap perkembangan harga minyak nilam dunia.
  9. Pembangunan sarana dan prasarana pendukung guna memperlancar akses transportasi dan pemasaran.

B. Kebijakan khusus

  1. Mengembalikan sejarah kejayaan nilam di Aceh dengan menjadikan nilam sebagai salah satu komoditas unggulan daerah.
  2. Mempertahankan serta meningkatkan kualitas minyak nilam Aceh melalui teknologi penyulingan minyak nilam yang lebih modern yang lebih efisien, sehingga rendemen minyak dapat ditingkatkan.
  3. Perbaikan pola pengembangan nilam melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi dan kelestarian lingkungan.
  4. Mengadobsi teknologi yang mendukung budidaya nilam seperti perbaikan kualitas bibit melalui perbanyakan secara kultur jaringan yang menjamin bebas penyakit budok bekerjasama dengan Perguruan Tinggi dan atau Lembaga Penelitian setempat.
  5. Penguatan dan pemberdayaan kelembagaan petani nilam serta peningkatan SDM melalui pelatihan dan magang.

KESIMPULAN

  1. Pengembangan agribisnis nilam mempunyai peluang yang sangat besar dan sangat menguntungkan mengingat kebutuhan akan minyak nilam di pasaran dunia meningkat.
  2. Lahan pengembangan nilam masih tersedia, baik di daerah pesisir barat selatan maupun pesisir utara timur serta bahagian tengah.
  3. Untuk meningkatkan produksi dan kuntinuitas produksi maka sistem budidaya nilam tradisional harus dirubah menjadi sistem budidaya intensif, sejak dari pemilihan bibit sampai ke penangan pasca panen, pengolahan hasil dan pemasaran hasil.
  4. Untuk mencegah menurunnya kuantitas dan kualitas hasil akibat serangan penyakit budok maka upaya pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, dengan tetap mempertimbangkan faktor kelestarian lingkungan.
  5. Untuk memperkuat dan memantapkan eksistensi petani nilam maka kelembagaan tani dan kelembagaan usaha bersama harus dibangun, sejalan dengan pembangunan hubungan kemitraan bersama pengusaha yang tergabung dalam asosiasi pengekpor minyak atsiri Indonesia.
  6. Pembangunan sarana dan prasarana pada kawasan pengembangan mutlak diperlukan untuk memperlancar transportasi dan perekonomian wilayah pengembangan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1970. Survey Pengusahaan Nilam Rakyat di Daerah Aceh Bagian Barat Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dinas Perkebunan Rakyat Bekerjasama Dengan Balai Penelitian Perkebunan Medan.

Anonimous, 1979. Minyak Atsiri di Aceh, Fakta, Masalah, Prospek  dan Langkah-Langkah Operasional Yang Diperlukan. Proyek Peningkatan dan Pengembangan Ekspor.

Anonimous, 1991. Pemberdayaan Petani Nilam Melalui Institusi UPP. Dinas Perkebunan Provinsi NAD.

Anonimous, 1994. Paket Teknologi Minyak Nilam. Penyunting Ambar Yoganingrum dan Amsanih. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah LIPI.

Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2002. Laporan Ekspor minyak atsiri. Jakarta

Dinas Perkebunan Provinsi NAD, 2002. Laporan tahunan Dinas Perkebunan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Dinas Perkebunan Provinsi NAD, 2003. Laporan tahunan Dinas Perkebunan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Guenter E, 1967. Individual Essential Oil of Plant Families Rutaceae and Labiatae. Van Nostrand Company Inc.

2 Comments »

  1. Pengembangan minyak atsiri dari bahan baku nilam ini sangat cocok di kembangkan di Indonesia terutama yang daerahnya berpotensi untuk Nilam ini , dan satu lagi yang luput dari makalah ini adalah potensi sumber daya manusianya ( SDM ) dimana disetiap daerah masih banyak sarjana yang masih menganggur alias belum punya kerjaan tetap jadi cocok berkiprah di bidang minyak atsiri ini , terutama sarjana yang memiliki pengetahuan kimia. ( sarjana Teknik Kimia ) untuk menciptakan lapangan kerja mungkin bisa sebagai leader di UKM seperti ini. demikian tanggaban saya .

    Comment by Hafis Nasution — January 4, 2012 @ 9:05 pm

  2. Perkenalkan nama saya syaifuddin
    saya memeiliki stok Minyak Nilam 5 ton /minggu dengan kadar 30-33% harga Rp.350.000,- /Kg silahkan Call Nego : mba Nur Aliah 085397610360 harga pasaran lokal saat ini : Rp.450 ribu Jual Expor antara $60 – $150 syaifuddin

    Comment by syaifuddinsyaifuddin — February 22, 2012 @ 10:40 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.